BAB
I
PENDAHULUAN
Secara
literal, filsafat berasal dari bahasa Yunani, yakni philia dan sophia. Philia
berarti cinta, dan sophia berarti kebijaksanaan. (Wattimena, 2008, 1)
Dalam
konteks ini, filsafat berarti cinta akan kebijaksanaan, dan seorang filsuf adalah
orang yang mencintai kebijaksanaan. Orang yang mencintai kebijaksanaan bukanlah
orang yang sudah memiliki kebijaksanaan, melainkan orang yang terus berupaya
mencari kebijaksanaan.
Secara
formal, filsafat adalah suatu aktivitas berpikir manusia mengenai segala
sesuatu di dalam realitas, namun dilihat dari sudutnya yang paling mendasar,
dan dilakukan secara terbuka, kritis, sistematis, dan rasional. Filsafat
berbicara tentang semua hal, tentang tata sosial, ekonomi, budaya, seni,
manusia, alam, dunia, dan Tuhan.
Namun,
tidak seperti ilmu-ilmu empiris yang cenderung sibuk dengan hal-hal teknis
displinnya masing-masing, sehingga nyaris buta terhadap ilmu lainnya, filsafat
mendekati beragam fenomena dengan membongkar aspek-aspek dasariahnya. Proses
pembongkaran itu dilakukan secara terbuka, kritis, rasional, dan sistematis.
Filsafat
politik telah lahir semenjak manusia mulai menyadari, bahwa tata sosial
kehidupan bersama bukanlah sesuatu yang terberi secara alamiah, melainkan
sesuatu yang sangat mungkin terbuka untuk perubahan. Oleh karena itu, tata
sosial-ekonomi-politik merupakan produk budaya, dan memerlukan justifikasi
filosofis untuk mempertahankannya.
Lahirnya
suatu refleksi filsafat politik sangat dipengaruhi oleh konteks epistemologi
dan metafisika jamannya, sekaligus mempengaruhi jamannya. Jadi, filsafat itu
dipengaruhi sekaligus mempengaruhi jamannya. Inilah lingkaran dialektis yang
terus menerus berlangsung di dalam sejarah.
Perkembangan
di dalam epistemologi dan metafisika mempengaruhi asumsi-asumsi yang digunakan
oleh para filsuf politik untuk merumuskan pemikirannya. Pada abad pertengahan,
banyak filsuf politik mengawinkan relfkesi teologi Kristiani dengan filsafat
Yunani Kuno untuk merumuskan refleksi filsafat politik mereka.
Filsafat
dan ilmu pengetahuan merupakan suatu pasangan yang kelihatan kurang seimbang.
Filsafat merumuskan pertanyaan, ilmu pengetahuan memberi jawaban. Ilmu
pengetahuan berkembang dengan pesat, filsafat kelihtannya tidak pernah maju. Di
pihak lain, sejarah suatu ilmu tertentu kurang penting bagi kita sekarang,
karena jawaban-jawaban dari dahulu sering kali
sudah di koreksi, sedangakan pertanyaan-pertanyaan dari sejarah filsafat
masih tetap aktual bagi manusia masa kini.
Jika
kita melihat eksistensi antara filsafat dan politik terjadi perbedaan yang
cukup mencolok. Dalam dunia filsafat akal budi, teori yang mendasari alam
pikiran, dan penafsiran-penafsiran menduduki posisi penting. Sedangkan politik
berkaitan dengan kehidupan nyata yaitu masalah kenegaraan, kebijakan pemerintahan,
cara bertindak pemerintahan menghadapi dan menangani masalah dalam dan luar
negeri. Namun, kendati arah dan tujuannya berbeda, ternyata filsafat dan
politik saling melengkapi. Dengan ide-ide briliannya, filsafat membantu dunia
politik tentang bagaimana suatu negara dikelolah dan dijalankan sebaik mungkin.
Selain itu, sikap “kritis” yang merupakan salah satu senjata filsafat
dibutuhkan dalam mengawasi segala kebijakan pemerintahan. Jadi, ketika membuat
kebijakan, hendaknya kebijakan tersebut tidak diterima begitu saja, akan tetapi
dikoreksi dengan sikap kritis yang objektif terlebih dahulu. Di sisi lain,
filsafat juga butuh dunia politik. Ide-ide, dan segala pemikiran filsafat
direalisasikan dalam dunia poltik atau kehidupan nyata yaitu dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Jadi, tanpa dunia politik, ide-ide filsafat tentang
dunia politik akan dengan sendirinya hilang dan basi karena tidak pernah
digunakan.[1]
Pada akhir abad-20 dan awal abad-21
ini, dunia kita seolah-olah berada dalam zaman babel dulu. Zaman babel sering
digambarkan sebagai zaman kekacauan. Manusia tidak lagi saling mengenal, saling
bekerjasama, tapi lebih mementingan identitasnya masing-masing. Akibatnya yang
terjadi adalah perang, dan segala macam bahaya yang mengancam kehidupan
manusia.
