KINERJA BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
Oleh:
Gud Reacht Hayat Padje
Abul Haris Suryo Negoro
Fitrio Dani Nurhadi
A. Pengantar
Ø Buruknya birokrasi tetap menjadi salah satu problem terbesar yang dihadapi
Asia. Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang
berbasis di Hongkong meneliti pendapat para eksekutif bisnis asing
(expatriats), hasilnya birokrasi Indonesia dinilai termasuk terburuk dan belum
mengalami perbaikan berarti dibandingkan keadaan di tahun 1999, meskipun lebih
baik dibanding keadaan Cina, Vietnam dan India.
Ø Di tahun 2000, Indonesia
memperoleh skor 8,0 atau tak bergerak dari skor 1999, dari kisaran skor yang
dimungkinkan, yakni nol untuk terbaik dan 10 untuk terburuk. Skor 8,0 atau jauh
di bawah rata-rata ini diperoleh berdasarkan pengalaman dan persepsi expatriats
yang menjadi responden bahwa antara lain menurut mereka masih banyak pejabat
tinggi pemerintah Indonesia yang memanfaatkan posisi mereka untuk memperkaya
diri sendiri dan orang terdekat.
Ø Para eksekutif bisnis yang
disurvei PERC juga berpendapat, sebagian besar negara di kawasan Asia masih
perlu menekan hambatan birokrasi (red tape barriers). Mereka juga mencatat
beberapa kemajuan, terutama dengan tekanan terhadap birokrasi untuk melakukan
reformasi.
Ø
Reformasi menurut temuan PERC
terjadi di beberapa negara Asia seperti Thailand dan Korea Selatan. Peringkat
Thailand dan Korea Selatan tahun 2000 membaik, meskipun di bawah rata-rata,
yakni masing-masing 6,5 dan 7,5 dari tahun lalu yang 8,14 dan 8,7. Tahun lalu
(1999), hasil penelitian PERC menempatkan Indonesia sebagai negara dengan
tingkat korupsi tertinggi dan sarat kroniisme dengan skor 9,91 untuk korupsi
dan 9,09 untuk kroniisme dengan skala penilaian yang sama antara nol yang
terbaik hingga sepuluh yang terburuk.
B. Konsep Kebijakan
Informasi mengenai kinerja birokrasi publik terjadi karena kinerja belum
dianggap sebagai suatu hal yang penting oleh penierintah. Tidak tersedianya
informasi mengenai indikator kinerja birokrasi publik menjadi bukti dan
ketidakseriusan pemerintah untuk menjadikan kinerja pelayanan publik sebagai
agenda kebijakan yang penting. Kinerja pejabat birokrasi tidak pernah menjadi
pertimbangan yang penting dalam mempromosikan pejabat birokrasi. Daftar
penilaian pelaksanaan pekerjaan (DP3) yang selama ini dipergunakan untuk
menilai kinerja pejabat birokrasi sangat jauh relevansinya dengan
indikator-indikator kinerja yang sebenarnya. Akibatnya, para pejabat birokrasi
tidak memiliki insentif untuk menunjukkan kinerja sehingga kinerja birokrasi
cenderung menjadi amat rendah.
Pemerintah terhadap birokrasi seringkali tidak ada hubungannya dengan kinerJà
birokasinya. misalnya, dalam rnenentukan anggaran birokrasinya, pemerintah sama
sekali idak mengaitkan anggaran dengan kinerja birokrasi. Anggaran birokrasi
publik selama ini lebih didasarkan atas input, bukan cutput. Anggaran
yang ditcrima oleh sebuah birokrasi publik lebih ditentukan oleh kebutuhan,
bukan oleh hasil yangakan diberikan oleh birokrasi itu pada masyarakatnya.
Akibatnya, dorongan untuk mewujudkan hasil dan kinerja cenderung rendah dalam
kehidupan birokrasi publik.
Karena anggaran sening menjadi driving force dari perilaku
birokrasi dan para pejabatnya, mengaitkan anggaran yang ditçnirna oleh sebuah
birokrasi publik dengan hasil atau kinerja bisa menjadi salah satu faktor yang
mendorong perbaikan kinerja birokrasi publik. Para pejabat birokrasi yang ingin
memperoleh anggaran yang besar menjadi terdorong untuk menunjukkan kmerja yang
balk. Kalau ini dapat dilakukan, data dan informasi mengenai kinerja birokrasi
publik niscaya akan tersedia sehingga penilaian kinerja birokrasi publik juga
menjadi lebih mudah dilakukan.
Faktor lain yang menyebabkan terbatasnya informasi
mengenai kinerja birokrasi publik adalah kompleksitas indikator kinerja yang
biasanya digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik. Berbeda dengan
swasta yang indikator kinerjanya relatif sederhana dan tersedia di pasar,
indikator kinerja birokrasi sering sangat kompleks. Hal ini terjadi karena
birokrasi publik memiliki stakeholders yang sangat banyak dan memiliki
kepentingan yang berbeda-beda. Perusahaan bisnis memiliki stakeholders yang
jauh lebih sedikit, pemilik dan konsumen, dan kepentingannya relatif mudah
dintegrasikan. Kepentingan utarna peinilik perusahaan ialah selalu memperoleh
keuntungan, sedarigkan kepentingait utama konsuuen biasanya adalait kualitas
produk dan harga yang terjangkau. Stakeholders dan birokrasi publik,
seperti masyarakat pengguna jasa, aktivis sosial dan partai, wartawan, dan para
penggusaha sering berkepentingan berbeda-beda dan berusaha mendesakkan
kepentingannya agar diperhatikan oleh birokrasi publik. Penilaian kinerja
birokrasi publik karenanya cenderung menjadi jauh lebih kompleks dan sulit
dilakukan daripada di perusahaan bisnis.
