BAB I
Pendahuluan
Adapun penulis
tujuan penulis mengangkat topic tentang system politik Indonesia era Reformasi (Pasca
Orde Baru) ini yaitu untuk mempberikan informasi pada pembaca keadaan sistem
politik Indonesia pada saat . Namun ini juga sebagai pemahaman tentang sistem
pollitik Indonesia dan kinerjanya yang sangat penting untuk menumbuhkan dan
meningkat kan kepedulian serta partisipasi aktif mereka, sehingga sistem politik Indonesia bisa
melayani kepentingan public secara substansial dan maksimal.
Meskipun
demokrasi telah dibuka secara luas dengan begulirnya proses reformasi, namun
perkembangan demokrasi belum terarah secara baik dan aspirasi masyarakat belum
terserap secara maksimal. Distorsi atas aspirasi, kepentingan, dan kekuasaan
rakyat masih sangat terasa dalam kehidupan politik, baik dari elit politik,
penyelenggara pemerintah, maupun kelompok-kelompok kepentingan. Di lain pihak,
institusi pemerintah tidak jarang berada pada posisi tidak berdaya menghadapi
kebebasan yang terkadang melebihi batas kepatutan, sebab walaupun kebebasan
yang berlebihan tersebut bersifat konstekstual dan polanya tidak melembaga,cenderung
mengarah pola tindakan anarkis. Tumbuh dan berkembangnya partai politik dan
organisasi massa yang berorientasi penonjolan agama, etnis dan kecemburuan
sosial merupakan tantangan pula untuk mewujudkan sistem politik yang stabil,
transparan dan demokratis.
Sistem politik
Indonesia dalam rangka mewujudkan cita-cita bangsa dan mencapai tujuan nasional,
maka sesuai dengan pancasila dan undang-undang Dasar 1945, pemerintah republik
Indonesia menyelenggarakan politik Negara, yaitu keseluruhan penyelenggaraan
politik, yang cenderung agak sentralistik karena UUD 1945 itu sendiri yang integralistik,
dengan memanfaatakan mendayagunakan segala kemampuan aparatur Negara serta
segenap dana dan daya, demi terciptanya tujuan nasional, dan terlaksananya
tugas Negara sebagaimana di tetapkan dalam UUD 1945. Hal ini karena para
Founding Fathers menginginkan Negara ini bersatu pada mulanya, banyaknya
suku,agama,pulau,bahasa dan corak ragam lainya di negeri ini.[1]
Selama pasca
orde baru, kehidupan politik di tandai dengan ketidakpastian di tingakat massa,
dan konflik politik yang tinggi di tingkat elit. Oleh karena itu, proses
sosialisasi politik merupakan sesuatu yang tegarap secara baik dan teroganisir.
Hal ini di sebabkan karena elit-elit politik dan elit-elit strategis terjebak
dalam proses “adu kekuatan” yang melibatakan massa. Kasus Pamswakarasa
merupakan contoh bagaimana proses sosialisasa politik kurang. Pada akhirnya,
masa yang sebelumnya mengalami pelemahan daya beli akibat krisis ekonomi pada
tahun 1997 akhir, terlibat dalam blok-blok konflik yang diciptakan para elit,
tanpa mereka mengetahui secara nyata maupun laten, akan maksud politik yang ada
di dalamnya. Kasus terpenting dari hal ini adalah terjadinya berbagai bentrokan
Mahasiswa dengan massa dan aparat. Kasus Trisakti dan Semanggi, setidaknya
dapat dianggap sebagai refrensentasi kan lemahnya sosialisasi pada pasca orde
baru.[2]
BAB II
PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
latar belakag permasalahan diatas, Adapun masalah yang diangkat dalam topic ini
yaitu mengenai sistem politik Indonesia pada Era Reformasi(Pasca Orde Baru).
Bagaimana keadaan sistem politik di Indonesia dan fenomena yang menarik pada
pasca Orde Baru.
BAB III
KERANGKA TEORI
McBeeth, jika
keadaan ekonomi dan masalah yang di tinggalkan pemerintahan soeharto tidak
sedemikian menjadi factor yang mendatangkan ketidakstabilan, masa itu akan
menjadi periode yang sangat menggairahkan bagi indonesia sejak kemerdekaannya.
