BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Dalam kesempatan kali ini topik yang
diangkat dalam karya ilmiah ini mengenai Hubungan Lingkungan Sosial Budaya
Dengan Perkembangan Administrasi Negara di Indonesia, adapun yang
meletarbelakangainya yaitu guna mengetahui bahwa lingkungan sosial
budaya juga mempengaruhi perkembangan administrasi negara di indonesia.
Banyak sekali definisi mengenai administrasi
negara, yang secara umum dapat dibagi dalam dua kategori. Pertama, definisi
yang melihat administrasi negara hanya dalam lingkungan lembaga eksekutif saja.
Dan kedua, definisi yang melihat cakupan administrasi negara meliputi semua
cabang pemerintahan dan hal-hal yang berkaitan dengan publik. Terdapat hubungan
interaktif antara administrasi negara dengan lingkungan sosialnya. Di antara
berbagai unsur lingkungan sosial, unsur budaya merupakan unsur yang paling
banyak mempengaruhi penampilan (performance)
administrasi negara.[1]
Administrasi modern penuh dengan usaha untuk lebih
menekan jabatan publik agar mempersembahkan segala kegiatannya untuk mewujudkan
kemakmuran dan melayani kepentingan umum. Karena itu, administrasi negara tidak
dipandang sebagai administrasi “of the
public”, tetapi sebaliknya adalah administrasi “for the public”. Hal yang umum muncul di antara mereka adalah
adanya harapan agar administrasi negara melakukan kegiatan demi kepentingan
umum dan selalu mengembangkan kemakmuran rakyat.[2] disamping itu topik tersebut sangat bermanfaat bagi saya untuk mrngetahui
fenomena sosial yang terjadi. Dan diharapkan juga dapat menambah pengetahuan
pembaca.
1.2 Ruang
Lingkup Masalah
Berdasarkan topik yang dibahas
mengenai hubungan lingkungan sosial budaya dengan perkembangan administrasi
negara di indonesia, maka lingkungan sosial budaya yang saya ambil mengenai
urbanisasi di indonesia, yaitu untuk wilayah jakarta.
1.3 Tujuan
Penulisan
Dalam penulisan karya ilmiah ini
bertujuan guna untuk mengetahui sejauh mana lingkungan sosial budaya
mempengaruhi perkembangan administrasi di indonesia.
1.4 Dasar
Teori
Berbicara masalah perkembangan administrasi negara
yang berkaitan erat dengan perubahan lingkungan masyarakat yang ada
disekitarnya terutama perubahan lingkungan sosial budaya yang mempengaruhi
perkembangan administrasi negara tersebut. Studi ekologi dalam administrasi
negara dimaksudkan untuk memperoleh gambaran mengenai administrasi negara yang
sesuai dengan lingkungan penerimanya.
BAB II
EKOLOGI ADMINISTRASI
Studi ekologi harus diterjemahkan sebagai satu
cara pandang untuk mendekati hubungan sistem administrasi dengan faktor-faktor
non-administrasi. Negara Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang yang
sedang berupaya membangun masyarakatnya dari masyarakat tradisional ke
masyarakat modern. Hal itu harus dilakukan dengan adanya pembangunan masyarakat
secara keseluruhan dan berkelanjutan. Pola pembangunan berkelanjutan yang harus dilakukan adalah yang akan menjamin
biaya sosial yang maksimal dan berkelanjutan, serta menjamin estafet pembangunan,
secara terus menerus. Ada dua persyaratan yang secara umum harus diperhatikan,
yaitu pertama kesesuaian sosial
budaya dan sosial ekonomi, kedua
kesesuaian ekologi alam.[3]
Perubahan di berbagai bidang sering disebut
sebagai perubahan sosial dan perubahan budaya karena proses berlangsungnya
dapat terjadi secara bersamaan. Meskipun demikian perubahan sosial dan budaya
sebenarnya terdapat perbedaan. Ada yang berpendapat bahwa perubahan sosial
dapat diartikan sebagai sebuah transformasi budaya dan institusi sosial yang
merupakan hasil dari proses yang berlangsung terus-menerus dan memberikan kesan
positif atau negatif. Perubahan sosial juga diartikan sebagai perubahan fungsi
kebudayaan dan perilaku manusia dalam masyarakat dari keadaan tertentu ke
keadaan lain.[4]
Seperti definisi perubahan sosial berikut yang dikemukakan oleh para ahli
sosiologi berikut ini:
Perubahan sosial
adalah perubahan dalam hubungan sosial atau sebagai perubahan terhadap
keseimbangan hubungan sosial.[5]
Perubahan sosial adalah merupakan variasi cara-cara hidup yang telah diterima
baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi
penduduk, ideologi, maupun karena adanya difusi ataupun penemuan baru dalam
masyarakat.[6] Perubahan
sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi
masyarakat.[7] Perubahan