Penilaian kinerja birokrasi publik tidak cukup
hanya dilakukan dengan menggunakan indikator-indikator yang melekat pada
birokrasi itu seperti efisiensi dan efektivitias, tetapi harus dilihat juga dan
indikator-indikator yang melekat pada pengguna jasa, seperti kepuasan pengguna
jasa, akuntabilitas, dan responsivitas. Penilaian kinerja dan sisi pengguna
jasa menjadi sangat penting karena birokrasi publik seringkali memiliki
kewenangan monopolis sehingga para pengguna jasa tidak memiliki alternatif
sumber pelayanan. Dalam pelayanan yang diselenggarakan oleh pasar, yang
pengguna jasa memiliki pilihan sumber pelayanan, penggunaan pelayanan bisa
mencerminkan kepuasan terhadap memberi layanan. Dalam pelayanan oleh birokrasi
publik, penggunaan pelayanan oleh publik sering tidak ada hubungannya sama
sekali dengan kepuasannya terhadap pelayanan. Kesulitan lain dalam menilai
kinerja birokrasi publik muncul karena tujuan dan misi birokrasi publik
seringkali bukan hanya sangat kabur, tetapi jugabersifat multidimensional.
Kenyataan bahwa birokrasi publik mernilild stakeholders yang banyak dan
meinilild kepentingan yang sering berbenturan satu dengan lainnya membuat
birokrasi publik mengalaini kesulitan untuk merumuskan inisi yang jelas.
Akibatnya, ukuran kinerja organisasi publik di mata para stakeholders juga
berbedabeda. Namun, ada beberapa indikator yang biasanya digunakan untuk
mengukur kinerja birokrasi publik (Dwiyanto, 1995), yaitu sebagai berikut.
1. Produktivitas
Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat
efisiensi, tetapi juga efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya
dipahaini sebagai rasio antara input dengan output. Konsep
produktivitas dirasa terlalu sempit dan kemudian General Accounting Office (GAO)
mencoba mengembangkan satu ukuran produktivitas yang lebih luas dengan
memasukkan seberapa besar pelayanan publik itu memiliki hasil yang diharapkan
sebagai salah satu indikator kinerja yang penting.
2. Kualitas Layanan
Isu mengenai kualitas layanan cenderung menjadi
semakin penting dalam menjelaskan kinerja organisasi pelayanan publik. Banyak
pandangan negatif yang terbentuk mengenai organisasi publik muncul karena
ketidakpuasan masyarakat terhadap kualitas layanan yang diterima dan organisasi
publik. Dengan deinikian, kepuasaan masyarakat terh.dap Lyanan dapat dijadikan
indikator kinerja organisasi publik. Keuntungan utama menggunakan kepuasan
masyarakat sebagai indikator kinerja adalah informasi mengenai kepuasan
masyarakat seringkali tersedia secara mudah dan murah. Informasi mengenai kepuasan
terhadap kualitas pelayanan seringkali dapat diperoleh dan media massa atau
diskusi pubilk. Akibat akses terhadap informasi mengenai kepuasan masyarakat
terhadap kualitas layanan relatif sangat tinggi, maka bisa menjadi satu ukuran
kinerja organisasi publik yang mudah dan murah dipergunakan. Kepuasan
masyarakat bisa menjadi parameter untuk menilai kinerja organisasi publik.
3. Responsivitas
Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk
mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan
mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan
aspirasi masyarakat. Secara singkat responsivitas di sini menunjuk pada
keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan dengan kcbutuhan dan
azpirasi.
Kumorotorno (1996) menggunakan beberapa kriteria untuk dijddikan pedoman
dalam menilai kirerja organisasi pelayanan publik, antara lam, adalah berikut
ini.
1. Efisiensi
Efisiensi menyangkut pertimbangan tentang
keberhasilan organisasi pelayanan publik mendapatkan laba, memanfaatkan
faktor-faktor produksi serta pertimbangan yang berasal dari rasionalitas
ekonomis. Apabila diterapkan secar objektif, kriteria. seperti likuiditas,
solvabilitas, dan rentabilitas merupakan kriteria efisiensi yang sangat
relevan.
2. Efektivitas
Apakah tujuan dan didirikannya organisasi
pelayanan publik tersebut tercapai? Hal tersebut erat kaitannya dengan
rasionalitas teknis, nilai, misi, tujuan organisasi, serta fungsi agen
pembangunan.
3. Keadilan
keadilan mempertanyakan distnibusi dan alokasi
layanan yang diselenggarakanoieh organisasi pelayanan publik. Kriteria ini erat
kaitannya dengan konsep ketercukupan atau kepantasan. Keduanya mempersoalkan
apakah tingkat efektivitas tertentu, kebutuhan dan nilai-nilai dalam masyarakat
dapat terpenuhi. Isu-isu yang mnyangkut pemerataan pembangunan, layanan kepada
kelompok pinggiran dan sebagainya, akan mampu dijawab melalui kriteria ini.
4. DayaTanggap
Berlainan dengan bisnis yang dilaksanakan oleh
perusahaan awasta, organisasi pelayanan publik merupakan bagan diri daya
tanggap negara atau pemerintah akan kebutuhan vital masyarakat. Oleh sebab itu,
kriteria organisasi tersebut secara keseluruhan harus dapat
dipertanggungjawabkan secara transparan demi memenuhi kriteria daya tanggap.