Henk Schulte
Nordhold, mengemukakan bahwa jika menilai perubahan sruktural ketatanegaraan
yang telah mencapai selama beberapa tahun yang lalu, perubahan-perubahan di
Indonesian dapa di katakan sebagai ‘silent
revolution’. “kalau menilai perubahan structural ketatanegaraan yang telah
tercapai selama beberapa tahun yang lalu kita boleh saja bicara tentang ‘silent
revolution’ yaitu suatu perubahan yang sangat mendalam yang telah tercapai
lewat proses demokratis, tentang baik mengenai posisi MPR sendiri, yang diganti
dengan sistem bicameral, maupun tidak kalah penting juga, adalah posisi
legislative (DPR) eksekutif yang jauh lebih kuat ketimbang situasi sebelumnya.
Almond dan
Powel, sistem politik akan di pengaruhi sistem-sistem ekonomi domestik,
sumber-sumber alam dan lingkungan alamiah mereka, sistem pendidikan dan
teknologi, dan sistem-sistem etnik dan kebudayaan mereka.
Almond
menyatakan, artikulasi kepentingan merupakan cara yang lazim di tempuh oleh
anggota masyarakat atau kelompok-kelompok
dalam masyarakat agar kepentigan
dan kebutuhanya dapat terpenuhi dengan memuaskan. Berbagai macam kepentingan
atau kebutuhan anggota masyarakat dapat terpenuhi oleh sistem politik, bilamana
dikemukakan secara nyata, baik melalui tokoh-tokoh maupun lembaga-lembaga yang
ada di dalam masyarakat, atau yang lazim disebut kelompok-kelompok kepentingan.
Almond, proses mengubah tuntutan hingga menjadi alternative kebijakan, dapat
disebut sebagai agregasik kepentingan.
David Easton,
tidak ada satu pun system politik didunia ni yang dapat melangsungkan kerjaannya
jika para anggotanya tidak mempunyai kesdiaan unutk mendukung keberadaan
suatu kelomok yang berusaha
menyelesaiakan perbdaan perbedaan atau mendorong perbuatan keputasan melalui
cara cara damai.
Sidney Verba,
budaya politik tidak merujuk pada intraksi struktur politik baik formal maupun
informal seperti pemerintahan, partai-partai politik, kelompok-kelompok
kepentingan atau klik-klik politik.
BAB IV
PEMBAHASAN
Orde Baru telah
mengalami keruntuhan seiring jatuhnya soeharto sebagai presiden yang telah
memimpimn Indonesia selama 32 tahun, pada tanggal 1 Mei Pak Harto akhirnya
mengundurkan diri yang di sambut oleh masyarakat, utamnya di Jakarta dengan
tumpah ruah di jalan, mereka bersujud kepada Pemilik Alam dengan berlinang air
mata. Sesyukur itukah mereka, entahlah, mereka memang sudah bosan di pimpin
selama setengah abad hanya dua orang saja.[3]
setelah sebelumnya krisis ekonomi menghancurkan legitimasi pemerintahn Orde
Baru. Dalam kaitan ini, Jhon Mcbeth[4]
memberikan komentar bahwa tanpa kehancuran di bidang ekonomi,yang selama ini
menjadi landasan legitimasi pemerintahan soeharto, tidak akan ada kesempatan
untuk perubahan politik. Sejak soeharto lengser dari kursi kepresidenannya,
bahkan sampai di penghujung abad 19, bangsa Indonesia belum mengetahui kemana
arah perubahan akan terjadi. Pada saat itu, kita baru bisa mengecap aromanya
saja. Pada tahun 1999, memang sudah di gelar pemiku multi partai. Tapi keikutsertaan
48 partai politik dari berbagai latarbelakang yang kompleks, baru sebatas
euphoria, bukan perubahan yang bermakna reformasi. Meski political will sudah mengiringnya.
Perlahan tapi
pasti, bangunan reformasi mulai terlihat fondasinya di paruh akhir tahun 2000.
