Kebijakan publik
Kebijakan
publik merupakan apa saja yang dilakukan pemerintah, mengapa pemerintah
mengambil tindakan dan akibat - akibat dari tindakan tersebut. Maka agar kita
menghindari fokus yang sempit itu yaitu dengan menggunakan disiplin yang bervariasi.
Analisis kebijkan publik adalah sub bidang terapan yang isinya tidak dapat
ditentukan yang terbatas tetapi dengan segala sesuatu yang tampaknya sesuai
dengan segala situasi dari masa hakekat dari persoalannya.
Kebijakan
Publik adalah suatu keputusan yang dimaksudkan untuk tujuan mengatasi
permasalahan yang muncul dalam suatu kegiatan tertentu yang dilakukan oleh
instansi pemerintah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan (Mustopadidjaja,
2002). Pada sudut pandang lain, Hakim (2003) mengemukakan bahwa Studi Kebijakan
Publik mempelajari keputusan-keputusan pemerintah dalam mengatasi suatu masalah
yang menjadi perhatian publik. Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh
Pemerintah sebagian disebabkan oleh kegagalan birokrasi dalam memberikan
pelayanan dan menyelesaikan persoalan publik. Kegagalan tersebut adalah
information failures, complex side effects, motivation failures, rentseeking,
second best theory, implementation failures (Hakim, 2002). Berdasarkan
stratifikasinya, kebijakan publik dapat dilihat dari tiga tingkatan, yaitu
kebijakan umum (strategi), kebijakan manajerial, dan kebijakan teknis
operasional. Selain itu, dari sudut manajemen, proses kerja dari kebijakan
publik dapat dipandang sebagai serangkaian kegiatan yang meliputi (a) pembuatan
kebijakan, (b) pelaksanaan dan pengendalian, serta (c) evaluasi kebijakan.
Menurut
Dunn (1994), proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas dalam
proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politis tersebut diartikan
sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian
tahap yang saling tergantung, yaitu (a) penyusunan agenda, (b) formulasi
kebijakan, (c) adopsi kebijakan, (d) implementasi kebijakan, dan (e) penilaian
kebijakan.
Proses formulasi kebijakan dapat dilakukan melalui tujuh tahapan
sebagai berikut (Mustopadidjaja, 2002):
1. Pengkajian Persoalan.
Tujuannya adalah untuk menemukan dan memahami hakekat persoalan dari suatu
permasalahan dan kemudian merumuskannya dalam hubungan sebab akibat.
2. Penentuan tujuan. Adalah
tahapan untuk menentukan tujuan yang hendak dicapai melalui kebijakan publik
yang segera akan diformulasikan.
3. Perumusan Alternatif.
Alternatif adalah sejumlah solusi pemecahan masalah yang mungkin diaplikasikan
untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
4. Penyusunan Model. Model
adalah penyederhanaan dan kenyataan persoalan yang dihadapi yang diwujudkan
dalam hubungan kausal. Model dapat dibangun dalam berbagai bentuk, misalnya
model skematik, model matematika, model fisik, model simbolik, dan lain-lain.
5. Penentuan kriteria.
Analisis kebijakan memerlukan kriteria yang jelas dan konsisten untuk menilai
alternatif kebijakan yang ditawarkan. Kriteria yang dapat dipergunakan antara
lain kriteria ekonomi, hukum, politik, teknis, administrasi, peranserta
masyarakat, dan lain-lain.
6. Penilaian Alternatif.
Penilaian alternatif dilakukan dengan menggunakan kriteria dengan tujuan untuk
mendapatkan gambaran lebih jauh mengenai tingkat efektivitas dan kelayakan
setiap alternatif dalam pencapaian tujuan.
7. Perumusan Rekomendasi.
Rekomendasi disusun berdasarkan hasil penilaian alternatif kebijakan yang
diperkirakan akan dapat mencapai tujuan secara optimal dan dengan kemungkinan
dampak yang sekecil-kecilnya.
William N.
Dunn (2000) mengemukakan bahwa analisis kebijakan adalah suatu disiplin ilmu
sosial terapan yang menggunakan berbagai macam metode penelitian dan argumen
untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan,
sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan
masalah-masalah kebijakan. Weimer and Vining, (1998:1): The product of policy
analysis is advice. Specifically, it is advice that inform some public policy
decision. Jadi analisis kebijakan publik lebih merupakan nasehat atau bahan
pertimbangan pembuat kebijakan publik yang berisi tentang masalah yang
dihadapi, tugas yang mesti dilakukan oleh organisasi publik berkaitan dengan
masalah tersebut, dan juga berbagai alternatif kebijakan yang mungkin bisa
diambil dengan berbagai penilaiannya berdasarkan tujuan kebijakan.
