Reformasi Administrasi
di Indonesia
“Tugas dan Fungsi MPR
Serta Hubungan Antar Lembaga Negara
Dalam Sistem Ketatanegaraan”
Nama : Tengku Mahesa Khalid
NPM : 083112351550006
Jurusan : Administrasi Negara
UNIVERSITAS NASIONAL
2009-2010
Bab
I
Pendahuluan
A.
Pengertian
Reformasi
Reformasi berarti perubahan terhadap suatu sistem yang
telah ada pada suatu masa. Sistem sendiri diartikan suatu kesatuan yang terdiri
dari komponen atau elemen yang dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran informasi,
materi atau energi. Menurut Umar Said,(pemimpin redaksi Harian EKONOMI NASIONAL 1965), Reformasi adalah mengubah, merombak, membangun kembali
atau menyusun kembali. Reformasi bertujuan untuk memperbaiki
kerusakan-kerusakan yang telah diwariskan.
Khan (1981) memberi pengertian reformasi sebagai suatu usaha perubahan pokok dalam suatu sistem birorkasi yang bertujuan mengubah struktur, tingkah laku, dan keberadaan atau kebiasaan yang telah lama. Sedangkan Quah (1976) mendefinisikan reformasi sebagai suatu proses untuk mengubah proses prosedur birokrasi publik dan sikap serta tingkah laku birokrat untuk mencapaiefektivitas birokrasi dan tujuan pembangunan nasional. Dari pengertian ini, maka reformasi ruang lingkupnya tidak hanya terbatas pada proses dan prosedur, tetapi jugamengaitkan perubahan pada tingkat struktur dan sikap serta tingkah laku (the ethics being).Hal ini, berarti menyangkut permasalahan yang bersinggungan dengan authority atau formal power (kekuasaan).
Reformasi sendiri secara etimologis berasal dari kata ‘reformation’
dengan akar kata ‘reform’ yang secara sematik bermakna ‘make or become
better by removing or putting right what is bad or wrong’[1], ssecara harfiah reformasi memiliki makna: suatu gerakan
untuk memformat ulang, menata ulang atau menata kembali hal-hal yang
menyimpang untuk dikembalikan dengan format atua bentuk semula sesuai dengan
nilai-nilai ideal yang dicita-citakan rakyat (Riswanda, 1998). Makna serta pengertian reformasi dewasa ini banyak disalahartikan sehingga
gerakan masyarakat yang melakukan perubahan yang mengatasnamakan gerakan
reformasi, juga tidak sesuai dengan pengertian reformasi itu sendiri. Hal ini
bisa dibuktikan dengan maraknya gerakan masyarakat yang mengatasnamakan
gerakan reformis dengan melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan makna
reformasi itu sendiri. Sebagai contoh, menduduki kantor, atau instansi baik
dalam negeri maupun swasta secara paksa. Bahkan yang paling memprihatikan
adalah melakukan pengerahan massa dengan merusak dan membakar toko-toko,
pusat-pusat kegiatan ekonomi, fasilitas umum, fasilitas pelayanan jasa disertai
dengan penjarahan dan penganiayaan.[2]
B. Proses
Terjadinya Reformasi di Indonesia
Gerakan
reformasi di Indonesia, yang
dimotori oleh para mahasiswa, pada lima tahun pertama (1998-2003) ditandai oleh
adanya paradoks antara adanya tuntutan akan kehidupan yang lebih demokratis di
satu sisi dan munculnya anarkisme sosial di sisi yang lain. Tuntutan terhadap
demokrasi, muncul sebagai akibat lahirnya kesadaran tentang banyaknya hak-hak warga
negara yang selama bertahun-tahun diabaikan, dilanggar, bahkan diinjak oleh
rezim yang berkuasa. Kerinduan akan demokrasi juga lahir dari adanya penolakan
terhadap relasi-relasi kekuasaan yang angkuh dan represif, tentang
relasi-relasi ekonomi yang timpang dan jauh dari rasa adil, serta tentang
relasi-relasi sosial dangkal dan penuh ritual kolektif namun sangat merendahkan
martabat manusia sebagai pribadi. Sedangkan anarkisme sosial terjadi sebagai
akibat hancurnya kepastian normatif dan kepantasan berperilaku di dalam
masyarakat, berbarengan dengan runtuhnya rezim dominan yang berkuasa.
