Tujuan Pemekaran dan
Penggabungan Daerah
Yang banyak diatur dalam regulasi yang ada selama ini adalah
kebijakan tentang pemekaran daerah. Rumusan tujuan kebijakan pemekaran daerah
telah banyak dituangkan dalam berbagai kebijakan-kebijakan yang ada selama ini,
baik dalam Undang-undang maupun Peraturan Pemerintah. Dalam regulasi-regulasi
ini, secara umum bisa dikatakan bahwa kebijakan pembentukan, penghapusan dan
penggabungan harus diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
melalui:
1. peningkatan
pelayanan kepada masyarakat;
2. percepatan
pertumbuhan kehidupan demokrasi;
3. percepatan
pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah;\
4. percepatan
pengelolaan potensi daerah;\
5. peningkatan keamanan
dan ketertiban;
Rumusan regulasi ke depan bukan saja kebijakan tentang pemekaran daerah, tetapi juga perlu memberikan porsi yang sama besar terhadap penggabungan daerah otonom. Baik pemekaran maupun penggabungan daerah otonom didasarkan pada argumen yang sama. Rumusan tujuan kebijakan penataan daerah bukan hanya untuk kepentingan daerah, tetapi juga untuk pemenuhan kepentingan nasional. Oleh karena itu, alternatif rumusan tujuan kebijakan penataan daerah adalah sejauhmana kebijakan pemekaran dan penggabungan daerah:
1. mendukung pengelolaan masalah sosio kultural di daerah dan di tingkat nasional.
2. Mendukung peningkatan pelayanan publik di tingkat daerah dan nasional.
3. Mengakselerasi pembangunan ekonomi, baik ekonomi daerah maupun ekonomi nasional
dengan cara yang
seefisien mungkin.
4. Meningkatkan stabilitas
politik, baik dalam rangka meningkatkan dukungan daerah terhadap pemerintahan
nasional, maupun dalam rangka pengelolaan stabilitas politik dan integrasi
nasional. Indikator ini akan kita gunakan untuk melihat dampak pemekaran
daerah, walaupun dampak tersebut tidak bisa digambarkan secara hitam putih,
tetapi digambarkan dalam situasi yang
dilematis.
Evaluasi Dampak Pemekaran dan Penggabungan Daerah Temuan terpenting dari evaluasi terhadap implementasi kebijakan penataan daerah adalah sama sekali tidak ada praktek penggabungan antar daerah di Indonesia. Bahkan indikasi gejala usulan penggabungan daerahpun tidak pernah ada. Hal ini menunjukkan adanya masalah infrastruktur kebijakan yang tidak memberikan struktur insentif bagi daerah untuk menggabungkan diri. Sementara itu, kondisi sebaliknya banyak sekali terjadi. Usulan dan kebijakan pemekaran daerah sangat banyak terjadi dan bahkan upaya-upaya untuk melakukan pemekaran daerah terus saja terjadi.
Kebijakan pemekaran daerah yang berjumlah lebih dari dua ratusan kasus tidak didorong oleh latar belakang yang seragam, dan tidak pula membawa dampak yang sama. Pemekaran di masing-masing daerah mempunyai kekhasannya sendiri yang tidak mudah untuk digeneralisasikan. Namun demikian, untuk kepentingan perumusan kebijakan di tingkat nasional, perlu dilakukan identifikasi dampak pemekaran secara umum. Dampak ini tidak hanya terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan publik dan pembangunan di tingkat nasional, tetapi juga dampak sosial, politik dan ekonominya di tingkat daerah.
Mengambil pelajaran dari studi-studi yang dilakukan oleh beberapa lembaga riset, seperti Percik, LIPI dan beberapa lembaga lainnya, dampak sosial dan politik kebijakan pemekaran bisa digambarkan secara umum sebagai berikut. Sangat tidak mudah untuk disimpulkan apakah pemekaran daerah berdampak positif ataukah negatif. Di setiap dimensi, baik sosio-kultural, politik dan pemerintahan, serta pelayanan publik dan pembangunan ekonomi, dampak pemekaran selalu bermata ganda: bisa positif, tetapi pada saat yang sama juga bersifat negatif. Belum lagi apabila dampak tersebut diletakkan dalam skala yang berbeda: dalam skala daerah ataukah dalam skala nasional.