Analisis
kebijakan publik bertujuan memberikan rekomendasi untuk membantu para pembuat
kebijakan dalam upaya memecahkan masalah-masalah publik. Di dalam analisis
kebijakan publik terdapat informasi-informasi berkaitan dengan masalah-masalah
publik serta argumen-argumen tentang berbagai alternatif kebijakan, sebagai
bahan pertimbangan atau masukan kepada pihak pembuat kebijakan.
Analisis
kebijakan publik berdasarkan kajian kebijakannya dapat dibedakan antara
analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik tertentu dan sesudah adanya
kebijakan publik tertentu. Analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik
berpijak pada permasalahan publik semata sehingga hasilnya benar-benar sebuah
rekomendasi kebijakan publik yang baru. Keduanya baik analisis kebijakan
sebelum maupun sesudah adanya kebijakan mempunyai tujuan yang sama yakni
memberikan rekomendasi kebijakan kepada penentu kebijakan agar didapat
kebijakan yang lebih berkualitas.
Dunn (2000: 117) membedakan tiga bentuk utama analisis kebijakan
publik, yaitu:
1.Analisis
kebijakan prospektif
Analisis
Kebijakan Prospektif yang berupa produksi dan transformasi informasi sebelum
aksi kebijakan dimulai dan diimplementasikan. Analisis kebijakan disini
merupakan suatu alat untuk mensintesakan informasi untuk dipakai dalam
merumuskan alternatif dan preferensi kebijakan yang dinyatakan secara
komparatif, diramalkan dalam bahasa kuantitatif dan kualitatif sebagai landasan
atau penuntun dalam pengambilan keputusan kebijakan.
2.Analisis
kebijakan retrospektif
Analisis
Kebijakan Retrospektif adalah sebagai penciptaan dan transformasi informasi
sesudah aksi kebijakan dilakukan. Terdapat 3 tipe analis berdasarkan kegiatan
yang dikembangkan oleh kelompok analis ini yakni analis yang berorientasi pada
disiplin, analis yang berorientasi pada masalah dan analis yang berorientasi
pada aplikasi. Tentu saja ketiga tipe analisis retrospektif ini terdapat
kelebihan dan kelemahan.
3.Analisis
kebijakan yang terintegrasi
Analisis
Kebijakan yang terintegrasi merupakan bentuk analisis yang mengkombinasikan
gaya operasi para praktisi yang menaruh perhatian pada penciptaan dan
transformasi informasi sebelum dan sesudah tindakan kebijakan diambil. Analisis
kebijakan yang terintegrasi tidak hanya mengharuskan para analis untuk
mengkaitkan tahap penyelidikan retrospektif dan perspektif, tetapi juga
menuntut para analis untuk terus menerus menghasilkan dan mentransformasikan
informasi setiap saat.
Orientasi kebijakan,
1. Multimedia
2. Multi didiplin
3. Berfokus pada problem
4. Berkaitan dengan pemetaan kontekstual Proses kebijkan, opsi
kebijakan dan hasil kebijakan
5. Bertujuan untuk mengintegrasikan ilmu pengetahuan ke dalam suatu
disiplin yang menyeluruh untuk menganalisis pilihan publik dan pengambilan
keputusan.
Kebijakan
publik memadukan 2 jenis pendekatan analisis proses kebijakan dan penggunaan
teknik untuk menentukan kebijakan untiuk 2 kategori :
1. Analisis proses kebijakan
Bagaimana cara mengindentifikasi problem,menerapkan agenda dan
merumuskan kebijakan.
2. Analisis dalam dan untuk proses
Kategori ini meliputi kajian penggunaan teknik analisis, riset dan
advokasi. Dalam pendefinisian problem,pengambilan keputusan serta evaluasi dan
implementasi.
Karakteristik pentingnya dari pengertian kebijakan
Pertama : kebijakan adalah suatu tindakan pemerintah yang
mempunyai tujuan mencipatakan kesejahteraan masyarakat.
Kedua : kebijakan dibuat
melalui tahap-tahap yang sitematis sehingga semua variabel pokok dari senua
permasalahan/ problem yang akandipecahgkan tercakup.
Ketiga : kebijakan harus
dapat dilaksnankan/implementasikan oleh organisasi pelaksana.
Keempat : kebijkan perlu di
evaluasi sehingga diketahui berhasil atau tidaknya dalam menyelesaikan masalah.