Salim
& Woodward (1992) melihat kinerja berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
ekonomi, efisiensi, efektivitas, dan persamaan pelayanan. Aspek ekonorni alam
kinerja diartikan sebagai strategi untuk menggunakan sumber daya yang senunimal
mungkin dalam proses penyelenggaraan kegiatan pelayanan publik. Efisiensi
kinerja pelayanan publik juga dilihat untuk menunjuk suatu kondisi tercapainya
perbandingan terbaik/proporsional antara input pelayanan dengan output
pelayanan. Deinikian pula, aspek efektivitas kinerja pelayanan ialah untuk
melihat tercapainya pemenuhan tujuan atau target pelayanan yang telah
ditentukan. Prinsip keadilan dalam pemberian pelayanan publik juga dilihat
sebagai ukuran untuk menilai seberapa jauh suatu ventuk pelayanan telah
memperhatikan aspek-aspek keadilan dan membuat publik memiliki akses yang sama
terhadap sistem pelayanan yang ditawarkan.
Zeithaini, Parasuraman, dan Berry (1990) mengemukakan bahwa kinerja pelayanan
publik yang baik dapat dilihat melalui berbagai indikator yang sifatnya fisik.
Penyelenggaraan pelayanan publik yang baik dapat dilihat melalui aspek fisik
pelayanan yang diberikan, seperti tersedianya gedung pelayanan yang
representatif, fasilitas pelayanan berupa televisi, ruang tunggu yang nyaman,
peralatan pendukung yang memiliki teknologi canggih, niisalnya komputer,
penampilan aparat yang menarik di mata pengguna jasa, seperti seragam dan
aksesoris, serta berbagai fasilitas kantor pelayanan yang memudahkan akses
pelayanan bagi masyarakat.
Berbagai
perspektif dalam melihat kinerja pelayanan publik di atas memperlihatkan bahwa
indikator-indikator yang dipergunakan untuk menyusun kinerja pelayanan publik
ternyata sangat bervariasi. Secara garis besar, berbagai parameter yang
dipergunakan untuk melihat kinerja pelayanan publik dapat dikelompokkan menjadi
dua pendekatan. Pendekatan pertama melihat kinerja pelayanan publik dan
perspektif pemberi layanan, dan pendekatan kedua melihat kinerja pelayanan
publik dan perspektif pengguna jasa. Pembagian pendekatan atau perspektif dalam
nielihat kinerja pelayanan publik tersebut hendaknya tidak dilihat secara
diametrik, melainkan tetap dipahami sebagai suatu sudut pandang yang saling
berinteraksi di antara keduanya; Hal tersebut disebabkan dalam melihat persoalan
kinerja pelayanan publik, terdapat berbagai faktor yang mempengaruhinya secara
timbal balik, terutama pengaruh interaksi lingkungan yang dapat mempengaruhi
cara pandang birokrasi terhadap publik, demikian pula sebaliknya.
Dalam
konteks kinerja birokrasi pelayanan publik di Indonesia, pemerintah melalui
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) Nomor 81 lahun 1995
telah memberikan berbagai rambu-rambu pemberian pelayanan kepada birokrasi
publik secara baik. Berbagai prmsip pelayanan, seperti kesederhanaan,
kejelasan, kepastian, keamanan, keterbukaan, efisien, ekonoinis, dan keadilan
yang merata merupakan prinsip-prinsip pelayanan yang harus diakomodasi dalam
pemberian pelayanan publik di Indonesia. Prinsip kesederhanaan, misalnya,
mempunyai maksud banwa prosedur atau tata cara pemberian pelayanan publik harus
didesain sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat
menjadi mudah, lancar, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami, dan mudah
dilaksanakan.
Perkembangan lingkungan global juga telah memberikan andil yang besar
kepada birokrasi untuk semakin meningkatkan daya saing dalam kerangka pasar
bebas dan tuntutan globatisasi. Birokrasi publik dituntut harus mampu
memberikan pelayanan yang sebaik mungkin, baik kepada publik maupun kepada
investor dari negara lain. Salah satu strategi untuk merespons perkembangan
global tersebut adalah dengan meningkatkan kapasitas birokrasi dalam pemberian
pelayanan, publik. Penerapan strategi yang mengintegrasikan pendekatan kultural
dan struktural ke dalam sistem pelayanan birokrasi, yang disebut dengan Total
Quality Management (TQM), dapat dilakukan untuk semakin meningkatkan
produktivitas dan perbaikan pelayanan birokrasi.
Perbaikan kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan
publik menjadi isu yang semakin penting untuk segera mendapatkan perhatian dan
semua pihak. Birokrasi yang memiliki kinerja buruk dalam me’nberikan pelaydnan
kepada publik akan sangat mempengaruhi kinerja pemerintah dan masyarakat secara
keseluruan dalam rangka meningkatkan daya saing suatu negara pada era global.
Birokrasi pelayanan publik di Indonesia, berdasarkan laporan dan The World
Competitiveness Yearbook tahun 1999 berada pada kelompok negara-negara yang
memiliki indeks competitiveness paling rendah di antara 100 negara
paling kompetitif di dunia (Cullen & Cushman, 2000: 15) semakin buruk dan
semakin korup karena dengan semakin besarnya skor yang dimiliki, semakin buruk
kualitas birokrasi di suatu negara. Birokrasi di Indonesia dalam tahun 2001
hanya lehih baik dibandingkan dengan India dan Vietnam. Dan kacamata iklim
bisnis secara keseluruhan, dengan mmperhatikan faktor sistemik, sosio-politik,
lingkungan, pasar, dan dinamika perekonomian, Indonesia bahkan berada pada
posisi paling bawah dalam indeks bisnis. Hal tersebut berarti bahwa Indonesi
menjadi negara yang paling tidak menarik untuk tujuan melakukan investasi.