Institusi-institusi sosial yang ada dipertanyakan kembali eksistensi dan
relevansinya, sementara institusi-institusi baru belum muncul untuk mewadahi
kearifan-kearifan dan nilai-nilai baru yang lahir bersama dengan
perubahan-perubahan yang terjadi.
Orde Baru telah mengalami keruntuhan seiring jatuhnya soeharto
sebagai presiden yang telah memimpimn Indonesia selama 32 tahun, pada tanggal 1
Mei Pak Harto akhirnya mengundurkan diri yang di sambut oleh masyarakat,
utamnya di Jakarta dengan tumpah ruah di jalan, mereka bersujud kepada Pemilik
Alam dengan berlinang air mata. Sesyukur itukah mereka, entahlah, mereka memang
sudah bosan di pimpin selama setengah abad hanya dua orang saja.[3]
setelah sebelumnya krisis ekonomi menghancurkan legitimasi pemerintahn Orde
Baru. Dalam kaitan ini, Jhon Mcbeth[4]
memberikan komentar bahwa tanpa kehancuran di bidang ekonomi,yang selama ini
menjadi landasan legitimasi pemerintahan soeharto, tidak akan ada kesempatan
untuk perubahan politik. Sejak soeharto lengser dari kursi kepresidenannya,
bahkan sampai di penghujung abad 19, bangsa Indonesia belum mengetahui kemana
arah perubahan akan terjadi. Pada saat itu, kita baru bisa mengecap aromanya
saja. Pada tahun 1999, memang sudah di gelar pemiku multi partai. Tapi
keikutsertaan 48 partai politik dari berbagai latarbelakang yang kompleks, baru
sebatas euphoria, bukan perubahan yang bermakna reformasi. Meski political will sudah mengiringnya.
Perlahan tapi
pasti, bangunan reformasi mulai terlihat fondasinya di paruh akhir tahun 2000.
Setidaknya, melalui keberanian untuk mengamandemen UUD 1945, bangsa ini tengah
memulai perubahan yang bersifat structural. Meski, sejak Habibie naik panggung
kekuasaan, secara kultural, perubahan itu sudah terjadi. Bahkan, sampai pemilu
kedua di era reformasi, pada tahun 2004 perubahan structural dalam format
politik Indonesia, seakan mencapai klimaksnya. Terlebih, ketika kesuksesaa
mengamandemenkan UUD 1945, di buktikan dengan lahirnya seoramg presiden republic Indonesia dari
rahim pemilihan presiden langsung (Pemilu Presiden).[5]
Era Reformasi
seringkali di anggap sebagai era di mana “ banyak penumpang gelap” masuk dalam
gerbong gerakan refomasi. Hal ini dapat di lihat ketika beberapa mantan menteri
di era orde baru berkoar-koar tentang reformasi. Bahkan, para mantan birokrat
sipil maupun militer termasuk pengusaha “merubah kostum politiknya” dari gaya
orba menjadi gaya seorang reformis. Mereka terlibat aktif dalam mendanai aksi-aksi
mahasiswa dan massa. Bahkan, “ perselingkuhan” dengan media-media tertentu
membuat mereka sering “nongol” di media massa dengan tema-tema reformasi. Sudah
bisa diduga bahwa kaum-kaum opotunis tersebut berperan sebagai “kutu loncat”
atau “ musang berbulu ayam”. Pada saat dimna parai-partai politik berdiri,
kaum-kaum yang umumnya memiliki energy
politik relative besar tersebut, dengan mudah masuk kejajaran elit partai. Dan
akhirnya, proses rekrutmen politik berjalan secara tidak sehat. Padahal proses
rekrutmen politik tersebut seharusnya dilakukan dengan baik.