sosial adalah perubahan struktur sosial dalam organisasi sosial sehingga syarat
dalam perubahan itu adalah sistem sosial, perubahan hidup dalam nilai sosial
dan budaya masyarakat[8]
Perubahan sosial sebagai perubahan dalam proses sosial atau dalam struktur
masyarakat.[9] Perubahan
sosial adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam
suatu masyarakat.[10]
Jadi, dapat disimpulkan bahwa perubahan sosial
adalah perubahan struktur dan fungsi sosialnya. Oleh karena itu, perubahan
sosial berkaitan erat dengan perubahan kebudayaan dan seringkali perubahan
sosial berakibat pada perubahan budaya.[11]
Jika pengertian perubahan sosial telah diuraikan di atas maka apakah yang
dimaksud dengan perubahan sosial budaya itu? Berikut ini pengertian perubahan
sosial budaya dari beberapa tokoh:
Perubahan sosial
budaya adalah perubahan situasi dalam masyarakats ebagai akibat adanya
ketidaksesuaian unsur-unsur.[12] Perubahan sosial budaya adalah perubahan
suatu budaya masyarakat secara bertahap dalam jangka waktu lama.[13]
Pembangunan yang sesuai dengan kondisi sosial
budaya dan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya akan memberi manfaat yang
maksimal bagi masyarakat, dan dengan demikian masyarakat akan mampu
memeliharanya. Pembangunan nasional yang dinilai berhasil pada hakikatnya adalah
yang dilakukan oleh dan untuk seluruh rakyat. Dengan demikian, dalam upaya mencapai
sasaran-sasaran pembangunan yang dituju harus melibatkan masyarakat dan pada gilirannya
dapat dinikmati oleh segenap lapisan masyarakat. Tuntutan ini sesungguhnya bertepatan
atau sesuai dengan konsep pembangunan yang berkesinambungan (sustainable development).[14] Suatu
pembangunan dapat berkesinambungan apabila dilaksanakan oleh dan hasilnya
dirasakan secara meluas dan merata.
Dasar
pandangannya adalah bahwa upaya yang dilakukan harus diarahkan langsung pada
akar persoalannya, yaitu meningkatkan kemampuan rakyat. Bagian yang tertinggal
dalam masyarakat harus ditingkatkan kemampuannya dengan mengembangkan dan
mendinamisasikan potensinya atau dengan kata lain memberdayakan. Pemberdayaan
masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai
sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma
baru pembangunan, yakni yang bersifat “peoplecentered, participatory, empowering and sustainable”.[15]
Secara praktis upaya yang merupakan pengerahan sumber daya untuk
mengembangkan potensi ekonomi rakyat ini akan meningkatkan produktivitas rakyat
sehingga baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam di sekitar keberadaan
rakyat dapat ditingkatkan produktivitasnya. Dengan demikian, rakyat dan lingkungannya
mampu secara partisipatif menghasilkan dan menumbuhkan nilai tambah ekonomis.
Rakyat miskin atau yang berada pada posisi belum termanfaatkan secara penuh
potensinya akan meningkat bukan hanya ekonominya, tetapi juga harkat, martabat,
rasa percaya diri, dan harga dirinya. Dengan demikian, dapatlah diartikan bahwa
pemberdayaan tidak saja menumbuhkan dan mengembangkan nilai tambah ekonomis,
tetapi juga nilai tambah sosial dan nilai tambah budaya.[16]
Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan
individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan
nilai-nilai budaya modern, seperti kerja keras, disiplin, taat azas, taat
waktu, hemat, keterbukaan, kebertanggungjawaban adalah bagian pokok dan upaya
pemberdayaan ini. Peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan
keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya merupakan unsur yang sungguh
penting. Dengan dasar pandang demikian, maka pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya
dengan pemantapan, pembudayaan, dan pengamalan demokrasi. Kesemuanya itu
merupakan tantangan yang dihadapkan kepada negara, yang berkewajiban untuk
melindungi, mencerdaskan dan mensejahterakan rakyatnya. Dengan sendirinya
aparat negara atau administrasi negaralah yang memegang tanggung jawab utama
mewujudkan berbagal cita-cita dan keinginan membangun kehidupan yang lebih
baik.[17] Sebagai makhluk sosial, manusia tidak pernah dapat hidup seorang diri. Di
manapun, bilamanapun dan dalam keadaan bagaimanapun, manusia senantiasa
memerlukan kerjasama untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang tidak mengenal
batas karena fitrahnya sebagai makhluk yang tertinggi derajatnya di muka bumi.