Setidaknya, melalui keberanian untuk mengamandemen UUD 1945, bangsa ini tengah
memulai perubahan yang bersifat structural. Meski, sejak Habibie naik panggung
kekuasaan, secara kultural, perubahan itu sudah terjadi. Bahkan, sampai pemilu
kedua di era reformasi, pada tahun 2004 perubahan structural dalam format
politik Indonesia, seakan mencapai klimaksnya. Terlebih, ketika kesuksesaa
mengamandemenkan UUD 1945, di buktikan dengan lahirnya seoramg presiden
republic Indonesia dari rahim pemilihan presiden langsung (Pemilu Presiden ).[5]
Era Reformasi
seringkali di anggap sebagai era di mana “ banyak penumpang gelap” masuk dalam
gerbong gerakan refomasi. Hal ini dapat di lihat ketika beberapa mantan menteri
di era orde baru berkoar-koar tentang reformasi. Bahkan, para mantan birokrat
sipil maupun militer termasuk pengusaha “merubah kostum politiknya” dari gaya
orba menjadi gaya seorang reformis. Mereka terlibat aktif dalam mendanai
aksi-aksi mahasiswa dan massa. Bahkan, “ perselingkuhan” dengan media-media
tertentu membuat mereka sering “nongol” di media massa dengan tema-tema
reformasi. Sudah bisa diduga bahwa kaum-kaum opotunis tersebut berperan sebagai
“kutu loncat” atau “ musang berbulu ayam”. Pada saat dimna parai-partai politik
berdiri, kaum-kaum yang umumnya memiliki
energy politik relative besar tersebut, dengan mudah masuk kejajaran elit
partai. Dan akhirnya, proses rekrutmen politik berjalan secara tidak sehat.
Padahal proses rekrutmen politik tersebut seharusnya dilakukan dengan baik.
Menurut Almond, rekrutmen politik merupakan proses penyeleksian individu untuk
dapat mengisi lowongan jabatan-jabatan politik maupun pemerintahan, yang pada
umunya terdapat dua cara, yaitu secara terbuka dan tertutup. Rekrutmen politik
yang bersifat terbuka meruoakan proses penyeleksian terbuka untu seluruh warga
Negara. Sedangakan dengan rekrutmen politik tertutup dimaksudkan bahwa individu
tertentu saja yang dapat di rekrut untuk menduduki jabatan politik maupun
pemerintahan.[6]
Menurut McBeeth, jika keadaan ekonomi dan
masalah yang di tinggalkan pemerintahan soeharto tidak sedemikian menjadi
factor yang mendatangkan ketidakstabilan, masa itu akan menjadi periode yang
sangat menggairahkan bagi indonesia sejak kemerdekaannya.
Apa yang di
kemukakan oleh McBeth di atas, barangkali memeang benar. Bagaimanapun selama
hampir keseluruhan kurun waktu pemerintahan soeharto, legitimaasi pemerintahan
ini hampir sekal disandarkan pada pembangunan ekonomi, yang dalam kenyataannya.
Rapuh. Namun, diluar kerapuhan yang tidak begitu tampak pada awalnya,
komentar-komentar yang muncul terutama yang berasal dari Bank Dunia misalnya,
menyebutkan Indonesia dan beberapa Negara lain seperti Malaysia, Taiwan,
Thailand, Korea Selatan dan Singapura akan menjadi kekuatan baru di kawasan Asia
Timur dan Asia Tenggara. Namun, krisis telah merontokan prediksi tersebut. Ini
dapat dilihat dari kehancuran ekonomi yang melanda Indonesia selama masa krisis
moneter 1997-1998. Pada kenyataannya, krisis ekonomi dan moneter yang dilami
Indonesia jauh lebih parah di bandingkan dengan Negara-negara lain yang
mengalami hal yang sama. Indonesia memerlukan waktu lebih lama di bandingkan
Negara-negara lain dalam kawasan Asia timur dan Asia tenggara, seperti
Thailand, korea selatan dan Malaysia untk keluar dari krisis. Sementara itu,
keterpurukan ekonomi Indonesia sebagai akibat krisis tersebut masih dapat
dirasakan hngga saat ini oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Kebangkrutan
pemerintah pasca-soeharto telah mendorong pemerintah berikutnya mengurangi subsidi
bahan bakar minyak (BBM), dan ini tentunya berimbas pada perluasan kemiskinan
dan pengangguran. Kompas mencatat
bahwa angka pengangguran terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2000 misalnya,