Pada tahap kedua (2003 – sekarang), euforia reformasi di jalan raya tampak
mulai mereda. Keberhasilan Indonesia menyelenggarakan pemilihan presiden secara
langsung, diakui banyak pihak termasuk donor internasional, sebagai sebuah
keberhasilan politik anak-anak negeri ini dan menjadi indikasi bahwa reformasi
berada di jalur yang dikehendaki. Yang menarik untuk dicermati adalah, bahwa
setelah pemilihan presiden dilakukan secara langsung dengan mekanisme yang
relatif demokratis, dinamika politik berpindah dari jalan raya, ke dalam
ruang-ruang sidang komisi dan paripurna di dalam gedung Senayan dan Istana
Merdeka. Kata reformasi, tidak lagi
merupakan intimidasi, bahkan mereka yang dulu merupakan bagian dari
kekuatan yang pendukung status quo dapat mengidentifikasi diri sebagai tokoh reformasi
tanpa perlu di lakukan ”penelitian
khusus”.
Bab
II
Reformasi di Bidang
Ketatanegaraan
A. Kekuasaan Penyelenggaraan Negara
1.
Latar belakang
Dalam rangka pembahasan
tentang organisisasi dan kelembagaan negara, dapat dilihat apabila kita
mengetahui arti dari lembaga Negara dan hakikat kekuasaan yang dilembagakan
atau diorganisasikan kedalam bangunan kenegaraan.
Lembaga negara
merupakan lembaga pemerintahan negara yang berkedudukan di pusat yang fungsi,
tugas, dan kewenangannya diatur secara tegas dalam UUD. Secara keseluruhan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sebelum
perubahan mengenal enam lembaga tinggi/tertinggi negara, yaitu MPR sebagai
lembaga tertinggi negara; DPR, Presiden, MA, BPK, dan DPA sebagai lembaga
tinggi negara. Namun setelah perubahan, UUD 1945 menyebutkan bahwa lembaga
negara adalah MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK, MA, MK, dan KY tanpa mengenal
istilah lembaga tinggi atau tertinggi negara.
UUD 1945
mengejawantahkan prinsip kedaulatan yang tercermin dalam pengaturan
penyelenggaraan negara. UUD 1945 memuat pengaturan kedaulatan hukum, rakyat,
dan negara karena didalamnya mengatur tentang pembagian kekuasaan yang berdasarkan
pada hukum, proses penyelenggaraan kedaulatan rakyat, dan hubungan antar Negara
RI dengan negara luar dalam konteks hubungan internasional.
Prinsip kedaulatan
rakyat yang terwujudkan dalam peraturan perundang-undangan tercermin dalam
struktur dan mekanisme kelembagaan negara dan pemerintahan untuk menjamin
tegaknya sistem hukum dan berfungsinya sistem demokrasi. Dari segi kelembagaan,
prinsip kedaulatan rakyat biasanya diorganisasikan melalui sistem pemisahan
kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan (distribution
of power). Pemisahan kekuasaan cenderung bersifat horizontal dalam arti
kekuasaan dipisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam
lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (checks and
balances), sedangkan pembagian kekuasaan bersifat vertikal dalam arti
perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara vertikal kebawah kepada
lembaga-lembaga tinggi negara di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat.
Untuk mengetahui
bagaimana proses penyelenggaraan negara menurut UUD, maka Prinsip pemisahan dan
pembagian kekuasaan perlu dicermati karena sangat mempengaruhi hubungan dan
mekanisme kelembagaan antar lembaga negara. Dengan penegasan prinsip tersebut,
sekaligus untuk menunjukan ciri konstitusionalisme yang berlaku dengan maksud
untuk menghindari adanya kesewenang-wenangan kekuasaan.
2. Pembagian Kekuasaan Negara
Perkembangan sejarah
penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dalam kurun waktu 60 tahun Indonesia
merdeka mengalami pasang surut sejalan dengan perkembangan kehidupan
konstitusional dan politik yang selama ini telah tiga kali hidup dalam
konstitusi dan sistem politik yang berbeda. Perkembangan sistem politik di
Indonesia secara umum dapat dikatagorikan pada empat masa dengan ciri-ciri yang
mewarnai penyelenggaraan negara, yaitu Sistem Politik Demokrasi
Liberal-Parlementer (1945-1959), Terpimpin (1959-1966) [Orde lama], dan
Demokrasi Pancasila (1966-1998) [Orde Baru] dan Demokrasi berdasarkan UUD [Orde
Reformasi].