Atas pertimbangan tersebut gambaran tentang dampak pemekaran dalam tulisan ini diletakkan dalam wajah ganda. Menghindari ataupun meminimalisasi dampak negatif pada dasarnya adalah mengelola proses kebijakan pemekaran dan proses pasca pemekaran.
1. Dampak Sosio Kultural
Dari dimensi sosial, politik dan kultural, bisa dikatakan
bahwa pemekaran daerah mempunyai beberapa implikasi positif, seperti pengakuan
sosial, politik dan kultural terhadap masyarakat daerah. Melalui kebijakan
pemekaran, sebuah entitas masyarakat yang mempunyai sejarah kohesivitas dan
kebesaran yang panjang, kemudian memperoleh pengakuan setelah dimekarkan
sebagai daerah otonom baru. Pengakuan ini memberikan kontribusi positif
terhadap kepuasan masyarakat, dukungan daerah terhadap pemerintah nasional,
serta manajemen konflik antar kelompok atau golongan dalam masyarakat.
Namun demikian, kebijakan pemekaran juga bisa memicu konflik antar masyarakat, antar pemerintah daerah yang pada gilirannya juga menimbulkan masalah konflik horisontal dalam masyarakat. Sengkera antara pemerintah daerah induk dengan pemerintah daerah pemekaran dalam hal pengalihan aset dan batas wilayah, juga sering berimplikasi pada ketegangan antar masyarakat dan antara masyarakat dengan pemerintah daerah.
2. Dampak Pada Pelayanan Publik
Namun demikian, kebijakan pemekaran juga bisa memicu konflik antar masyarakat, antar pemerintah daerah yang pada gilirannya juga menimbulkan masalah konflik horisontal dalam masyarakat. Sengkera antara pemerintah daerah induk dengan pemerintah daerah pemekaran dalam hal pengalihan aset dan batas wilayah, juga sering berimplikasi pada ketegangan antar masyarakat dan antara masyarakat dengan pemerintah daerah.
2. Dampak Pada Pelayanan Publik
Dari dimensi pelayanan publik, pemekaran daerah
memperpendek jarak geografis antara pemukiman penduduk dengan sentra pelayanan,
terutama ibukota pemerintahan daerah. Pemekaran juga mempersempit rentang
kendali antara pemerintah daerah dengan unit pemerintahan di bawahnya.
Pemekaran juga memungkinkan untuk menghadirkan jenis-jenis pelayanan baru,
seperti pelayanan listrik, telepon, serta fasilitas urban lainnya, terutama di
wilayah ibukota daerah pemekaran.
Tetapi, pemekaran juga
menimbulkan implikasi negatif bagi pelayanan publik, terutama pada skala
nasional, terkait dengan alokasi anggaran untuk pelayanan publik yang
berkurang. Hal ini disebabkan adanya kebutuhan belanja aparat dan infrastruktur
pemerintahan lainnya yang bertambah dalam jumlah yang signifikan sejalan dengan
pembentukan DPRD dan birokrasi di daerah hasil pemekaran. Namun, kalau dilihat
dari kepentingan daerah semata, pemekaran bisa jadi tetap menguntungkan, karena
daerah hasil pemekaran akan memperoleh alokasi DAU dalam posisinya sebagai
daerah otonom baru.