Setelah kebijakan publik ditetapkan, selanjutnya
melaksanakan/mengimplementasikan kebijkan tersebut. Siapa yang berkewajiban
melaksanakan dan bagaimana cara melaksanakanya.
Contoh kebijakan pemerintah daerah, kebijakan pemerintah daerah
ditetapkan kepala daerah dengan persetujuan DPRD dalam bentuk PERDA. PERDA
menjadi bagian dari peraturan perundangan yang sah dan mengikat.
Bagi masayarakat daerahbyang bersangkutan, karean peraturan
perundangan menjadoi kewajiban pemandangan sebagai eksekutif untuk melaksanakan
peraturan daerah. Jadi yang wajib melaksanakan kebijakan darah adalah
pemerintah daerah selaku lembaga eksekutif daerah.
Pemerintahan terdiri dari kepala daerah dan perangkatnya
(BIROKRAT). Kepala daerah bertanggungjawab atas pelaksanaan kegiatan.
Selanjutnya memerintahkan kepada perangkat daerah sesuai dengan tugas dan
bidanganya.
Untuk mengkaji
kebijakan ada tahap-tahap yang berbeda
1.
Perumusan kebijakan
2.
Implementasi kebijakan
3.
Evaluasi kebijakan
Implementasi Kebijakan Publik Model Van
Meter Van Horn: The Policy Implementation Process
Model pendekatan implementasi kebijakan
yang dirumuskan Van Meter dan Van Horn disebut denganA Model of the Policy
Implementation (1975). Proses implementasi ini merupakan
sebuah abstraksi atau performansi suatu pengejewantahan kebijakan yang pada
dasarnya secara sengaja dilakukan untuk meraih kinerja implementasi kebijakan
yang tinggi yang berlangsung dalam hubungan berbagai variabel. Model ini
mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linear dari keputusan
politik, pelaksana dan kinerja kebijakan publik. Model ini menjelaskan bahwa
kinerja kebijakan dipengaruhi oleh beberapa variabel yang saling berkaitan,
variable-variabel tersebut yaitu:
1. Standar dan sasaran kebijakan/ukuran dan tujuan kebijakan
2. Sumber daya
3. Karakteristik organisasi pelaksana
4. Sikap para pelaksana
5. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan
6. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik
Secara rinci
variabel-variabel implementasi kebijakan publik model Van Meter dan Van Horn
dijelaskan sebagai berikut:
1.
Standar dan
sasaran kebijakan / ukuran dan tujuan kebijakan
Kinerja implementasi
kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya dari ukuran dan tujuan kebijakan
yang bersifat realistis dengan sosio-kultur yang ada di level pelaksana
kebijakan. Ketika ukuran dan dan sasaran kebijakan terlalu ideal (utopis), maka
akan sulit direalisasikan (Agustino, 2006). Van Meter dan Van Horn (dalam
Sulaeman, 1998) mengemukakan untuk mengukur kinerja implementasi kebijakan
tentunya menegaskan standar dan sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para
pelaksana kebijakan, kinerja kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas
tingkat ketercapaian standar dan sasaran tersebut.
Pemahaman tentang maksud umum dari suatu
standar dan tujuan kebijakan adalah penting. Implementasi kebijakan yang
berhasil, bisa jadi gagal (frustated) ketika para
pelaksana (officials), tidak sepenuhnya menyadari terhadap standar
dan tujuan kebijakan. Standar dan tujuan kebijakan memiliki hubungan erat
dengan disposisi para pelaksana (implementors). Arah disposisi para
pelaksana (implementors) terhadap standar dan tujuan kebijakan
juga merupakan hal yang “crucial”. Implementors mungkin bisa jadi
gagal dalam melaksanakan kebijakan, dikarenakan mereka menolak atau tidak
mengerti apa yang menjadi tujuan suatu kebijakan (Van Mater dan Van Horn,
1974).
2.
Sumber daya
Keberhasilan
implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumber
daya yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang terpenting dalam
menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Setiap tahap implementasi
menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan
yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara apolitik. Selain
sumber daya manusia, sumber daya finansial dan waktu menjadi perhitungan
penting dalam keberhasilan implementasi kebijakan. Sebagaimana yang dikemukakan
oleh Derthicks (dalam Van Mater dan Van Horn, 1974) bahwa: ”New town
study suggest that the limited supply of federal incentives was a major
contributor to the failure of the program”.