Kinerja birokrasi sebenarnya dapat dilihat
melalui berbagai dimensi, seperti dimensi akuntabilitas, efisiensi,
efektivitas, responsivitas, maupun responsibiltas. Berbagai literatur yang
membahas kinerja birokrasi pada dasarnya memiliki kesamaan substansial yakni
untuk meihat seberapa jauh tingkat pencapaian hasil yang telah dilakukan oleh
birokrasi pelayanan. Kinerja itu merupakan suatu konsep yang disusun dan
berbagai indikator yang sangat bervariasi sesuai dengan fokus dan konteks
penggunaannya.
Perspektif yang digunakan oleh birokrasi sebagai pemberi layanan merupakn
perspektif yang sebenarnya berasal dan pendekatan birokrasi yang cenderung
menempatkan diri sebagai regulator danipada sebagai pelayan. Kineqa birokrasi
pada awálrwa banyak dipahanii oleh kalangan birokrasi hanya dan aspek
responsibilitas, yakni sejauh mana pelayanan yang diherikan telah sesuai dengan
aturan formal yang diterapkan. Pemberian pelayanan yang telah menunjuk kepada
aturan formal dianggap telah memenuhi sendi-sendi pelayanan yang baik dan
aparat pelayanan dianggap telah konsisten dalam menerapkan aturan hukum
pelayanan. Sulit untuk menelusuri lebih jauh, apakah penerapan prinsip tersebut
telah membawa implikasi kepada kultur birokrasi pelayanan di Indonesia yang
tidak dapat melakukan inisiatif dan inovasi pelayanan.
C. Akuntabilitas
Akuntabilitas dalam penvelenggaraan pelavanan publik adalah suatu ukuran
yang menunjukkan beberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan
dengan ukuran nilai-nilai atau norma eksternal yang ada di masyarakat atau yang
diiniliki oleh para stakeholders. Nilai dan norma pelayanan yang herkembang
dalam masyarakat tersebut di antaranya meliputi transparansi pelayanan, prinsip
keadilan, jaminan penegakan hukum, hak asasi manusia, dan orentasi pelayanan
yang dikembangkan terhadap masyarakat pengguna jasa.
Akuntabilitas penyelenggaraan pelayanan publik dalampenelitian dilihat melalui
indikator-indikator kinerja yang meliputi: (1) acuan pelayanan yang
dipergunakan aparat birokrasi dalam proses penyelenggraan pelayanan publik.
Indikator tersebut mencerminkan prinsip orientasi pelayanan yang dikembangkan
oleh birokrasi terhadap masyarakat pengguna jasa; (2) tindakan yang dilakukan
oleh aparat birokrasi apabila terdapat masyarakat pengguna jasa yang tidak
memenuhi persyaratan yang telah ditentukan; dan (3) dalam menjalankan tugas
pelayanan, seberapa jauh kepentingan pengguna jasa memperoleh prioritas dari
aparat birokrasi.
Aparat
birokrasi dalam memberikan pelayanan publik seringkali masih menerapkan standar
nilai atau norma pelayanan secara sepihak, seperti pemberian pelayanan yang
hanya berdasarkan pada juklak (petunjuk dan pelaksanaan) sehingga kecenderungan
yang terjadi adalah lemahnya komitmen aparat birokrasi untuk akuntabel terhadap
masyarakat yang dilayaninya. Salah satu faktor penyebab yang menjadikan
rendahnya tingkat akuntabilitas birokrasi adalah terlalu amanya proses
indoktrinasi kultur birokrasi yang mengarahkan aparat birokrasi i.mtuk selalu
melihat ke atas. Selama ini aparat birokrasi telah terbiasa lebih mementingkan
kepentingan pimpinan daripada kepentingan masyarakat pengguna jasa. Birokrasi
tidak pernah merasa bertanggung jawab kepada publik, melainkan bertanggung
jawab kepada pimpinan atau atasannya.
Pemberian pelayanan yang memakan proses dan prosedur panjang, seperti yang
terjadi di Unit Pelayanan Terpadu, juga menjadi indikasi masih rendahnya
akuntabiltas dan birokrasi pelayanan yang ada. Keberadaan Unit Pelayanan
Terpadu Satu Atap (UPTSA) sebagai unit pelayanan yang pada awalya dirancang
untuk memudahkan pelayanan masyarakat, pada kenyataannya justru cenderung
memperpanjang proses dan prosedur pelayanan. Meskipun demikian, keberadaannya
masih tetap dipertahankan karena merupakan program dari Pemerintah Pusat.
Seorang aparat birokrasi pada kantor Dmas Tata Kota mengakui telah terjadinya
ketidakefektifan sistem pelayanan di UPTSA. Rendahnya akuntabilitas pemberian
pelayanan publik oleh birokrasi dapat dilihat juga dan banyaknya kasus yang
dialami oleh masyarakat pengguna jasa. Masalah prosedur pelayanan yang banyak
merugikan masyarakat pengguna jasa, terutama masalah transparansi persyaratan
yang diperlukan, merupakan kasus-kasus pelayanan yang banyak mencuat
Transparansi informasi
birokrasi dalam pemberian pelayanan publik masih tetap menjadi isu yang penting
bagi upaya ke arah perbaikan kinerja birokrasi pemerintah. Tindakan untuk
melakukan reformasi birokrasi terutama diarahkan pada upaya untuk peningkatan
efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas birokrasi (Lubis, 2001).