Adanya pergeseran
prinsip pembagian ke pemisahan kekuasaan yang dianut dalam UUD 1945 telah
membawa implikasi pada pergeseran kedudukan dan hubungan tata kerja antar
lembaga negara dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, baik dalam kekuasaan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Perubahan prinsip yang mendasari
bangunan pemisahan kekuasaan antar lembaga negara adalah adanya pergeseran
kedudukan lembaga pemegang kedaulatan rakyat yang semula ditangan MPR dirubah
menjadi dilaksanakan menurut UUD.
Dengan perubahan
tersebut, jelas bahwa UUD yang menjadi pemegang kedaulatan rakyat yang dalam
prakteknya dibagikan pada lembaga-lembaga dengan pemisahan kekuasaan yang jelas
dan tegas. Di bidang legislatif terdapat DPR dan DPD; di bidang eksekutif
terdapat Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih oleh rakyat; di bidang
yudikatif terdapat Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial; di
bidang pengawasan keuangan ada BPK.
Namun demikian, dalam
pembagian kekuasaan antar lembaga negara terdapat kedudukan dan hubungan tata
kerja antar lembaga negara yang mencerminkan adanya kesamaan tujuan dalam
penyelenggaraan negara.
Menelaah hasil
perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan MPR mulai tahun 1999-2002, terdapat
perubahan mendasar dalam penyelenggaraan negara. Salah satu perubahan mendasar
tersebut adalah MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi karena
prinsip kedaulatan rakyat tidak lagi diwujudkan dalam kelembagaan MPR tapi oleh
UUD [Pasal 1 ayat (2)].
UUD 1945 salah
satunya mengatur mengenai pemegang cabang kekuasaan pemerintahan negara dengan
prinsip pemisahan kekuasaan secara tegas yang tercermin pada lembaga negara
yang menjalankan fungsi kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dengan
mengedepankan prinsip checks and balances system.
Dengan adanya
perubahan kedudukan MPR, berimplikasi pada berubahnya struktur kelembagaan
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Saat ini lembaga negara yang memegang
fungsi kekuasaan pemerintahan (eksekutif) adalah Presiden, yang memegang
kekuasaan membentuk Undang-Undang adalah DPR, dan yang memegang Kekuasaan
Kehakiman adalah Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Adanya perubahan
terhadap fungsi dan kedudukan lembaga membawa implikasi pada hubungan tata
kerja antar lembaga negara karena pada prinsipnya UUD 1945 mengatur lembaga
negara sesuai dengan prinsip pemisahan kekuasaan secara tegas.
Pada kesempatan ini,
saya hanya akan menyampaikan mengenai tugas dan fungsi MPR yang dengan
perubahan tersebut berimplikasi pada perubahan tugas lembaga negara lainnya.
Sedangkan tugas dan fungsi lembaga negara lainnya selain MPR akan disampaikan
dalam bentuk pola hubungan antar masing-masing lembaga.
3. Tugas dan Fungsi MPR
Perubahan tugas dan
fungsi MPR dilakukan untuk melakukan penataan ulang sistem ketatanegaraan agar
dapat diwujudkan secara optimal yang menganut sistem saling mengawasi dan
saling mengimbangi antarlembaga negara dalam kedudukan yang setara, dalam hal
ini antara MPR dan lembaga negara lainnya seperti Presiden dan DPR.
Saat ini MPR tidak
lagi menetapkan garis-garis besar haluan negara, baik yang berbentuk GBHN
maupun berupa peraturan perundang-undangan, serta tidak lagi memilih dan
mengangkat Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini berkaitan dengan perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menganut sistem
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat yang memiliki
program yang ditawarkan langsung kepada rakyat. Jika calon Presiden dan Wakil
Presiden itu menang maka program itu menjadi program pemerintah selama lima
tahun. Berkaitan dengan hal itu, wewenang MPR adalah melantik Presiden atau
Wakil Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Dalam hal ini MPR
tidak boleh tidak melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden yang sudah
terpilih.
Wewenang MPR
berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD Tahun 1945 adalah:
1.
mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;
2.
melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden;
3.
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.
4.
memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden
apabila terjadi
kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya;
5.
memilih Presiden dan Wakil
Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya,
dari dua pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan
calon Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam
pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.
4. Hubungan
antar Lembaga Negara
a.