penggangguran hanya sebesar 5,6 juta orang atau 6%, namun angka ini meningkat
menjadi 10% atau 9,5 juta orang pada tahun 2003 lalu melompat lagi menjadi
10,3% atau 10,9 juta orang pada tahun 2005. Jumlah orang yang bekerja memang
terus mengalami peningkatan, tetapi menurut laporan Bank Pembangunan Asia
(april 2006), sebagaimana di kutip kompas,
hanya sebesar 29,2% yang bekerja di sector formal, sedangkan selebihnya sebesar
70,8% bekerja di sector formal yang sangat rentan terhadap jaminan social.[7]
Meskipun
demikian, krisis tidak hanya menpunyai dimensi buruk. Sebaliknya krisis juga
memebawa serat peluang kea rah kehidupan yang lebih baik. Di antaranya,
sebagaimana di kemukakan oleh McBeth, bahwa tanpa adanya krisis ekonomi tidak
akan pernah ada perubahan politik. Kenyataannya, krisis ekonomi telah menjadi
penyulut tidak hanya kejatuhan Rezim Soehartoyang despotis, teapi juga
reformasi politik. Reformasi ini, beberapa di antaranya, telah menggeser
struktur politik orde baru yang otoriter dan digantikan dengan struktur politik
yang lebih demokrati. UUD1945 yang selama pemerintahan orde baru disakralkan
untuk tujuan-tujuan pelanggengan kekuasaan yang korup, tetapi pada masa
reformasi telah dilakukan amandemen. Badan legislatif sekarang ini kedudukannya
lebih di perkua, sementara preiden dan wakil presiden tidak lagi di pilih oleh
MPR, tetapi di pilih langsung oleh rakyat. Dengan demikian presiden tidak lagi
mempertanggungjawabkan jabtannya di depan sidang umum (SU) MPR sebagaimana
biasanya. Pemilu yang pada masa oede baru hanya menjadi ritual demokrasi tanpa
makna, kini telah menjadi bagian penting demokrasi. Partai politik yang
sebelumnyadimandulkan oleh kebijakan pemerintah dengan membatasinya hanya tiga
partai saja, sekarang ini lebih dari 50 partai politik telah mencatatkan diri
di Departemen Kehakima. Pendeknya, Indonesia kini telah masuk masa mengairahkan
sebagai salah satu Negara demokrasi terbesar di dunia dengan jumlah penduduk
lebih dari 200 juta orang.
Mengomentari
hal ini, dalam sebuah artikel yang dipublikasikan pada tahun 2003, Henk Schulte
Nordhold mengemukakan bahwa jika menilai perubahan sruktural ketatanegaraan
yang telah mencapai selama beberapa tahun yang lalu, perubahan-perubahan di
Indonesian dapa di katakan sebagai ‘silent
revolution’. “Sebetulnya” demikian Nordholt mengemukakan, “kalau menilai
perubahan structural ketatanegaraan yang telah tercapai selama beberapa tahun
yang lalu kita boleh saja bicara tentang
‘silent revolution’ yaitu
suatu perubahan yang sangat mendalam yang telah tercapai lewat proses
demokratis, tentang baik mengenai posisi MPR sendiri, yang diganti dengan
sistem bicameral, maupun tidak kalah penting juga, adalah posisi legislative
(DPR) eksekutif yang jauh lebih kuat ketimbang situasi sebelumnya.[8]
Meskipun
tidaklah selalu mudah untuk memberikan penilaian terhadap apakah suatu perubahan
yang terjadi merupakan suatu silent
revolution ataukah suatu reformasi, tetapi mungki saja penilaian Nordholt
diatas benar atau setidaknya mengandung kebenaran. Revolusi, seperti kemukakan
oleh Huntington, melibatkan perubahan nilai-nilai, struktur social,
lembaga-lebaga politik, kebijakan-kebijakan pemerintah dan kepemimpinan social
politik dalam tempo yang begitu cepat, menyeluruh dan penuh kekerasan. Semakin
uth semua perubahan ini berlangsung maka semakin total revolusi yang
mengikutinya. Sementara itu, Reformai merujuk pada perubahan-perubahan yang
terbatas dalam hal cakupan dan dalam laju kepemimpinan, kebijakan, dan
pranata-pranata politik. Ia mengadung perubahan perubahan yang mengarah pada
persamaan politik, social dan ekonomi yang lebi merata, termasu perluasan peran
serta politik dalam masyrakat dan Negara. Perubahan moderat dalam arah yang
bertentangan lebih tepat disebut sebagai ‘konsolidasi’ di bandingkan dengan
sebagai suatu reformasi.