Transparansi dalam birokrasi dapat memberikan implikasi pada meningkatnya
tingkat korupsi di dalam birokrasi, tetapi reformasi tetap dilakukan di semua
tingkatan birokrasi. Apabila reformasi dilakukan pada tingkat birokrasi pusat
saja, hal tersebut justru hanya akan memindahkan korupsi dan birokrasi pusat ke
birokrasi yang ada di daerah. Acuan pelayanan yang digunakan oleh aparat
birokrasi juga dapat menunjukkan tingkat akuntabilitas pemberian pelayanan
publik. Acuan pelayanan yang dianggap paling penting oleh birokrasi dapat
merefleksikan pola pelayanan yang dipergunakan. Pola pelayanan yang akuntabel
adalah pola pelayanan yang mengacu pada kepuasan publik sebagai pengguna jasa.
Birokrasi pelayanan di ketiga daerah ternyata masih menjadikan aturan dan
petunjuk pimpinan sebagai acuan utama pemberian pelayanan. Birokrasi bahkan
terlihat belum sepenuhnya mengerti dan memahami eksistensi birokrasi yang tetap
tergantung pada publik.
Kesadaran aparat birokrasi tentang eksistensi publik yang dapat dipengaruhi
eksistensi birokrasi juga masih sangat rendah. Persepsi di kalangan aparat
birokrasi yang selalu menempatkan diri (superior) terhadap publik sehingga
menimbulkan sifat arogansi aparat birokrasi masih sangat dominan terlihat.
Hasil temuan lapangan bahwa ini dapat memperlihatkan masih kuatnya
kecenderungan orientasi pemberian pelayanan yang belum bersandar pada uasan
masyarakat menunjukkan bahwa budaya ‘minta petunjuk atasan’ masih cenderung
dijadikan referensi atau lebih dipentingkan pada melakukan pelayanan yang
memuaskan masyarakat pengguna . Acuan pelayanan birokrasi di ketiga daerah yang
masih menempatkan pimpinan dan aturan sebagai sentral pelayanan membuktikan
bahwa kultur atau corak birokrasi patrimonial masih mewarnai birokrasi
dalam memberikan pelayanan publik. Aparat pelayanan yang bertindak atas dasar
prinsip peraturan menjadi bersikap kaku dan tidak mendorong lahirnya
kreativitas dalam pemberian layanan. Pelaksanaan pelayanan publik seharusnya
bertitik tolak dari misi dan visi pelayanan agar dapat mengakomodasi
kepentingan masyarakat.
D. Responsivitas
Responsivitas adalah kemampuan birokrasi untuk rnengenal kebutuhan masyarakat,
menyusun agenda dan prioritas pelayanan, serta mengembangkan program-progrm
pelayanan sesuai dcngan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa responsivitas ini mengukur daya tanggap birokasi lerhadap
harapan, keinginan dan aspirasi, serta tuntutan pengguna jasa. Responsivitas
sangat diperlukan dalam pelayanan publik karena hal tersebut merupakan bukti
kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan
prioritas pebyanan serta mengembangkan program-program pelayan publik sesuai
dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat (Dilulio, 1991). Organisasi yang
memiliki responsivitas rendah dengan sendirinya memiliki kinerja yang jelek
juga (Osborne & Plastrik, 1997).
Dalam
operasionalisasinya, responsivitas pelayanan publik dijabarkan menjadi beberapa
indikator, seperti meliputi (1) terdapat tidaknya keluhan dan pengguna jasa
selama satu tahun terakhir; (2) sikap aparat birokrasi dalam merespons keluhan
dan pengguna jasa; (3) penggnaan keluhan dan pengguna jasa sebagai referensi
bagi perbaikan penyelenggaraan pelayanan pada masa mendatang (4) berbagai
tindakan aparat birokrasi untuk memberikan kepuasan pelayanan kepada pengguna
jasa; serta (5) penempatan pengguna jasa oleh aparat birokrasi dalam sistem
pelayanan yang berlaku. Keluhan yang disampaikan oleh masyarakat pengguna jasa
merupakan indikator pelayanan yang memperlihatkan bahwa produk pelayanan yang
selama ini dihasilkan oleh birokrasi belum dapat memenuhi harapan pengguna
layanan.
Responsivitas birokrasi yang rendah juga banyak disebabkan oleh belum adanya
pengembangan komunikasi eksternal secara nyata oleh jajaran birokrasi
pelayanan. Indikasi nyata dari belum dikembangkannya komunikasi eksternal
secara efektif oleh birokrasi terlihat pada masih besarnya gap pelayanan
yang terjadi. Gap pelayanan yang terjadi merupakan gambaran pelayanan
yang memperlihatkan hahwa belum ditemukan kesamaan persepsi antara harapan
pengguna jasa dan pemberi layanan terhadap kualitas pelayanan yang diberikan.
Aparat birokrasi pelayanan di ketiga daerah penelitian terlihat masih membuka
jurang komunikasi yang lebar dengan masyarakat pcngguna jasa. Tidak transparannya
aparat birokrasi pelayanan pertanahan, misalnya, merupakan salah satu indikasi
belum adanya pengembangan komunikasi eksternal di kalangan aparat birokrasi
dengan rnasyarakat pengguna jasa. Tidak transparannya komunikasi dan birokrasi
yang menyangkut pemberian pelayanan menyebabkan pihak masyarakat pengguna jasa
selalu berada pada posisi yang dimikan.
Tidak
adanya transparansi informasi dari birokrasi tersebut membuat banyak masyarakat
pengguna jasa mengalami frustasi. Kornunikasi yang tidak efektif yang selama
ini masih dikembangkan oleh birokrasi menunjukkan bahwa birokrasi belum
mempunyai kesadaran untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat
pengguna jasa. Responsivitas pemberian pelayanan publik salah satunya diukur
melalui keterbukaan informasi dan seberapa jauh interaksi komunikasi yang
terjalin antara birokrasi sebagai pemberi layanan dengan masyarakat pengguna
jasa. Kasus di atas memperlihatkan gambaran bahwa masyarakat pengguna jasa
seringkali belum mempunyai akses terhadap informasi pelayanan yang dibutuhkan,
demikian pula kecenderungan aparat birokrasi justru terkesan menyembunyikan
informasi kepada masyarakat. Dalam iklim komunikasi pelayanan yng tertutup
seperti ini, sangat sulit untuk dapat mewujudkan responsivitas aparat birokrasi
dalam penyelenggaraan pelayanan kepada publik.