Untuk mempertahankan hidupnya
sebagai makhluk yang tertinggi derajatnya, manusia harus mampu memenuhi
kebutuhan hidup yang mendasar (basic
needs) maupun kebutuhan hidup sampingan (derived needs) yang justru lebih banyak dan lebih beragam. Selain
kebutuhan biologis, manusia menghadapi kebutuhan sosial dan integritas yang
tidak mudah dipenuhi tanpa kerjasama dengan sesamanya. Oleh karena itulah
manusia senantiasa mengembangkan persekutuan sosial (social group) dan pengendaliannya (social organization) demi ketertiban bermasyarakat. Tanpa disadari,
persekutuan sosial dengan perangkat kelembagaannya menciptakan lingkungan (hidup)
sosial yang menuntut para anggotanya untuk menyesuaikan diri, sebagaimana
mereka menyesuaikan diri terhadap lingkungan hidup alamnya.
Kemampuan akal manusia untuk
mempersatukan (to assimilate)
khasanah alam ke dalam ranah kebudayaan dan melihat diri dan orang lain sebagai
bagian dari lingkungannya itulah pangkal perwujudan lingkungan sosial. Manusia
hidup dalam lingkungan yang mereka manfaatkan, bukan untuk disalah gunakan,
bersama orang lain yang membentuk suatu lingkungan (humam ecology) yang merupakan bagian dari lingkungan hidup yang
lebih luas (natural ecology) sebagai
kenyataan.[18]
Oleh karena itu manusia lebih banyak dituntut untuk beradaptasi terhadap
lingkungan sosial yang mereka ciptakan berdasarkan
pemahaman kebudayaannya dari pada menyesuaikan diri terhadap lingkungan alam
semata-mata.[19]
BAB III
Urbanisasi dan Administrasi Negara
3.1
Urbanisasi
Urbanisasi yaitu suatu proses mengalirnya penduduk pedalaman (pedesaan) ke
daerah kota[20].
Dalam hal ini Tentu saja
banyak variabel yang menyebabkan tingginya arus urbanisasi. Bahwa orang
berurbanisasi merupakan refleksi dari gejala kemandekan ekonomi di desa yang
dicirikan oleh sulitnya mencari lowongan pekerjaan dan fragmentasi lahan, serta
daya tarik kota dengan penghasilan tinggi.[21]
Dengan demikian, faktor pendorong (push factors) dan faktor penarik (pull
factors) sama-sama menjadi determinan penting dalam proses urbanisasi
tersebut. Oleh karena itu, urbanisasi sesungguhnya merupakan pilihan yang
rasional bagi penduduk desa dalam upaya mendapatkan pendapatan yang lebih baik
dibandingkan sewaktu mereka tetap bertahan di desa. Dengan kata lain,
urbanisasi muncul karena adanya kesenjangan atau gap dalam penyediaan fasilitas umum (public utilities)
antara desa dan kota, seperti fasilitas pendidikan, kesehatan, hiburan,
komunikasi dan informasi, hingga lapangan pekerjaan di berbagai bidang.[22]
Ditinjau dari segi dampak,
urbanisasi sebenarnya bersifat netral, dalam arti dapat menimbulkan efek
positif maupun negatif, tergantung dari intensitas urbanisasi tersebut. Dalam
beberapa hal, urbanisasi dapat memberi keuntungan baik bagi penduduk pedesaan
maupun perkotaan.[23]
Bagi penduduk desa, urbanisasi dapat mengurangi terjadinya informasi yang
keliru (asymmetric information) tentang suatu hal, sekaligus meningkatkan
hak masyarakat desa untuk ikut mengakses berbagai layanan umum. Sedangkan bagi
masyarakat perkotaan, arus urbanisasi bermanfaat sebagai penyedia tenaga kerja
yang mendukung proses industrialisasi dan perdagangan di perkotaan. World Bank
sendiri pernah melaporkan adanya korelasi positif antara tingkat urbanisasi di
suatu negara dengan tingkat pendapatan perkapita. Dalam kasus seperti ini,
untuk mempercepat pembangunan diperlukan peningkatan jumlah migran dan
frekuensi urbanisasi atau migrasi desa-kota.[24]
Dari perspektif sebaliknya,
urbanisasi juga dapat menimbulkan akibat yang merugikan. Bagi wilayah pedesaan,
urbanisasi akan mendorong terjadinya depopulasi di pedesaan, sehingga
mengurangi jumlah penduduk yang bermatapencaharian di bidang pertanian. Pada
gilirannya, kondisi ini berpotensi mengurangi produksi pangan dan pemenuhan
kebutuhan pangan bagi penduduk kota. Sementara di wilayah perkotaan, urbanisasi
sering menjadi sumber bagi kasus-kasus pengangguran, perumahan kumuh, serta