Dengan
pemahaman seperti ini, perubahan-perubahan di Indonesia numgkin dapat di
katakanan sebagi suatu silent revolution sebagaimana
pendapat Nordholt di atas mengingat telah terjadi perubahan-perubahan yang
cukup mendasar terhadap struktur politik dan pemerintahan. Presiden dan wkil
presiden telah terpilih secara lansung oleh rakyat indonseia. UUD 1945 yang
sebelumnya dianggap sacral oleh rezim Orde Baru yang otoriter dan despotis
telah di amandemenkan beberapa kali, dan lembaga legislatif telah diberdayakan
sedemikian rupa, sehingga lembaga ini menjadi sangat kuat di bandingkan dengan
masa sebelumnya. Selain itu, media massa telah di jamin kebebasannya
berdasarkan undang-undang kebebasan pers. Sementara itu, penyelenggaraan
pemerintah daerah telah di dasarkan pada asas desentrlisasi dengan lebih
memperhatikan potensi di daerah masing-masing, dan MPR tidak lagi menjadi
lembaga tertinggi yang memiilih presiden dan wakil presiden. Keseluruhan ini
merupakan perubahan-perubahan yang cukup mendasar. Namun, apakah perubahan ini
juga menyentuh struktur social dan nilai-nilai dalam masyarkat, tentunya akan
memerlukan energy yang lebih besar untuk mendiskusikanya.
Era dimana
bangsa Indonesia memiliki keinginan untuk mereformasikan diri, mestinya pola
rekrutmen politik dilakukan dengan cara terbuka. Sehingga, ketika pada
awal-awal reformasi rekrutmen politik dilakukan secara tertutup, maka tidak ada
bedanya dengan apa yang terjadi pada ere orde baru.
Tipe dan model
Sistem Politik
Para ilmuwan
politik mencoba menyusun tipe dan model sistem politik dengan beberapa
kategorisasi dan klasifikasi serta criteria yang berbeda-beda. Klasifikasi
tipe-tipe poltik ada yang berdasarkan variable tata nilai dalam masyarakat yang
mendasarkan pada beberapa orang yang memegang pemerintahan apakah pemerintah di
lakukan oleh satu orang, beberapa orang dan banyak orang. Selain itu da
kriteria mendasarkan diri pada ada tidaknya pertanggungjawaban dari yang
memerintah kepada yang di perintah, serat bagaimana peranan yag dapat dimainkan
oleh warga Negara dalam sistem politik itu sendiri.
Tipe dan model
yang hendak diuraiakan berikut ini lebih mendasar pada sudut kesejahteraan dan
perkembangan sistem politik dari berbagai Negara disesuaikan dengan
perkembangan kultur dan struktur masyarakatnya.
Rais A.Khan
membuat klasifikasi tipe-tipe sistem politikberdasarkan variable tata nilai
dalam masyarakat yakni (modern dan tradisional) dan sifat proses politik
(fungsi konversi) dalam pengelolaan input menjadi output (demokrasi dan non
demokrasi). Atas dasar pemikiran tersebut sistem politik di bagi menjadi 4
tipe:
1.
Tipe sistem politik tradisional
bersifat demokrasi
2.
Tipe sisitem politik yang
tradisional non-demokratis
3.
Tipe sistem politik modern yan
bersifat demokratis
4.
Tipe sitem politik modern bersifat non-demokratis[9]
Konsep
“tradisional” dan “modern” di gunakan untuk menunjukan tingkay terspesialisasi
dan rasionalisasi budaya politik, misalnya di tinjau dari nilai-nilai
politikyang kurang jelas, maka sistem politik itu disebut semakin tradisional.
Dengan semakin jelasnya pembagian fungsi dalam infrastruktur, maka sistem
politik itu semakin modern. Sedangakan konsep “demokrasi “ dan “non-demokrasi”
dipergunakan untuk menunjukan tingkay keterbukaan suatu sistem politik dalam
menerima input dan memprosesnya/transformasinya menjadi output. Semakin
tertutupnya sistem politik dalam menerima input, maka dikatakan semakin tidak
demokratis. Dengan semakin terbukanya sistem politik untuk menerima input, maka
dikatakan semakin demokratis.