Akhir abad-20 dan awal abad-21,
juga mengalami hal yang sama. Perang dingin antar blok barat yang dipelopori
oleh Amerika serikat dan blok timur oleh Uni sovyet (sebelum bubar 1990-an)
telah melahirkan perlombaan persenjataan nuklir antara kedua blok.
Kekerasan dalam bidang politik juga
merajalela, contohnya pemerintahan ORBA yang mengekang kebebasan warga negara
demi melagengkan kekuasaannya. Perang saudara di Yugoslavia yang menyebabkan
negara tersebut hancur terkeping-keping, masalah darfur di sudan yang sampai
sekarang belum diketemukan pemecahan masalahnya, invasi Amerika dan sekutunya
di afghanisatan dan irak yang menyebabkan kedua negara Islam tersebut berada
dalam kekacauan, dan kekerasan politik rezim militer Myamar terhadap aktivis
hak asasi manusia, dan terakhir adalah instabilitasi politik yang terjadi di
Timor leste. Dan semuanya itu hanya mengakibatkan penderitaan terhadap rakyat
yang tidak berdosa dan tidak tahu berpolitik. Lalu saya bertanya-tanya dalam hati,
kenapa hal ini semua terjadi?
Ketika merefleksikan pertanyaan
tersebut, saya teringat akan pemikiran-pemikiran politik Bertrand Russel,
seorang filsuf empirisme, Inggris. Menurut Bertrand Russel, kekacauaan terjadi
karena cita-cita politik yang salah dari para penguasa dan hanya diselamatkan
dengan cita-cita yang berbeda dari sumber-sumbernya yang selalu membawa
kesengsaraan, dan pembinasaan. Karena itu, cita-cita politik harus didasarkan
pada kehidupan individu, dimana sasaran politik harus membuat kehidupan
individu menjadi lebih baik. Dan ada 2 (dua) dorongan yang sangat menentukan
pola perilaku individu dalam pergaulan masyarakat negara antara lain: Possesip
yaitu upaya untuk memiliki dan mempertahankan, dan Kreatif (konstruktif) yaitu upaya
untuk menciptakan dan menemukan hal-hal baru. Di sini yang utama adalah
konstruktif karena terjadi kehidupan yang lebih baik. Dan karena itu dalam
kehidupan politik, lembaga politik yang baik akan memperlemah dorongan-dorongan
terhadap kekuatan dan dominasi dengan 2 (dua) cara yaitu melalui pendidikan
masyarakat, dan mengekang keinginan-keinginan possesip.
BAB
II
Locke dilahirkan tahun 1632 di
Wrington, Inggris. Dia memperoleh pendidikan di Universitas Oxford, peroleh
gelar sarjana muda tahun 1656 dan gelar sarjana penuh tahun 1658. Selaku remaja
dia tertarik sangat pada ilmu pengetahuan dan di umur tiga puluh enam tahun dia
terpilih jadi anggota "Royal Society." Dia menjadi sahabat kental
ahli kimia terkenal Robert Boyle dan kemudian hampir sepanjang hidupnya jadi
teman dekat Isaac Newton. Kepada bidang kedokteran pun dia tertarik dan meraih
gelar sarjana muda di bidang itu meskipun cuma sekali-sekali saja berpraktek.
Titik balik dalam kehidupan Locke
adalah perkenalannya dengan Pangeran Shaftesbury. Dia jadi sekretarisnya dan
menjadi dokter keluarga. Shaftesbury seorang jurubicara penting bagi pikiran
liberal sehingga walau sebentar pernah dia dipenjara oleh Raja Charles II
akibat kegiatan politiknya. Tahun 1682 Shaftesbury lari ke Negeri Belanda dan
mati disana tahun berikutnya. Locke, berkat hubungannya yang begitu akrab
dengan mendiang, senantiasa diawasi dan dibayang-bayangi, karena itu memaksanya
juga lari ke Negeri Belanda tahun 1683. Dia menetap di negeri itu sampai
pengganti Raja Charles, Raja James II digulingkan oleh sebuah revolusi yang
berhasil. Locke pulang ke kampungnya tahun 1689 dan seterusnya menetap di
Inggris. Tak pernah sekali pun kawin, dan mati di tahun 1704.