3. Dampak Bagi Pembangunan Ekonomi
Pasca terbentuknya daerah otonom baru, terdapat peluang
yang besar bagi akselerasi pembangunan ekonomi di wilayah yang baru diberi
status sebagai daerah otonom dengan pemerintahan sendiri. Bukan hanya
infrastruktur pemerintahan yang terbangun, tetapi juga infrastruktur fisik yang
menyertainya, seperti infrastruktur jalan, transportasi, komunikasi dan
sejenisnya. Selain itu, kehadiran pemerintah daerah otonom baru juga
memungkinkan lahirnya infrastruktur kebijakan pembangunan ekonomi yang
dikeluarkan oleh pemerintah daerah otonom baru. Semua infrastruktur ini membuka
peluang yang lebih besar bagi wilayah hasil pemekaran untuk mengakselerasi
pembangunan ekonomi.
Namun, kemungkinan akselerasi pembangunan ini harus dibayar dengan ongkos yang mahal, terutama anggaran yang dikeluarkan untuk membiayai pemerintahan daerah, seperti belanja pegawai dan belanja operasional pemerintahan daerah lainnya. Dari sisi teoritik, belanja ini bisa diminimalisir apabila akselerasi pembangunan ekonomi daerah bisa dilakukan tanpa menghadirkan pemerintah daerah otonom baru melalui kebijakan pemekaran daerah. Melalui kebijakan pembangunan ekonomi wilayah yang menjangkau seluruh wilayah, akselerasi pembangunan ekonomi tetap dimungkinkan untuk dilakukan dengan harga yang murah. Namun, dalam perspektif masyarakat daerah, selama ini tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa pemerintah nasional akan melakukannya tanpa kehadiran pemerintah daerah otonom.
4. Dampak Pada Pertahanan, Keamanan dan Integrasi Nasional
Pembentukan daerah otonom baru, bagi beberapa masyarakat pedalaman dan masyarakat di wilayah perbatasan dengan negara lain, merupakan isu politik nasional yang penting. Bagi masyarakat tersebut, bisa jadi mereka tidak pernah melihat dan merasakan kehadiran 'Indonesia', baik dalam bentuk simbol pemerintahan, politisi, birokrasi dan bahkan kantor pemerintah. Bahkan, di beberapa daerah seperti di pedalaman Papua, kehadiran 'Indonesia' terutama ditandai dengan kehadiran tentara atas nama pengendalian terhadap gerakan separatis. Pemekaran daerah otonom, oleh karenanya, bisa memperbaiki penangan politik nasional di daerah melalui peningkatan dukungan terhadap pemerintah nasional dan menghadirkan pemerintah pada level yang lebih bawah.
Tetapi, kehadiran pemerintahan daerah otonom baru ini
harus dibayar dengan ongkos ekonomi yang mahal, terutama dalam bentuk belanja
aparat dan operasional lainnya. Selain itu, seringkali ongkos politiknya juga
bisa sangat mahal, apabila pengelolaan politik selama proses dan pasca
pemekaran tidak bisa dilakukan dengan baik. Sebagaimana terbukti pada beberapa
daerah hasil pemekaran, ketidak mampuan untuk membangun inklusifitas politik
antar kelompok dalam masyarakat mengakibatkan munculnya tuntutan untuk
memekarkan lagi daerah yang baru saja mekar. Untuk mempersiapkan upaya pemekaran
ini, proses pemekaran unit pemerintahan terbawah, seperti desa untuk pemekaran
kabupaten dan pemekaran kabupaten untuk mempersiapkan pemekaran provinsi,
merupakan masalah baru yang perlu untuk diperhatikan.
Identifikasi dampak pemekaran tersebut membawa kita pada kesimpulan bahwa banyak dampak negatif yang perlu diminimalisasi. Esensi kebijakan yang perlu dilakukan merasionalisasi proses kebijakan pemekaran, baik proses pengusulan pemekaran yang dilakukan oleh daerah, maupun proses penetapan pemekaran yang dilakukan di tingkat pusat. Dalam uraian berikut ini kita akan memahami proses dalam dua tingkatan tersebut yang akan membawa kita pada usulan rasionalisasi proses kebijakan pemekaran demi optimalisasi kepentingan publik.
No comments:
Post a Comment