Almond dan Powel membai 3 kategori sistem politik yakni:
1.
Sistem politik primitive yang intermittent (bekerja dengan
sebentar-sebentar istirahat). Sistem politik ini sangat kecil kemungkinannya
untuk mengubah peranannya menjadi terspesilisasi atau lebih otonom. Sistem ini
lebih mencerminkan suatu kebudyaan yang samar-samar dan bersifat keagamaan (parochial)
2.
Sistem politik tradisional
dengan struktur yang-struktur bersifat pemerintah politik yang berbeda-beda dan
suatu kebudayaan “subyek”
3.
Sistem –sistem modern di mana
struktur-struktur politik yang berbeda-beda (pertai-partai politik, kelompok-kelompok
kepentingan dan media massa) berkembang dan mencerminkan aktivitas budaya
politik “paeticipan”
Ramlan Surbakti dalam mengklasifikasikan sistem politik menggunakan
model sistem politik dengan empat macam criteria yakni:[10]
1.
Sistem Politik Otokrasi
Tradisional
2.
Sistem Politik Totoliter
3.
Sistem Politik Demokrasi
4.
Sistem Politik pada
Negara-negara berkembang
Lebih jauh
Ramlan Surbakti menjelaskan, bahwa sistem politik yang berlaku pada
Negara-negara yang sedang berkembang, di tinjau dari segi Rezim politik
(hak-hak warga negara) sistem politiknya adalah birokrasi-otoriter.
Hal ini di tandai dengan pluralism terbatas
dengan cara menerapkan korporatisme Negara sebagai sistem perwakilan
kepentingan, dan kooptasi dan represi terhadap
pihak oposisi. Kebebasan dan hak-hak politik individu dibatasi dam lebih
menekankan pada perlunya Negara mengontrol pernyataan-pernyataan aspirasi
politik yang menuntut pemerataan.
Alfian mengklasifikasika sistem politik menjadi 4 tipe sistem
politik yakni:[11]
1.
Sistem Politik Otoriter/Totaliter
2.
Sistem Politik Anarki
3.
Aiatem Politik Demokrsi
4.
Sistem Politik Demokrasi dalam
Transisi
Fenomena yang juga menarik pada pasca orde baru adalah
terfragmentasinya artikulasi kepentingan dalam masyarakat. Padahal, iklim
politik masih sangat kondusif untuk melakukan perubahan-perubahan yang penting sebagai
tanda peralihan era pemerintahn dari orde baru ke era reformasi. Almond
menyatakan, artikulasi kepentingan merupakan cara yang lazim di tempuh oleh
anggota masyarakat atau kelompok-kelompok
dalam masyarakat agar kepentigan
dan kebutuhanya dapat terpenuhi dengan memuaskan. Berbagai macam kepentingan
atau kebutuhan anggota masyarakat dapat terpenuhi oleh sistem politik, bilamana
dikemukakan secara nyata, baik melalui tokoh-tokoh maupun lembaga-lembaga yang
ada di dalam masyarakat, atau yang lazim disebut kelompok-kelompok kepentingan.
Di Indonesia
pasca Orde Baru, kelompok-kelompok kepentingan semacam itu baru pada fase
“kanak-kanak”. Sehingga baik lembaga maupun peranannya masih sangat terbatas. Pada
era pasca orde baru, funsi-fungsi artikulasi masih dominan dilakukan oleh
tokoh-tokoh masyarakat tertentu, atau kelompok-kelompok tertentu, seperti
abdurahman wahid dengan NU nya, dan amie rais dengan muhamadiyahnya. Ketika
proses rekrutmen politik lemah di satu pihak, dan budaya politik patron klien
masih tinggi di dalam masyarakat Indonesia, serta lemahanya integritas tokoh-tokoh masyarakat atau kelomok
kepentingan, maka pada umumnya, artikulasi kepentingan yang muncul lebih
merupakan pemunculan kepentingan kepentingan pribadi golongan kontradiktif
dengan semangat reformasi yang terjadi.