Van Mater dan Van Horn (dalam Widodo 1974)
menegaskan bahwa:
”Sumber daya kebijakan (policy
resources) tidak kalah pentingnya dengan komunikasi. Sumber daya
kebijakan ini harus juga tersedia dalam rangka untuk memperlancar administrasi
implementasi suatu kebijakan. Sumber daya ini terdiri atas dana atau insentif
lain yang dapat memperlancar pelaksanaan(implementasi) suatu
kebijakan. Kurangnya atau terbatasnya dana atau insentif lain dalam
implementasi kebijakan, adalah merupakan sumbangan besar terhadap gagalnya
implementasi kebijakan.”
3.
Karakteristik
organisasi pelaksana
Pusat perhatian pada
agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi informal yang akan
terlibat dalam pengimplementasian kebijakan. Hal ini penting karena kinerja
implementasi kebijakan akan sangat dipengaruhi oleh ciri yang tepat serta cocok
dengan para agen pelaksananya. Hal ini berkaitan dengan konteks kebijakan
yang akan dilaksanakan pada beberapa kebijakan dituntut pelaksana kebijakan
yang ketat dan displin. Pada konteks lain diperlukan agen pelaksana yang
demokratis dan persuasif. Selaian itu, cakupan atau luas wilayah menjadi
pertimbangan penting dalam menentukan agen pelaksana kebijakan.
Menurut Edward III, 2 (buah) karakteristik
utama dari struktur birokrasi adalah prosedur-prosedur kerja standar (SOP
= Standard Operating Procedures) dan fragmentasi.
1. Standard Operating Procedures (SOP).
SOP
dikembangkan sebagai respon internal terhadap keterbatasan waktu dan sumber
daya dari pelaksana dan keinginan untuk keseragaman dalam bekerjanya organisasi-organisasi
yang kompleks dan tersebar luas. SOP yang bersifat rutin didesain untuk situasi
tipikal di masa lalu mungkin mengambat perubahan dalam kebijakan karena tidak
sesuai dengan situasi atau program baru. SOP sangat mungkin menghalangi
implementasi kebijakan-kebijakan baru yang membutuhkan cara-cara kerja baru
atau tipe-tipe personil baru untuk mengimplementasikan kebijakan. Semakin besar
kebijakan membutuhkan perubahan dalam cara-cara yang rutin dari suatu
organisasi, semakin besar probabilitas SOP menghambat implementasi (Edward III,
1980).
2. Fragmentasi.
Fragmentasi berasal
terutama dari tekanan-tekanan di luar unit-unit birokrasi, seperti
komite-komite legislatif, kelompok-kelompok kepentingan, pejabat-pejabat
eksekutif, konstitusi Negara dan sifat kebijakan yang mempengaruhi organisasi
birokrasi publik. Fragmentasi adalah penyebaran tanggung jawab terhadap suatu
wilayah kebijakan di antara beberapa unit organisasi. “fragmentation is
the dispersion of responsibility for a policy area among several organizational
units.” (Edward III, 1980). Semakin banyak aktor-aktor dan badan-badan
yang terlibat dalam suatu kebijakan tertentu dan semakin saling berkaitan
keputusan-keputusan mereka, semakin kecil kemungkinan keberhasilan
implementasi. Edward menyatakan bahwa secara umum, semakin koordinasi
dibutuhkan untuk mengimplementasikan suatu kebijakan, semakin kecil peluang
untuk berhasil (Edward III, 1980).
4. Komunikasi antar organisasi terkait dan
kegiatan-kegiatan pelaksanaan
Agar kebijakan publik
bisa dilaksanakan dengan efektif, menurut Van Horn dan Van Mater (dalam
Widodo 1974) apa yang menjadi standar tujuan harus dipahami oleh para
individu (implementors).Yang bertanggung jawab atas pencapaian
standar dan tujuan kebijakan, karena itu standar dan tujuan harus
dikomunikasikan kepada para pelaksana. Komunikasi dalam kerangka penyampaian
informasi kepada para pelaksana kebijakan tentang apa menjadi standar dan
tujuan harus konsisten dan seragam (consistency and uniformity) dari
berbagai sumber informasi.