MPR dengan DPR, DPD, dan Mahkamah Konstitusi
Keberadaan MPR dalam
sistem perwakilan dipandang sebagai ciri yang khas dalam sistem demokrasi di
Indonesia. Keanggotaan MPR yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD
menunjukan bahwa MPR masih dipandang sebagai lembaga perwakilan rakyat karena
keanggotaannya dipilih dalam pemilihan umum. Unsur anggota DPR untuk
mencerminkan prinsip demokrasi politik sedangkan unsur anggota DPD untuk
mencerminkan prinsip keterwakilan daerah agar kepentingan daerah tidak
terabaikan. Dengan adanya perubahan kedudukan MPR, maka pemahaman wujud
kedaulatan rakyat tercermin dalam tiga cabang kekuasaan yaitu lembaga
perwakilan, Presiden, dan pemegang kekuasaan kehakiman.
Sebagai lembaga, MPR
memiliki kewenangan mengubah dan menetapkan UUD, memilih Presiden dan/atau
Wakil Presiden dalam hal terjadi kekosongan jabatan Presiden dan/atau Wakil
Presiden, melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden, serta kewenangan
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
Dalam konteks
pelaksanaan kewenangan, walaupun anggota DPR mempunyai jumlah yang lebih besar
dari anggota DPD, tapi peran DPD dalam MPR sangat besar misalnya dalam hal
mengubah UUD yang harus dihadiri oleh 2/3 anggota MPR dan memberhentikan
Presiden yang harus dihadiri oleh 3/4 anggota MPR maka peran DPD dalam
kewenangan tersebut merupakan suatu keharusan.
Dalam hubungannya
dengan DPR, khusus mengenai penyelenggaraan sidang MPR berkaitan dengan
kewenangan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, proses
tersebut hanya bisa dilakukan apabila didahului oleh pendapat DPR yang diajukan
pada MPR.
Selanjutnya, Pasal
24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi
adalah untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan UUD. Karena kedudukan MPR sebagai lembaga negara maka apabila MPR
bersengketa dengan lembaga negara lainnya yang sama-sama memiliki kewenangan
yang ditentukan oleh UUD, maka konflik tersebut harus diselesaikan oleh
Mahkamah Konstitusi.
b. DPR dengan
Presiden, DPD, dan MK.
Berdasarkan UUD 1945,
kini dewan perwakilan terdiri dari DPR dan DPD. Perbedaan keduanya terletak
pada hakikat kepentingan yang diwakilinya, DPR untuk mewakili rakyat sedangkan
DPD untuk mewakili daerah.
Pasal 20 ayat (1)
menyatakan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Selanjutnya
untuk menguatkan posisi DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif maka pada
Pasal 20 ayat (5) ditegaskan bahwa dalam hal RUU yang disetujui bersama tidak
disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari semenjak RUU tersebut disetujui, sah
menjadi UU dan wajib diundangkan.
Dalam hubungan dengan
DPD, terdapat hubungan kerja dalam hal ikut membahas RUU yang berkaitan dengan
bidang tertentu, DPD memberikan pertimbangan atas RUU tertentu, dan
menyampaikan hasil pengawasan pelaksanaan UU tertentu pada DPR.
Dalam hubungannya
dengan Mahkamah Konstitusi, terdapat hubungan tata kerja yaitu dalam hal
permintaan DPR kepada MK untuk memeriksa pendapat DPR mengenai dugaan bahwa
Presiden bersalah. Disamping itu terdapat hubungan tata kerja lain misalnya
dalam hal apabila ada sengketa dengan lembaga negara lainnya, proses pengajuan
calon hakim konstitusi, serta proses pengajuan pendapat DPR yang menyatakan
bahwa Presiden bersalah untuk diperiksa oleh MK.
c. DPD dengan DPR,
BPK, dan MK
Tugas dan wewenang
DPD yang berkaitan dengan DPR adalah dalam hal mengajukan RUU tertentu kepada
DPR, ikut membahas RUU tertentu bersama dengan DPR, memberikan pertimbangan
kepada DPR atas RUU tertentu, dan menyampaikan hasil pengawasan pelaksanaan UU
tertentu pada DPR. Dalam kaitan itu, DPD sebagai lembaga perwakilan yang
mewakili daerah dalam menjalankan kewenangannya tersebut adalah dengan
mengedepankan kepentingan daerah.
Dalam hubungannya
dengan BPK, DPD berdasarkan ketentuan UUD menerima hasil pemeriksaan BPK dan
memberikan pertimbangan pada saat pemilihan anggota BPK.