kemiskinan yang akut akibat tidak imbangnya penawaran dan permintaan tenaga
kerja (excess of labor supply). Situasi seperti ini akan mengantarkan
pada situasi lain berupa rendahnya produktivitas dan meningkatnya inflasi.[25]
Sejalan dengan hal itu, bahwa urbanisasi harus dikendalikan. Sebab, urbanisasi
yang tidak terkendali bisa menimbulkan dampak buruk bagi penduduk kota dan
desa, serta pengaruh makro bagi negara.[26]
Beberapa kerugian dari
urbanisasi. Ia menyatakan bahwa terjadinya peralihan tenaga kerja yang pindah
dari pedesaan ke perkotaan yang tidak mampu ditampung dalam sektor formal,
mengakibatkan timbulnya deformasi secara drastis dan meluas pada sektor jasa
dalam penyerapan tenaga kerja. Kondisi itu terjadi bukan karena adanya
permintaan yang melonjak akan jasa-jasa di sektor industri, namun lebih
disebabkan oleh ketidak mampuan sektor industri dalam menyerap tenaga kerja.[27]
Dalam dimensi penataan kota, keberadaan sektor jasa maupun informal juga
melahirkan masalah dilematis di dalam formulasi kebijakan tata kota. Di satu
sisi pemerintah tetap ingin menghormati hak-hak ekonomi mereka, tetapi di sisi
lain eksistensi mereka cenderung membuat kota menjadi semerawut dan tidak
nyaman. Dalam kasus-kasus tertentu juga tampak, banyak kota sudah kehilangan
nilai-nilai historis dan budayanya yang disebabkan oleh meningkatnya aktivitas
perekonomian di kawasan itu. Pengelompokan tempat tinggal berdasarkan asal
daerah/etnik, juga menjadi salah satu ekses negatif yang timbul sehubungan
dengan arus urbanisasi. Adanya kampung Cina, kampung Jawa, kampung Batak,
kampung Madura dan lainnya, tentunya sangat potensial dalam menciptakan konflik
antar warga yang berbasis pada perbedaan etnik.[28]
Masalahnya sekarang adalah
bahwa urbanisasi adalah realitas yang kita hadapi. Oleh karena itu, yang
terpenting adalah memikirkan berbagai kebijakan yang komprehensif untuk
mengatasi dampak-dampak buruk yang ditimbulkan oleh urbanisasi. Membangun
fasilitas umum pedesaan seperti di perkotaan jelas suatu upaya yang teramat
sulit. Dalam konteks seperti ini, tiga upaya yang dapat ditempuh oleh
pemerintah, yaitu sebagai berikut: membangun fasilitas umum secara bertahap di
pedesaan sehingga dapat mengurangi kesenjangan desa-kota (providing some
public utilities or social services in rural area); mengembalikan beberapa
kaum migran ke daerah asal setelah memperoleh keterampilan tertentu (returning
migrants to the region they come from); serta memberikan bantuan keuangan
dan pelatihan kepada kaum migran di bidang pengolahan pertanian dan industri
kecil (giving both financial assistance to agriculture and training
unskilled labor force).[29]
Dalam kaitan dengan upaya
pengendalian urbanisasi ini, pendekatan ekonomi yang selama ini dipakai oleh
pemerintah. Ia mengatakan bahwa “pembangunan pusat-pusat pertumbuhan (growth
center) maupun program kawasan terpadu (melalui peningkatan produktivitas
dan diversifikasi usaha tani, peningkatan kemampuan sumber daya manusia,
penguatan kelembagaan, pengembangan usaha ekonomi non-pertanian, peningkatan
sarana fisik desa, dan peningkatan landasan mutu lingkungan hidup) ternyata
kurang efektif dalam mencegah arus migrasi yang masuk ke kota”. Sebagai
gantinya, ia menawarkan pendekatan budaya, dimana desa yang punya potensi
budaya, sebetulnya bisa diangkat sebagai desa wisata
percontohan yang pada akhirnya bisa memberikan kontribusi besar terhadap
perkembangan ekonomi desa dan daerah.[30]
Namun perlu ditekankan bahwa
fakta seperti ini tidak berarti telah terjadi pergeseran tujuan
migrasi/urbanisasi ke wilayah pedesaan (non kota besar). Kesimpulan yang lebih
rasional adalah menurunnya daya dukung perkotaan (carrying capacity) seperti
lahan dan sarana perumahan untuk menampung migran baru. Dengan demikian,
kawasan perkotaan tetap menarik arus pendatang dari pedesaan, namun mereka
cenderung tinggal di wilayah pinggiran kota, yang secara administratif
merupakan wilayah kabupaten yang bertetangga dengan kota besar tadi.