Jika tidak ada kejelasan dan konsistensi
serta keseragaman terhadap suatu standar dan tujuan kebijakan, maka yang
menjadi standar dan tujuan kebijakan sulit untuk bisa dicapai. Dengan kejelasan
itu, para pelaksana kebijakan dapat mengetahui apa yang diharapkan darinya dan
tahu apa yang harus dilakukan. Dalam suatu organisasi publik, pemerintah daerah
misalnya, komunikasi sering merupakan proses yang sulit dan komplek. Proses
pentransferan berita kebawah di dalam organisasi atau dari suatu organisasi ke
organisasi lain, dan ke komunikator lain, sering mengalami ganguan (distortion) baik
yang disengaja maupun tidak. Jika sumber komunikasi berbeda memberikan
interprestasi yang tidak sama (inconsistent) terhadap suatu
standar dan tujuan, atau sumber informasi sama memberikan interprestasi yang
penuh dengan pertentangan (conflicting), maka pada suatu saat
pelaksana kebijakan akan menemukan suatu kejadian yang lebih sulit untuk
melaksanakan suatu kebijakan secara intensif.
Dengan demikian, prospek
implementasi kebijakan yang efektif, sangat ditentukan oleh komunikasi kepada
para pelaksana kebijakan secara akurat dan konsisten (accuracy and
consistency) (Van Mater dan Varn Horn, dalam Widodo 1974). Disamping
itu, koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan.
Semakin baik koordinasi komunikasi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam
implementasi kebijakan, maka kesalahan akan semakin kecil, demikian sebaliknya.
4. Disposisi atau sikap para pelaksana
Menurut pendapat Van
Metter dan Van Horn dalam Agustinus (2006): ”sikap penerimaan atau penolakan
dari agen pelaksana kebijakan sangat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan
implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi karena kebijakan
yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul
permasalahan dan persoalan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan publik
biasanya bersifat top down yang sangat mungkin para pengambil
keputusan tidak mengetahui bahkan tak mampu menyentuh kebutuhan, keinginan atau
permasalahan yang harus diselesaikan”.
Sikap mereka itu dipengaruhi oleh
pendangannya terhadap suatu kebijakan dan cara melihat pengaruh kebijakan itu
terhadap kepentingan-kepentingan organisasinya dan kepentingan-kepentingan
pribadinya. Van Mater dan Van Horn (1974) menjelaskan disposisi bahwa
implementasi kebijakan diawali penyaringan (befiltered) lebih
dahulu melalui persepsi dari pelaksana(implementors) dalam batas
mana kebijakan itu dilaksanakan. Terdapat tiga macam elemen respon yang dapat
mempengaruhi kemampuan dan kemauannya untuk melaksanakan suatu kebijakan,
antara lain terdiri dari pertama, pengetahuan (cognition),
pemahaman dan pendalaman(comprehension and understanding) terhadap
kebijakan, kedua, arah respon mereka apakah menerima, netral atau menolak (acceptance,
neutrality, and rejection), dan ketiga, intensitas terhadap kebijakan.
Pemahaman tentang maksud
umum dari suatu standar dan tujuan kebijakan adalah penting. Karena,
bagaimanapun juga implementasi kebijakan yang berhasil, bisa jadi gagal (frustated) ketika
para pelaksana (officials), tidak sepenuhnya menyadari terhadap
standar dan tujuan kebijakan. Arah disposisi para pelaksana (implementors) terhadap
standar dan tujuan kebijakan. Arah disposisi para pelaksana (implementors) terhadap
standar dan tujuan kebijakan juga merupakan hal yang “crucial”.
Implementors mungkin bisa jadi gagal dalam melaksanakan kebijakan, dikarenakan
mereka menolak apa yang menjadi tujuan suatu kebijakan (Van Mater dan Van Horn,
1974).
Sebaliknya, penerimaan
yang menyebar dan mendalam terhadap standar dan tujuan kebijakan diantara
mereka yang bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan tersebut, adalah
merupakan suatu potensi yang besar terhadap keberhasilan implementasi kebijakan
(Kaufman dalam Van Mater dan Van Horn, 1974).
Pada akhirnya, intesitas
disposisi para pelaksana (implementors) dapat mempengaruhi
pelaksana (performance) kebijakan. Kurangnya atau terbatasnya
intensitas disposisi ini, akan bisa menyebabkan gagalnya implementasi
kebijakan.
6. Lingkungan
sosial, ekonomi dan politik
Hal terakhir yang perlu diperhatikan guna
menilai kinerja implementasi kebijakan adalah sejauh mana lingkungan eksternal
turut mendorong keberhasilan kebijakan publik. Lingkungan sosial, ekonomi dan
politik yang tidak kondusif dapat menjadi sumber masalah dari kegagalan kinerja
implementasi kebijakan. Karena itu, upaya implementasi kebijakan mensyaratkan
kondisi lingkungan eksternal yang kondusif. Sumber: (Agostino, 2006)
Sumber buku
Ø Analisis Kebijakan Publik karya Liestyodono
No comments:
Post a Comment