Ketentuan ini
memberikan hak kepada DPD untuk menjadikan hasil laporan keuangan BPK sebagai
bahan dalam rangka melaksanakan tugas dan kewenangan yang dimilikinya, dan
untuk turut menentukan keanggotaan BPK dalam proses pemilihan anggota BPK.
Disamping itu, laporan BPK akan dijadikan sebagai bahan untuk mengajukan usul
dan pertimbangan berkenaan dengan RUU APBN.
Dalam kaitannya
dengan MK, terdapat hubungan tata kerja terkait dengan kewenangan MK dalam hal
apabila ada sengketa dengan lembaga negara lainnya.
d. MA dengan lembaga
negara lainnya
Pasal 24 ayat (2)
menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan dibawahnya serta oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Ketentuan
tersebut menyatakan puncak kekuasaan kehakiman dan kedaulatan hukum ada pada
MA dan MK. Mahkamah Agung merupakan lembaga yang mandiri dan harus bebas dari
pengaruh cabang-cabang kekuasaan yang lain.
Dalam hubungannya
dengan Mahkamah Konstitusi, MA mengajukan 3 (tiga) orang hakim konstitusi untuk
ditetapkan sebagai hakim di Mahkamah Konstitusi.
e. Mahkamah
Konstitusi dengan Presiden, DPR, BPK, DPD, MA, KY
Kewenangan Mahkamah
Konstitusi sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan (2) adalah untuk
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir untuk menguji UU terhadap UUD,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD,
memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum. Disamping itu, MK juga wajib memberikan putusan atas pendapat
DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
UUD.
Dengan kewenangan
tersebut, jelas bahwa MK memiliki hubungan tata kerja dengan semua lembaga
negara yaitu apabila terdapat sengketa antar lembaga negara atau apabila
terjadi proses judicial review yang diajukan oleh lembaga negara pada
MK.
f. BPK dengan DPR dan
DPD
BPK merupakan lembaga
yang bebas dan mandiri untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang
keuangan negara dan hasil pemeriksaan tersebut diserahkan kepada DPR, DPD, dan
DPRD.
Dengan pengaturan BPK
dalam UUD, terdapat perkembangan yaitu menyangkut perubahan bentuk
organisasinya secara struktural dan perluasan jangkauan tugas pemeriksaan
secara fungsional. Karena saat ini pemeriksaan BPK juga terhadap pelaksanaan
APBN di daerah-daerah dan harus menyerahkan Hasilnya itu sealain pada DPR juga pada
DPD dan DPRD.
Selain dalam kerangka
pemeriksaan APBN, hubungan BPK dengan DPR dan DPD adalah dalam hal proses
pemilihan anggota BPK.
g. Komisi Yudisial
dengan MA
Pasal 24A ayat (3)
dan Pasal 24B ayat (1) menegaskan bahwa calon hakim agung diusulkan Komisi
Yudisial kepada DPR untuk mendapat persetujuan. Keberadaan Komisi Yudisial
tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan kehakiman. Dari ketentuan ini bahwa
jabatan hakim merupakan jabatan kehormatan yang harus dihormati, dijaga, dan
ditegakkan kehormatannya oleh suatu lembaga yang juga bersifat mandiri. Dalam
hubungannya dengan MA, tugas KY hanya dikaitkan dengan fungsi pengusulan
pengangkatan Hakim Agung, sedangkan pengusulan pengangkatan hakim lainnya,
seperti hakim MK tidak dikaitkan dengan KY.
Bab
III
Harapan
Reformasi Ke Masa Depan
Sebuah
aspek penting dalam proses transisi Indonesia menuju demokrasi adalah reformasi
di bidang ketatanegaraan yang dijalankan melalui perubahan konstitusi
Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945). Perubahan UUD 1945 bertujuan untuk mewujudkan konstitusi Indonesia yang
memungkinkan terlaksananya penyelenggaraan negara yang modern dan demokratis.