Buku pertama
yang membikin Locke masyhur adalah An Essay Concerning Human Understanding (Esai tentang saling
pengertian manusia), terbit tahun 1690. Di situ dipersoalkan asal-usul,
hakikat, dan keterbatasan pengetahuan manusia. Ide-ide Locke pada gilirannya
mempengaruhi filosof-filosof seperti Pendeta George Berkeley, David Hume dan
Immanuel Kant. Kendati esai itu hasil karya Locke yang paling orisinal dan
merupakan salah satu dari filosofi klasik yang masyhur, pengaruhnya tidaklah
sebesar tulisan-tulisan ihwal masalah politiknya.
Dalam buku A Letter Concerning Toleration (Masalah yang berkaitan dengan toleransi) yang terbit tahun 1689, Locke menekankan bahwa negara jangan ikut campur terlampau banyak dalam hal kebebasan menjalankan ibadah menurut kepercayaan agama masing-masing. Locke bukanlah orang Inggris pertama yang mengusulkan adanya toleransi agama dari semua sekte Protestan. Tetapi argumennya yang kuat yang dilontarkannya, yang berpihak kepada perlunya ada toleransi merupakan faktor dukungan penduduk terhadap sikap pandangannya. Lebih dari itu, Locke mengembangkan prinsip toleransinya kepada golongan non-Kristen: "... baik penganut kepercayaan primitif, atau Islam maupun Yahudi tidak boleh dikurangi hak-hak sipilnya dalam negara semata-mata atas pertimbangan agama." Tetapi, Locke percaya bahwa toleransi ini tidak berlaku bagi golongan Katolik karena Locke yakin mereka tergantung pada bantuan kekuatan luar, dan juga tak ada toleransi bagi kaum atheis. Dengan ukuran jaman kini dia boleh dibilang teramat berlapang dada, tetapi beralasan memandangnya dari hubungan dengan ide-ide pada jamannya. Fakta mencatat, alasan-alasan yang dikemukakannya demi terciptanya toleransi agama lebih meyakinkan pembacanya dari pengecualianpengecualian yang dibuatnya. Kini, berkat adanya tulisan-tulisan Locke, toleransi agama sudah meluas bahkan pada golongan-golongan yang tadinya dikucilkan.
BAB
III
Filosof
pertama yang menghimpun secara terpadu gagasan dasar konstitusi demokratis
adalah orang Inggris: John Locke. Pikiran-pikirannya memancarkan pengaruh kuat
kepada para dedengkot pendiri Republik Amerika Serikat. Bukan itu saja,
pengaruhnya juga kuat merasuk ke dalam kalbu gerakan pembaharu Perancis.
Arti
penting Locke lainnya adalah bukunya Two Treatises of Government (Dua
persepakatan dengan pemerintah) terbit tahun 1689 yang isinya merupakan
penyuguhan ide dasar yang menekankan arti penting konstitusi demokrasi liberal.
Buku itu berpengaruh terhadap pikiran politik seluruh dunia yang berbahasa
Inggris. Locke yakin seyakin-yakinnya bahwa tiap manusia memiliki hak alamiah,
dan ini bukan sekedar menyangkut hal hidup, tetapi juga kebebasan pribadi dan
hak atas pemilikan sesuatu. Tugas utama pemerintah adalah melindungi penduduk
dan hak milik warga negara. Pandangan ini acap kali disebut "teori jaga
malam oleh pemerintah."
Menolak
anggapan hak suci raja, Locke menekankan bahwa pemerintah baru dapat
menjalankan kekuasaannya atas persetujuan yang diperintah. "Kemerdekaan
pribadi dalam masyarakat berada di bawah kekuasaan legislatif yang disepakati
dalam suatu negara." Dengan tegas Locke menekankan sesuatu yang disebutnya
"kontrak sosial." Pikiran ini sebagian berasal dari tulisan-tulisan
filosof Inggris terdahulu, Thomas Hobbes (1588-1679). Tetapi, jika Hobbes
menggunakan "kontrak sosial" ini untuk memperkokoh absolutisme, Locke
melihat "kontrak sosial" itu dapat diganti:
Locke
berpegang teguh pada perlu adanya pemisahan kekuasaan. Dia menganggap kekuasaan
legislatif harus lebih unggul ketimbang eksekutif dan kekuasaan yudikatif yang
dianggapnya merupakan cabang dari eksekutif. Selaku orang yang percaya terhadap
keunggulan kekuasaan legislatif. Locke hampir senantiasa menentang hak
pengadilan yang memutuskan bahwa tindakan legislatif itu tidak konstitusional.