Lemahnya
rekrutmen politik yang terjadi, tela menyebaakan kelompok-kelompok kepentingan
seperti Ormas, LSM, dan Partai Politik, tidak sedikit yang terisi oleh “ kaum-kaum
reformis gadungan”. Hal ini diperparah dengan “menyulutnya” budaya patron klien, melalui instrument
iming-iming uang dan kekuasaan, yang memang pada waktu itu masih di kuasai oleh
elit-elit Orde Baru. Akibatanya, kaum-kaum reformis gadungan tersebut dengan
leluasa menyuarakan kepentingannya melalui lembaga-lembaga yang dianggap
reformis. Dalam konstelasi politik yang demikian, fragmentasi kepentingan tidak
terelakan terjadi, karena berangakat dari kepentingan-kepentingan yang berbeda
dan kontradiktif pada fase pengemukaan artikulasi kepentingan.[12]
BAB V
KESIMPULAN
Selama pasca
orde baru, kehidupan politik di tandai dengan ketidakpastian di tingakat massa,
dan konflik politik yang tinggi di tingkat elit. Oleh karena itu, proses
sosialisasi politik merupakan sesuatu yang tegarap secara baik dan teroganisir.
Hal ini di sebabkan karena elit-elit politik dan elit-elit strategis terjebak
dalam proses “adu kekuatan” yang melibatakan massa. Kasus Pamswakarasa
merupakan contoh bagaimana proses sosialisasa politik kurang. Pada akhirnya,
masa yang sebelumnya mengalami pelemahan daya beli akibat krisis ekonomi pada
tahun 1997 akhir, terlibat dalam blok-blok konflik yang diciptakan para elit,
tanpa mereka mengetahui secara nyata maupun laten, akan maksud politik yang ada
di dalamnya. Kasus terpenting dari hal ini adalah terjadinya berbagai bentrokan
Mahasiswa dengan massa dan aparat. Kasus Trisakti dan Semanggi, setidaknya
dapat dianggap sebagai refrensentasi kan lemahnya sosialisasi pada pasca orde
baru.
Meskipun tidaklah
selalu mudah untuk memberikan penilaian terhadap apakah suatu perubahan yang
terjadi merupakan suatu silent revolution
ataukah suatu reformasi, tetapi mungki saja penilaian Nordholt diatas benar
atau setidaknya mengandung kebenaran. Revolusi, seperti kemukakan oleh
Huntington, melibatkan perubahan nilai-nilai, struktur social, lembaga-lebaga
politik, kebijakan-kebijakan pemerintah dan kepemimpinan social politik dalam
tempo yang begitu cepat, menyeluruh dan penuh kekerasan. Semakin uth semua
perubahan ini berlangsung maka semakin total revolusi yang mengikutinya.
Sementara itu, Reformai merujuk pada perubahan-perubahan yang terbatas dalam
hal cakupan dan dalam laju kepemimpinan, kebijakan, dan pranata-pranata
politik. Ia mengadung perubahan perubahan yang mengarah pada persamaan politik,
social dan ekonomi yang lebi merata, termasu perluasan peran serta politik
dalam masyrakat dan Negara. Perubahan moderat dalam arah yang bertentangan
lebih tepat disebut sebagai ‘konsolidasi’ di bandingkan dengan sebagai suatu
reformasi.
Dengan pemahaman seperti ini, perubahan-perubahan di Indonesia
numgkin dapat di katakanan sebagi suatu silent
revolution sebagaimana pendapat Nordholt di atas mengingat telah terjadi
perubahan-perubahan yang cukup mendasar terhadap struktur politik dan
pemerintahan. Presiden dan wkil presiden telah terpilih secara lansung oleh
rakyat indonseia. UUD 1945 yang sebelumnya dianggap sacral oleh rezim Orde Baru
yang otoriter dan despotis telah di amandemenkan beberapa kali, dan lembaga
legislatif telah diberdayakan sedemikian rupa, sehingga lembaga ini menjadi
sangat kuat di bandingkan dengan masa sebelumnya. Selain itu, media massa telah
di jamin kebebasannya berdasarkan undang-undang kebebasan pers. Sementara itu,
penyelenggaraan pemerintah daerah telah di dasarkan pada asas desentrlisasi
dengan lebih memperhatikan potensi di daerah masing-masing, dan MPR tidak lagi
menjadi lembaga tertinggi yang memiilih presiden dan wakil presiden.
Keseluruhan ini merupakan perubahan-perubahan yang cukup mendasar.