Semangat perubahan konstitusi yang muncul berupa supremasi konstitusi, keharusan
dan pentingnya pembatasan kekuasaan, pengaturan hubungan dan kekuasaan
antarcabang kekuasaan negara secara lebih tegas, penguatan sistem checks and
balances antarcabang kekuasaan, penguatan perlindungan dan penjaminan hak
asasi manusia, penyelenggaraan otonomi daerah dan pengaturan hal-hal yang
mendasar di berbagai bidang kehidupan masyarakat. Semua itu direfleksikan
sebagai konsensus politik bangsa yang dituangkan dalam perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Konsensus politik bangsa dalam perubahan sistem
ketatanegaraan dapat dilihat dengan perbandingan struktur atau konstruksi
kekuasaan di Indonesia saat sebelum dan sesudah perubahan UUD 1945. Sebelumnya,
kita mengenal MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara sedangkan Presiden,
DPR, DPA, MA dan BPK merupakan Lembaga Tinggi Negara dengan kedudukan yang sama
sejajar berada di bawah MPR. Selanjutnya berdasarkan perubahan UUD Negara
Republik Indonesia, institusi tertinggi ialah UUD 1945 itu sendiri (yang
sebelumnya adalah MPR), sedangkan semua lembaga-lembaga yang merupakan lembaga
negara dengan kedudukan yang sejajar. Lembaga-lembaga itu ialah lembaga
legislatif terdiri dari DPR dan DPD yang seluruh anggotanya bersama-sama
berada dalam lembaga MPR; serta lembaga eksekutif yaitu Presiden; serta
Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif. BPK hadir
sebagai lembaga pengawasan eksternal. Beberapa lembaga yang hadir
berdasarkan perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga adalah
Komisi Yudisial, suatu komisi pemilihan umum dan suatu bank sentral.
Bab
IV
Kesimpulan
Selama ini, UUD 1945
menganut paham pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal. Kedaulatan rakyat
dianggap sebagai wujud penuh dalam wadah MPR yang berkedudukan sebagai lembaga
tertinggi negara [Pasal 1 ayat (2), sebelum perubahan]. Dari sini fungsi-fungsi
tertentu dibagikan sebagai tugas dan wewenang lembaga-lembaga tinggi negara
yang ada dibawahnya, yaitu Presiden, DPA, DPR, BPK, dan MA. Dalam UUD 1945
(sebelum perubahan) tidak dikenal pemisahan yang tegas, tetapi berdasarkan pada
hasil perubahan, prinsip pemisahan kekuasaan secara horizontal jelas dianut,
misalnya mengenai pemisahan antara pemegang kekuasaan eksekutif yang berada di
tangan Presiden [Pasal 5 ayat (1)] dan pemegang kekuasaan legislatif yang
berada di tangan DPR [Pasal 20 ayat (1)].
keberhasilan mahasiswa mencetuskan reformasi seyogianya
tidak menjadikan mahasiswa menjadi tinggi hati. Reformasi pada hakekatnya belum
sepenuhnya mencapai harapan, karena masih banyak yang memerlukan pelurusan,
perbaikan dan akselerasi. Oleh Karena itu, peran mahasiswa masih diharapkan
sebagai pengawal dan pengontrol reformasi. peran mahasiswa sebagai kekuatan
moral dan intelektual sangat diperlukan dalam kehidupan bangsa. Dalam kaitan ini
perlu dijaga netralitas atau non partisan dalam politik praktis. Politik di
kalangan mahasiswa bukan kegiatan yang mengarah keinginan meraih kekuasaan atau
kuasa (Wakil Ketua MPR RI AM Fatwa, 17 Mei 2007)
Namun, juga dapat merupakan penyiapan diri mahasiswa untuk
dapat tampil di arena politik pada saatnya nanti setelah berhasil dalam
studinya. Sebagai kekuatan moral dan intelektual gerak langkah mahasiswa harus
dinamis dan kritis, tetapi konseptual, bernuansa akademik dalam arti bernalar
dan rasional, menjunjung tinggi kehormatan dan martabat mahasiswa, tidak vested
interest. Mahasiswa jangan mau disewa untuk demo-demo
Perubahan
UUD NRI Tahun 1945 telah membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, dan
wewenang MPR. MPR yang dahulu berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara,
pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, kini MPR berkedudukan
sebagai lembaga negara yang setara dengan lembaga negara lainnya. Berubahnya
kedudukan MPR memang sering diartikan salah baik yang terkait dengan eksistensi
lembaga maupun Pimpinan MPR, ia juga berimplikasi kepada tugas dan wewenang
MPR. Sebagai lembaga negara yang mempunyai eksistensi dalam sebuah bangunan
negara, MPR secara konstitusional diberikan fungsi dan wewenang sebagaimana
tercantum dalam Pasal 3 ayat (1), (2), dan (3), dan Pasal 8 ayat (1), (2) dan
(3) UUD NRI Tahun 1945.