Selain empat issu pokok
(transportasi, PKL, kebersihan, dan kemiskinan), banyaknya penduduk dan laju
pertumbuhannya juga berpotensi menimbulkan masalah sosial (social problems)
seperti pengangguran, dan bahkan kriminalitas di perkotaan. Oleh karena itu,
kebijakan bidang kependudukan harus diperhatikan benar-benar, bukan hanya untuk
mencapai tertib administrasi kependudukan, namun juga memberi dasar yang kokoh
untuk berjalannya kebijakan di bidang lain secara optimal.
Selama ini, kebijakan yang
banyak diterapkan di berbagai daerah untuk mengendalikan laju urbanisasi dapat
dikelompokkan menjadi 2 (dua), yakni kebijakan administratif, dan kebijakan non-administratif
(ekonomis). Kebijakan administratif antara lain berupa operasi yustisi (razia
KTP, KIPEM – Kartu Identitas Penduduk Musiman, KIK – Kartu Identitas Kerja,
dll), serta Registrasi Penduduk Berbasis NIK.[31]
Sedangkan kebijakan non-administratif antara lain adalah pembangunan pedesaan /
growth pole dan pemberdayaan masyarakat pedesaan, peningkatan sarana
fisik pedesaan, diversifikasi usaha tani, serta penguatan kelembagaan
masyarakat pedesaan (P3A, LMD, LSM, dll).
Namun dalam prakteknya,
kebijakan di atas belum mampu menjadi instrumen yang efektif untuk menahan dan
mengerem laju urbanisasi. Bahkan kebijakan tentang SIAK (Sistem Informasi
Administrasi Kependudukan) secara nasional sehingga dapat menghasilkan satu
nomor registrasi untuk satu penduduk (NIK), belum dapat terelaisasikan hingga
saat ini karena terbentuk oleh kendala software dan hardware penunjangnya.
Sementara kebijakan ekonomis seperti pengembangan industri di pedesaan serta
peningkatan sarana fisik pedesaan jelas kurang feasible, karena
membutuhkan anggaran yang teramat besar serta jangka waktu yang teramat
panjang. Itulah sebabnya, perlu segera dipikirkan adanya kebijakan baru yang
bersifat terobosan dan lebih inovatif, sehingga dapat mencairkan kebuntuan kebijakan
yang terjadi selama ini.[32]
3.2
Perkembangan Administrasi Negara di indonesia
Administrasi negara merupakan ilmu sosial
yang dinamis, setiap saat senantiasa mengalami perubahan sejalan dengan
perubahan zaman, peradaban dan teknologi. Berbagai aspek administrasi
sebenarnya telah ada dan dijalankan semenjak peradaban manusia mulai
terstruktur. Kekaisaran Romawi kuno, berbagai dinasti di China, bahkan
kerajaan-kerajaan di Nusantara pun, misalnya, sebenarnya telah mempraktekan
adminstrasi.