E. Orientasi pada Pelayanan
Orientasi pada pelayanan menunjuk pada seberapa banyak energi birokrasi
dirmanfaatkan untuk penyelenggaraan pelayanan publik. Sistem pemberian pelayanan
yang baik dapat dilihat dan besarnya sumber daya manusia yang dimiliki oleh
birokrasi secara efektif didayagunakan untuk melayani kepentingan pelayanan.
Idealisnya, segenap kemampuan dan sumber daya yang dimiliki oleh aparat
birokrasi hanya dicurahkan atau dikonsentrasikat untuk melayani kebutuhan dan
kepentingan pengguna jasa. Kemampuan dan sumber daya aparat birokrasi sangat
diperlukan agar orientasi pada pelayanan dapat dicapai. Contohnya, antara lain,
adalah masalah penyediaan waktu kerja aparat yang benar-benar berorientasi pada
pemberian pelayanan kepada masyarakat. Aparat birokrasi yang ideal adalah
aparat birokrasi yang tidak dibebani oleh tugas-tugas kantor lain di luar tugas
pelayanan kepada masyarakat. Aparat pelayanan yang ideal juga seharusnya tidak
memiliki kegiatan atau pekerjaan lain seperti pekerjaan sambilan di luar
pekerjaan kantor yang dapat mengganggu tugas-tugas penyelenggaraan pelayanan.
Kinerja pelayanan aparat birokrasi akan dapat maksimal apabila bila semua waktu
dan konsentrasi aparat benar-benar tercurah untuk melayani masyarakat pengguna
jasa.
Kondisi
pelayanan yang ideal di atas dalam realitasnya sangat sulit untuk diwujudkan
dalam birokrasi. Ketidakjelasan pembagian wewenang, inkonsistensi pembagian
kerja, serta sikap pimpinan kantor yang sewenang-wenang memberikan tugas kepada
aparat bawahan tanpa memperhitungkan aspek sifat pekerjaan, urgensi pekerjaan,
dan dampak pemberian tugas terhadap kualitas pemberian pelayanan kepada
masyarakat. Hal-hal tersebut merupakan beberapa fakta penyebab sulitnya aparat
birokrasi berkonsentrasi secara penuh pada tugas-tugas pelayanan masyarakat.
Aparat birokrasi seringkali meninggalkan tugas pelayanan dan lebih banyak
menghabiskan waktu untuk tugas-tugas lain di luar tugas pelayanan. Kondisi
tersebut membuat pelayanan kepada masyarakat menjadi terganggu. Masih seringnya
aparat birokrasi meninggalkan tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat, erat
kaitannya dengan adanya tugas-tugas tambahan yang dibebankan oleh pimpinan
kepada aparat pada tingkat bawah yang menjalankan tugas pelayanan langsung
kepada masyarakat. Hal tersebut sangat sering menimpa aparat birokrasi di
tingkat desa, kelurahan, atau kecamatan yang merupakan tingkatan pemerintahan
terendah yang langsung berhadapan dengan masyarakat. Aparat pelayanan
seringkali diperintahkan oleh pimpinan kantor desa atau kecamatan untuk
menghadiri kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, scperti mewakili camat atau lurah
melayat warga yang meninggal dunia, ikut serta dalam kegiatan posyandu, safari
KB, pertemuan RW, atau pertemuan rapat warga lainnya, yang dilakukan
pada saat jam pelayanan.
Penugasan
aparat untuk dinas luar oleh pihak pimpinan kantor pada saat jam pelayanan
masih seringkali ditemukan di beberapa kantor pelayanan baik di lingkungan
kantor pelayanan desa, kecamatan, kantor pertanahan maupun kantor pelayanan
perizinan. Kegiatan dinas luar yang seringkali dilakukan oleh aparat birokrasi
adalah melakukan kegiatan peninjauan suatu kegiatan atau membantu pekerjaan dan
seksi lainnya. Banyak ditemukan aparat pelayanan yang membantu tugas-tugas dari
seksi atau bagian lainnya sehingga tugas pokoknya menjadi terbengkalai, seperti
seorang kepala seksi pelayanan harus ikut dalam kegiatan penataan arsip,
mengurusi surat menyurat, menjaga dan menerima telepon kantor, atau bahkan
penyelenggaraan pasar murah atau sekaten. Tugas-tugas tersebut belum termasuk
tugas-tugas untuk kepentingan pribadi yang diberikan oleh pimpinan, seperti
mengerjakan tugas-tugas kantor yang seharusnya menjadi bagian tugas pimpinan,
menemani tamu kantor atau tamu pimpinan, menyampaikan suatu surat pembenitahuan
ke kantor-kantor kelurahan, atau mewakili camat keliling kecamatan untuk
memantau dan melakukan pembinaan kepada masyarakat. Pada akhirnya ketidakberadaan
petugas pelayanan menyebabkan pemberian pelayanan terhadap pengguna jasa
menjadi lambat sehingga kinerja pelayanan publik menjadi buruk.