Meskipun proses bekerjanya sistem politik bisa dimulai dengan
melihat proses sosialisasi politik. Dalam pengertian sosiologi, sosialisasi
merupakan proses bagaimana anak-anak berkenalan dengan nilai yang dianut
masyarakat serta bagaimana mereka peranan-peranan yang akan mereka lakukan bila
mereka telah dewasa. Materi yang di tananmkan dengan sendirinya nilia-nilai
actual, nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat serta nilai-nilai yang ideal.
Dengan kata lain, sosialisasi menunjukan pada proses dimana sikap-sokap politik
dengan pola-pola tingkah laku poltik di peroleh atau dibentuk, dan juga
merupakn sarana bagi suatu generasi untuk menyampaikan patokan-patokan politik
dan keyakinan-keyakinan politik kepada generasi muda berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ø
Winarno, Budi.” Sistem Politik
Indonesia Era Reformasi”. Jakarta: Media Presindo.2008.
Ø
Tamin, Azian dkk.” Sistem
Politik Indonesia Pasca Orde Baru”. PUSAT STUDI POLITIK INDONESIA (PSPI) FISIP
UNAS bekerjasama dengan PUSAT STUDI POLITIK (PSP) MADANI INSTITUTE. Jakarta:
Grafika Indah.2005.
Ø
Rahman, Arifin. “ Sistem
Politik Indonesia”. Surabaya: SIC, kerjasama dengan LPM IKIP Surabaya. 1998.
Ø
Syafiie, Inu Kencana.”Sistem
Politik Indonesia”. Surabaya: Refika. 2002.
Ø
Sanit, Arbi. “Reformasi Politik”.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1998.
TUGAS
SISTEM POLITIK INDONESIA
“SISTEM
POLITIK INDONESIA ERA REFORMASI”
DISUSUN OLEH:
NAMA :
TENGKU MAHESA KHALID
NPM
: 083112351550006
JURUSAN : ADMINISTRASI NEGARA
KELAS :
A
UNIVERSITAS
NASIONAL
2008-2009
[1] Drs.h.Inu Kencana syafiie msi. “Sistem
Politik Indonesia” refika h.3
[2] Roby Nurhadi. 1998. “Profil
Politik Indonesia Pasca Orde Baru”Jakarta,2005. p.13
[3] Ibid., p.37
[4] Jhon McBeth. 2002. “political update”. Dalam Geoff Forrester (ed). Post-soeharto Indonesia:
renewal or chaos. The Netherlands: KITLV press. Hlm. 4-5
[5] Roby Nurhadi & Syafrizal
Rambe. 1998. “Profil Politik Indonesia
Pasca Orde Baru”Jakarta,2005 h.1-2.
[6] Ibid., p. 13-14
[7] Andi Suruji. “peluang dan
tantangan kependudukan”. Kompas, 20 mei 2006.
[8] Henk Schulte Nordhot. 2003.
“ pelembangan civil society dalam proses desentralisasi di Indonesia”. Dalam Henk Schulte Nordhot dan
Gusti Asnan (eds). Indonesia in transition
work in progress. Yogyakarta: pustaka pelajar hal 26
[9] Rais, A.Khan, An Introduction
to Political Science, Richard D. Irwin, Inc Illinois, 1977, p.43
[10] Ramlan Surbakti, memahami
ilmu politik, Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992, p.221-235
[11] Alfian, Komunikasi Politik
dan Sistem Politik Indonesia, 1993 halaman 1-16
[12] Roby Nurhadi. 1998. “Profil
Politik Indonesia Pasca Orde Baru”Jakarta,2005. p.14-15
Anapoker Percayakan pendaftaran akun permainan judi kartu anda pada hanya disitus kami, dan rasakan pengalaman bermain terbaik tanpa rasa kecewa
ReplyDeleteBermain di Anapoker Pastinya akan dibayarkan secara cepat dan tanpa menunggu lama lagi
Contact Anapoker Sekarang juga
Whatsapp : 0852 2255 5128
Line ID : agenS1288
Telegram : agenS128
Promo Bonus Untuk Member Baru AgenS128, Casino IDNLive :
Freebet Casino Online
sbobet alternatif
Freebet Casino Online Terbaru IDN Live
link sbobet
sabung ayam online
adu ayam
casino online
sabung ayam bangkok
ayam laga birma
poker deposit pulsa
deposit pulsa poker
deposit pulsa
deposit pulsa
deposit pulsa