Pemikiran dalam administrasi yang berkembang
selanjutnya sangat dipengaruhi oleh paham-paham demokrasi, seperti administrasi
yang partisipatif, yang menempatkan administrasi di tengah-tengah masyarakatnya
dan tidak di atas atau terisolasi darinya.[33]
Pemikiran ini selain ingin menempatkan administrasi sebagai instrumen
demokrasi, juga mencoba menggunakan administrasi sebagai alat untuk menyalurkan
aspirasi masyarakat bawah. Implikasi lain dari pemikiran tersebut adalah bahwa
sistem administrasi memiliki dimensi ruang dan daerah yang penyelenggaraannya
juga dipengaruhi oleh sosial budaya, sistem pemerintahan, politik, dan ekonomi.
Kesemua itu menuntut reorientasi peranan administrasi publik.
Pada dasarnya administrasi negara ingin
mengetengahkan bahwa administrasi tidak boleh bebas nilai dan harus menghayati,
memperhatikan, serta mengatasi masalah-masalah sosial yang mencerminkan
nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Administrasi publik harus
memasukkan aspek pemerataan dan keadilan sosial (social equity) ke dalam konsep administrasi. Bahwa administrasi
tidak dapat netral. Dengan begitu, administrasi publik haru mengubah pola pikir
yang selama ini menghambat terciptanya keadilan sosial.[34]
Kehadiran gagasan-gagasan baru itu menggambarkan lahirnya paradigma baru dalam
ilmu administrasi. Apa yang dapat dilakukan lebih baik atau sama baiknya oleh
masyarakat, hendaknya jangan dilakukan oleh pemerintah. Itu tidak berarti bahwa
pemenintah harus besar atau kecil, tetapi pekerjaannya harus efisien dan
efektif.[35]
Administrasi sebagai ilmu
mempunyai sifat umum dan universal dalam arti memiliki unsur-unsur yang sama,
dimanapun dan kapanpun ilmu administrasi diterapkan. Namun diketahui bahwa
dalam satu sistem administrasi negara sendiri masih dijumpai subsistem
administrasi dari suatu kelompok masyarakat yang menggambarkan hubungan
pengaruh antara administrasi negara dengan lingkungan sekitarnya, baik fisik
maupun lingkungan masyarakatnya. Oleh karena itu dengan mengkaji ekologi
administrasi negara yang merupakan salah satu cabang ilmu administrasi, kita
dapat menerangkan hubungan timbal balik yang terjadi antara lingkungan hidup (environment) dimana administrasi negara
itu tumbuh dan berkembang dengan administrasi negara sendiri yang dianggap
sebagai organisme hidup (living organism).[36]
Dalam kajian ilmu administrasi
negara, terutama pada ekologi administrasi negara, tinjauan kebudayaan memegang
salah satu peranan yang cukup penting, karena kebudayaan termasuk dalam salah
satu unsur faktor-faktor ekologis yang beraspek kemasyarakatan dalam tinjauan
ekologis. Selain itu dalam aspek budaya dikaji pula berbagai pola perilaku
seseorang ataupun sekelompok orang (suku) yang orientasinya berkisar tentang
kehidupan bernegara, penyelenggaraan administrasi negara, politik, hukum, adat
istiadat dan norma kebiasaan yang berjalan, dipikir, dikerjakan, dan dihayati
oleh seluruh anggota masyarakat setiap harinya, serta dicampurbaurkan dengan
prestasi di bidang peradaban.[37]
Betapa pentingnya kebudayaan pada suatu masyarakat, yang berarti bahwa segala
sesuatu yang terdapat di dalam masyarakat ditentukan oleh adanya kebudayaan
yang dimiliki oleh masyarakat itu.[38]
BAB IV
Revitalisasi Administrasi Negara
Pembangunan yang berkelanjutan menuntut
administrasi publik yang tanggap terhadap masalah-masalah yang dihadapi
lingkungan masyarakat, baik itu lingkungan fisik, alam, maupun hingkungan
sosial. Dalam hal lingkungan alam, administrasi publik dituntut untuk mampu
mengatur tata ruang dan menjaga pelaksanaannya (enforcement), disamping mengatasi masalah-masalah yang
sudah ada sekarang seperti pengendalian emisi CO2 dan pengelolaan limbah. Meningkatnya
berbagai permasalahan baik sosial, ekonomi, maupun fisik berkaitan dengan