Alasan
yang seringkali dikemukakan oleh pimpinan kantor untuk menugaskan aparat
pelayanan mengerjakan tugas lain pada saat-saat jam pelayanan adalah karena
terbatasnya jumlah personil aparat pelayanan. Para pimpinan kantor, sebagaimana
yang seringkali diungkapkan oleh para aparat, seringkali menggunakan alasan “pokokke
endi sing selo”, atau pokoknya siapa saja aparat yang dianggap memiliki
waktu luang, maka akan ditugaskan untuk dinas luar. Manajemen pembagian tugas
dan sebagian besar pimpinan birokrasi yang belum mencerminkan gaya seorang
manajer tersebut menjadikan pola pembagian tugas dalam birokrasi antara urusan
adimnistratif, tugas pimpinan, dan tugas pelayanan menjadi bercampur. Pimpinan
birokrasi seningKali belwn dapat membedakan antara tugas pnibadi pimpinan,
tugas pimpinan kantor yang tidak dapat diwakilkan kepada bawahan, dan tugas
pelayanan masyarakat dan aparat pelayanan sehingga seningkali menyebabkan
tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat cenderung dapat dikalahkan oleh
kepentingan pribadi pimpinan atau tugas-tuas pimpinan lainnya. pada sisi output
pelayanan, birokrasi secara ideal harus dapat memberikan produk pelayanan
yang berkualitas, terutama dan aspek biaya dan waktu pelayanan. Efisinsi pada
sisi input dipergunakan untuk melihat seberapa jauh kemudahan akses
publik terhadap sistem pelayanan yang ditawarkan. Akses publik terhadap
pelayanan dipandang efisien apabila publik memiliki jaininan atau kepastian
menyangkut biaya pelayanan. Kepastian biaya pelayanan yang hams dike1irkan oleh
publik merupakan indikator penting untuk melihat intensitas korupsi dalam
sistem layanan birokrasi. Birokrasi pelayanan publik yang korup akan ditandaj
oleh besarnya biaya ekstra yang harus dikeluarkan oleh pengguna jasa dalam
mengakses layanan. Publik, dengan demikian, harus mengeluarkan baya ekstra
untuk dapat memperoleh pelayanan yang terbaik dan birokrasi, padahal secara
prinsip seharusnya pelayanan terbaik harus dapat dinikmati oleh publik secara
keseluruhan. Demikian pula efisiensi pelayanan dan sisi output, dipergunakan
untuk melihat pemberian produk pelayanan oleh birokrasi tanpa disertai adanya
tindakan pemaksaan kepada publik untuk mengeluarkan biaya ekstra pelayanan,
seperti suap, sumbangan sukarela, dan berbagai pungutan dalam proses pelayanan
yang sedang berlangsung. Dalam kultur pelayanan birokrasj di Indonesia, telah
lama dikenal istilah ‘tahu sania taint’, yang berarti adanya toleransi
dan pihak aparat birokrasi maupun masyarakat pengguna jasa untuk menggunakan
mekanisme suap dan mendapatkan pelayanan yang terbaik.
Kecenderungan aparat birokrasi untuk menerima pemberian uang dan masyarakat
pengguna jasa tersebut disebabkan masih adanva budaya upeti dalam sistem
pelayanan publik di Indonesia. Budaya pelayanan yang dikembangkan semenjak masa
birokrasi keraiaan tersebut pada dasarnya menempatkan aparat birokrasi sebagai
pihak yang harus dilayani oleh masyarakat, pelayanan yang hams dilakukan oleh
masyarakat tersebut ialah dalam rangka memperoleh patron di dalam birokrasi
yang sewaktu-waktu dapat dipergunakan untuk membangun akses ke birokrasi.
Mekanisme pemberian hiaya ekstra dalam praktik pelayanan birokrasi sesungguhnya
memperlihatkan berbagai faktor yang sangat kompleks, seperti menyangkut masalah
kultur psikologis, sistem
pelayanan, mekanisme pengawasan, serta mentalitas aparat maupun pengguna jasa
sendiri.
Praktik
pelayanan dengan membenikan uang ekstra kepada apara birokrasi tersebut telah
menjadi suatu kebiasaan umum di lingkunga birokrasi. Aparat birokrasi xnenjadi
terbiasa dalam budaya pelayana yang mengharapkan adanya pemberian uang dan
masyarakat. Apabila dalam memberikan pelayanan pengguna jasa tidak memberikan
imbalan dalam bentuk uang ekstra tersebut, biasanya aparat dalarn bckcrja
terkesan ogah-ogahan atau seenaknya sendiri. Sebaliknya, semakin besar
jmbalan yang diberikan masyarakat pengguna jasa akan semakin memacu motivasi
keqa aparat dalam melayani masyarakat pengguna jasa tersebut. Selain ditinjau
dan segi biaya, efisensi pelayanan publik juga ditinjau dan scgi waktu
pelayanan. Keluhan yang dialami oleh pengguna jasa menyangkut waktu pelayanan
adalah ketidakjelasan waktu pelayanan. Sebenarnya banyak pengguna jasa yang
tidak berkeberatan untuk membayar mahal kalau jelas perinciannya untuk
keperluan apa, dan berapa lama waktu yang diperlukan. Akan tetapi, waktu yang diperlukan untuk mengurus
pelayanan publik sangat tidak jelas. Urusan yang sama sangat mungkin
membutuhkan biaya dan waktu yang jauh berbeda.
Menurut
petugas pelayanan, lamanya pemberian pelayanan kepada masyarakat pengguna jasa
disebabkan adanya kendala internal dan eksternal. Kendala iiLternal meliputi
pealatan pendukung yang tidak memadai, kualitas SDM rendah, dan koordinasi
antarunit. Selain itu, faktor kualitas sumber daya manusia yang relatif rendah
semakin menghambat pemberian pelayanan kepada masyarakat. Kualitas SDM yang
rendah tersebut ditandai dengan ketidakmampuan petugas memberikan solusi kepada
customer atau yang lebih dikenal dengan melakukan tindakan diskresi.