Meskipun
sebatas yang tercantum dalam pasal-pasal dan ayat-ayat itu, fungsi dan
kewenangan MPR sekarang, substansinya adalah menyangkut hal-hal yang sangat
penting dan mendasar dalam kehidupan bernegara. Sebagai contoh adalah adalah
wewenang MPR dalam hal terjadinya impeachment yang tentu saja memperkuat sistem
presidensial kita. Dengan demikian perubahan kedudukan, tugas, dan
wewenang MPR tidak berarti menghilangkan eksistensi MPR dan Pimpinannya serta
peran penting MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, MPR masih mempunyai
peran penting dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Peran keseharian MPR
lainnya juga terlihat dari upaya MPR mengelola setiap wacana usul perubahan UUD
NRI Tahun 1945 dan peningkatan pemahaman konstitusi dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara melalui sosialisasi UUD NRI 1945.
sepanjang
sejarah konstitusi di Indonesia, di masa Orde Lama dan Orde Reformasi sering
terjadi perubahan undang-undang dasar. Dalam masa Orde Baru UUD 1945
disakralkan. Semua itu terjadi karena adanya kepentingan dan kemauan politik
demi demokratisasi atau kekuasaan.
Perubahan
IV UUD 1945 menghasilkan anggota MPR yang demokratis, di mana seluruh anggota
MPR dipilih secara langsung melalui pemilu. Berbeda dengan di masa Orde Baru
dan Orde Lama, separuh anggota MPR diangkat oleh presiden.
Meski
kewenangan MPR tidak seperti dulu lagi namun ada kewenangan-kewenangan MPR yang
masih bisa dibanggakan seperti melantik presiden dan wakil presiden, serta
meng-impeachment presiden, dan mengubah UUD
Disamping
mengatur mengenai proses pembagian kekuasaan, UUD juga mengatur mengenai
hubungan kewenangan dan mekanisme kerja antar lembaga negara dalam
penyelenggaraan negara. Untuk dapat menelaah tentang hubungan antar lembaga
negara tersebut, kita perlu mencermati konsep kunci yang dipakai dalam sistem
pemikiran kenegaraan Indonesia. Untuk itu
Perubahan tugas dan fungsi MPR dilakukan untuk melakukan penataan ulang
sistem ketatanegaraan yang berimplikasi pada perubahan tugas lembaga negara
lainnya.
Referensi
Ø Joeniarto,
S.H., Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Bumi Aksara, Cetakan Keempat,
Jakarta, Februari 1996.
Ø Amir,
Makmur & Reni Dwi Purnomowati, Lembaga Perwakilan Rakyat, Pusat Studi Hukum
Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005.
Ø Risalah
Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945,
Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta, 1998.
Ø Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Sejarah, Realita, dan Dinamika,
Ø Sekretariat
Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia, 2006.
Ø Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR RI, 2008.
Ø Undang-Undang
No. 22 Tahun 2003 Tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
Ø Jhon McBeth.
2002. “political update”. Dalam Geoff
Forrester (ed). Post-soeharto Indonesia: renewal or chaos. The
Netherlands: KITLV press. Hlm. 4-5
Ø Junal,Dr. H.M. Hidayat Nur Wahid, M.A.Ketua MPR RI, Tugas, Wewenang,
dan Peran MPR Pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945.
31 Agustus 2009
[1]
Oxford Advanced Learner’s Dictionary Of Current English, 1998, Dalam Wibisono,
198 : 1
[3] Ibid., p.37
[4] Jhon McBeth. 2002. “political
update”. Dalam Geoff Forrester (ed).
Post-soeharto Indonesia: renewal or chaos. The Netherlands: KITLV press. Hlm.
4-5
[5]
Roby Nurhadi & Syafrizal Rambe. 1998. “Profil Politik Indonesia Pasca Orde Baru”Jakarta,2005 h.1-2.
No comments:
Post a Comment