Meski
Locke bersiteguh atas prinsip kekuasaan mayoritas, tetapi dijelaskannya bahwa
suatu pemerintahan tidaklah memiliki kekuasaan tanpa batas. Mayoritas harus
tidak merusak hakikat hak-hak manusia. Suatu pemerintahan hanya dapat
dibenarkan merampas hak milik atas perkenan yang diperintah. (Di Amerika,
gagasan ini dinyatakan dalam slogan, "Tidak ada pajak tanpa adanya
perwakilan.")
Jelas
sekali, pandangan-pandangan Locke menggambarkan gagasan pihak penggerak
revolusi Amerika seabad sebelum kejadian itu berlangsung. Pengaruhnya atas
Thomas Jefferson amatlah mengesankan. Pikiran Locke merasuk ke benua Eropa,
khususnya Perancis, merupakan fakta tak langsung yang mendorong revolusi
Perancis dan Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia. Meskipun tokoh-tokoh seperti
Voltaire dan Thomas Jefferson lebih terkenal daripada Locke, tulisan-tulisannya
mendahului mereka dan punya pengaruh kuat terhadap mereka. Karena itu layaklah
apabila kedudukan Locke pun disebut lebih dahulu dalam daftar urutan buku ini.
BAB IV
Trias Politica merupakan ide pokok Demokrasi Barat, berkembang di Eropa
pada abad XVII dan XVIII M. Trias Politica adalah menganggap kekuasaan negara
terdiri dari tiga macam : legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Trias Politica
menegaskan kekuasaan-kekuasaan ini tidak diserahkan kepada orang yang sama
untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh SATU TANGAN yang berkuasa. Kondisi
ini diharapkan dapat menjamin hak-hak azasi warga negara. Ide ini pertama kali
dikemukakan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755).
Filsuf Inggris John Locke mengemukakan konsep tersebut dalam buku Two
Treatises on Civil Government (1690), yang ditulis sebagai kritik terhadap
kekuasaan absolut raja-raja Stuart di Inggris serta untuk membenarkan Revolusi
Gemilang tahun 1688 (The Glorious Revolution of 1688) yang dimenangkan oleh
Parlemen Inggris. Menurut Locke, kekuasaan negara harus dibagi dalam tiga
kekuasaan terpisah. Selanjutnya, tahun 1748, filsuf Perancis Montesquieu
mengembangkan konsep Locke tersebut dalam bukunya L’Esprit des Lois (The
Spirit of Laws), yang ditulisnya setelah dia melihat sifat despotis
(sewenang-wenang) dari raja-raja Bourbon di Perancis. Dia ingin menyusun suatu
sistem pemerintahan di mana warga negaranya akan merasa lebih terjamin
hak-haknya.
Ide dua
pakar tersebut hebat sekali, jangan sampai kekuasaan ada di satu tangan dan
semuanya untuk keterjaminan hak-hak warganegara. Namun andaikata mereka masih
hidup dan mau melihat kondisi dan penerapan konsep Trias Politica di Indonesia
sekarang, bagaimana? Saya pikir mereka berdua akan menangis tersedu-sedu dan
mungkin sampai kering air matanya ….. Karena ternyata konsep yang bagus
diasalahartikan oleh para penguasa yang menjalaninya …. Mereka harusnya hidup
dan bertugas sesuai pembagian kerja masing-masing dengan cara yang benar,
tetapi mereka rupanya kompak sekali, pembagian tugas oke, pembagian materi juga
oke. Sayangnya dengan jalan yang salah, penyalahguanan kekuasaan, The Power
tend to corrupt …. Wujudnya, tiang-tiang Trias Politica itu sama-sama
harus berurusan dengan KPK!
Percaya?
Anda harus yakin (haqqul yakin) wong bukti sudah lebih dari cukup. Legislatif,
coba cek, betapa banyak anggota DPR dan DPRD harus keluar masuk gedung KPK,
keluar masuk pengadilan, berapa pula yang sudah mendekam di penjara gara-gara
korupsi dengan beragam cara. Eksekutif, coba teliti data-data
pemberitaan betapa banyak Gubernur, Bupati dan Sekda yang terjerat kasus hukum
terutama korupsi. Yudikatif, wouw jangan tanya lagi, berapa jumlah
jaksa dan hakim yang keblinger duit milyaran dan akhirnya masuk ruang
persidangan bukan bertugas sebagai jaksa/hakim tapi sebagai terdakwa!.
Betul-betul, konsep Trias Politica yang salah arah. Ini namanya Bias Politika.
kebangeten betul.
Jadi,
anda percaya khan, kalau John Locke dan Montesqueiu masih hidup terus
berkunjung ke Indonesia jadi heran? Geleng-geleng kepala? Bahkan saking
kagetnya mungkin langsung pingsan. Bahkan malah mati, karena konsepnya yang
bagus itu didemo pula oleh para koruptor dan antek-anteknya.
No comments:
Post a Comment