Faktor rendahnya pendidikan para petugas pelayanan mempengaruhi peinikiran
mereka bahwa semua keputusan harus berasal dan atasan dan harus berpegang teguh
kepada juklak/juknis sehingga ketika seorang pengguna jasa memerlukan pelayanan
yang cepat, aparat tidak mampu mcmenuhinya karena harus menunggu instruksi
atasan terlebih dahulu. Hal ini menyebabkan pelayanan publik menjadi memerlukan
waktu pelayanan yang relatif lebih lama. Koordinasi antarunit seringkali
menghambat pemberian pelayanan karena waktu yang dibutuhkan menjadi lebih lama.
Kendala lain yang dihadapi adalah kendala eksternal yaitu kendala yang
disebabkan oleh pengguna jasa itu sendiri seperti ketidaklengkapan dokumen,
pengguna jasa tidak kooperatif dan ketiadaan koordinasi antarinstansi seperti
dari kelurahan ke kecamatan. Masalah ketidaklengkapan persyaratan/dokumen yang
harus dilengkapi oleh pengguna jasa seringkali membuat aparat menolak
memberikan pelayanan. Pengguna jasa disarankan untuk melengkapinya terlebih
dahulu. Di sini yang menjadi persoalan adalah ketika lokasi tempat tinggal
seorang pengguna jasa jauh dan instansi tersebut dan masalah kesibukan pengguna
jasa membuat penyelesaian urusan menjadi lebih lama. Hal tersebut diakui oleh
aparat sebagai penyebab utama kelambatan, tetapi jarang sekali aparat yang
mempunyai inisiatif untuk tetap memproses berkas-berkas urusan tersebut dan
kekurangan persyaratan dilengkapi kemudian. Bagi aparat, apabila tetap diproses, akan
menyulitkan kerja mereka sendiri. Pengguna jasa juga seringkali tidak
kooperatif maksudnya yaitu bahwa kadangkala pengguna jasa menghalalkan segala
cara untuk menyelesaikan urusannya meskipun melanggar peraturan.
Kinerja
Pelayanan Publik menghasilkan kesimpulan mengenai rçndahnya kualitas pelayanan
publik di Indonesia. Pada hakikatnya, pelayanan publik dirancang dan
diselenggarakan antuk memenuhi kebutuhan masyarakat pengguna jasa. Namun,
persepsi antara masyarakat penggun jasa dan aparat birokrasi mengenai kualitas
pelayanan publik yang efisien, transparan, pasti dan adil belum berhasil
diwujudkan. Sebagai penyelenggara pelayanan publik, birokrasi pemerintah gagal
dalam merespons dinamika politik dan ekonomi sehingga pelayanan publik
cenderung menjadi tidak efisien dan tidak responsif. Bahkan, berbagai bentuk
patologi birokrasi telah berkembang dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Akibatnya, muncul banyak praktik KKN dalam penyelenggaraan pelayanan yang amat
merugikan masyarakat pengguna jasa. Kinerja pelayanan publik yang buruk ini
adalah hasil dan kompleksitas permasalahan yang ada di tubuh birokrasi
Indonesia
F. Penutup
Ø Perlu dibangun birokrasi berkultur dan
struktur rasional-egaliter, bukan irasional-hirarkis. Caranya dengan pelatihan
untuk menghargai penggunaan nalar sehat dan mengunakan hasil-hasil ilmu
pengetahuan. Perlunya memiliki semangat pioner, bukan memelihara budaya minta
petunjuk dari atasan. Perlu dibiasakan mencari cara-cara baru yang praktis
untuk pelayanan publik, inisiatif, antisipatif dan proaktif, cerdas membaca
keadaan kebutuhan publik, memandang semua orang sederajat di muka hukum,
menghargai prinsip kesederajatan kemanusian, setiap orang yang berurusan
diperlakukan dengan sama pentingnya.
Ø Birokrasi yang propartisipan-outonomus
bukan komando-hirarkis. Birokrasi
Indonesia ke depan perlu mendukung dan melakukan peran pemberdayaan dan
memerdekakan masyarakat untuk berkarya dan berkreatifitas. Perlu dikurangi
kadar pengawasan dan represi terhadap hak ekspresi masyarakat. Perlu
ditinggalkan cara-cara penguasaan masyarakat lewat kooptasi kelembagaan dan
dihindari sikap dominasi.
Ø Birokrasi bertindak profesional terhadap
publik. Berperan menjadi pelayan masyarakat (public servent). Dalam
memberikan pelayanan ada transparansi biaya dan tidak terjadi pungutan liar.
PNS perleu memberikan informasi dan transparansi sebagai hak masyarakat dan
bisa dimintai pertanggungjawabannya (public accountibility) lewat dengar
pendapat (hearing) dengan legislatif atau kelompok kepentingan yang
datang. Melakukan pemberdayaan publik dan mendukung terbangunnya proses
demokratisasi.
Ø Birokrasi yang saling bersaing antar
bagian dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas dalam melayani publik secara
kompetitif, bukan minta dilayani atau membebani masyarakat dengan pungutan
liar, salah urus, dan ketidakpedulian.
Ø Birokrasi yang melakukan rekruitmen sumber
daya manusianya melalui seleksi fit and proper test, bukan mengangkat
staf atau pimpinan karena alasan kolusi dan nepotisme. Birokrasi yang
memberikan reward merit system (memberikan penghargaan dan imbalan gaji
sesuai pencapaian prestasi) bukan spoil system (hubungan kerja yang
kolutif, diskriminatif dan kurang mendidik, pola reward dan punishment
kurang berjalan).
No comments:
Post a Comment