pertumbuhan yang pesat dari wilayah metropolitan, bersamaan dengan kondisi
kemiskinan di pedesaan. Hal itu mendorong konsep pembangunan dengan pendekatan
baru, yaitu dengan penataan ruang, seperti mengarahkan industri berlokasi di
kawasan yang diperuntukkan bagi industri, mengamankan kawasan-kawasan sawah
produktif dan atau beririgasi teknis, mengamankan kawasan-kawasan berfungsi
lindung, sehingga terwujud struktur ruang yang mampu meningkatkan pertumbuhan
ekonomi yang sesuai dan berkelanjutan.[39]
Tata ruang mengandung arti penataan segala
sesuatu yang berada di dalam ruang sebagai wadah penyelenggara kehidupan. Konsep
tata ruang tidak hanya menyangkut wawasan spasial, tetapi menyangkut pula aspek-aspek
nonspasial atau spasial.[40] Hal ini
didasarkan pada kenyataan bahwa struktur fisik sangat ditentukan dan
dipengaruhi pula oleh faktor-faktor nonfisik seperti organisasi fungsional,
pola sosial budaya, dan nilai kehidupan komunitas.[41] Juga,
tata ruang bukan hanya mengakomodasi kegiatan ekonomi yang akan menghasilkan
pertumbuhan, tetapi juga harus mengembangkan sistem alokasi ruang yang
memberdayakan rakyat kecil.[42] Namun
pembangunan berkelanjutan seperti digaris bawahi di atas bukan hanya masalah
lingkungan alam tetapi juga lingkungan sosial. Untuk itu, diperlukan reformasi
administrasi publik yang menyeluruh dari pusat sampai daerah.
Dari pengalaman empiris selama ini diketahui
betapa tidak mudahnya melaksanakan pembaharuan birokrasi. Sebabnya, mungkin
adalah pendekatan yang seringkali bersifat formal struktural, yaitu kepada
penataan organisasi dan fungsi-fungsi. Yang sesungguhnya amat penting, tetapi
lebih sulit untuk dilakukan adalah pembaharuan pada sisi nilai-nilai yang
membentuk manusia-manusia birokrat. Dengan demikian, pembangunan budaya
birokrasi adalah lebih utama dibanding pembaharuan yang hanya bersifat
struktural.[43]
Internalisasi nilai-nilai merupakan kunci terhadap peningkatan kinerja
birokrasi. Terutama yang perlu menjadi perhatian adalah memperbaiki sikap
birokrasi dalam hubungan dengan masyarakatnya.[44] Di
dalamnya terkandung berbagai unsur, antara lain sebagai berikut:
Pertama, birokrasi harus mengembangkan keterbukaan (transparency). Yang acapkali membuat birokrasi jauh dari
masyarakat atau masyarakat yang harus dilayaninya jauh dari birokrasi adalah
ketertutupan. Sebagai akibat ketertutupan, masalah-masalah dan pikiran-pikiran
pembaharuan tidak mudah diterima. Juga ada kecemburuan terhadap jabatan yang
dipegang dan rasa keenggangan untuk berbagi pengalaman dan kewenangan.
Ketertutupan juga adalah untuk menyembunyikan ketidakmampuan dan menggambarkan
keengganan menerima kritik. Mengembangkan sikap keterbukaan dengan demikian
amat penting dalam upaya menyempurnakan birokrasi. Keterbukaan akan merangsang
perbaikan melalui saling-siIang gagasan (cross-fertilization).
Kedua, berkaitan dengan keterbukaan adalah
pertanggung gugatan (accountability).
Ketertutupan menyebabkan
birokrasi menjadi sulit dimintai pertanggung jawaban. Padahal birokrasi bukan
kekuasaan yang berdiri sendiri, melainkan alat untuk mencapal tujuan yang lebih
besar sehingga tindak tanduknya harus selalu dapat diawasi dan
dipertanggungjawabkan. Pertanggung jawaban itu dalam konsep birokrasi yang
bersifat hirarkis dari bawah ke atas, dalam struktur organisasi. Dalam
kehidupan masyarakat demokratis yang makin canggih dan terbuka, masyarakat
menuntut agar setiap pejabat siap menjelaskan dan dapat mempertanggungjawabkan
pelaksanaan tugasnya kepada publik. Kesemua itu membutuhkan perubahan sikap
dari birokrasi yang sifatnya mendasar. Pembaharuan sikap yang demikian akan
menghasilkan birokrasi yang makin tanggap dalam menghadapi tantangan dan lebih
tangkas dalam memanfaatkan peluang dan mengatasi masalah, juga makin peka
terhadap kebutuhan, tuntutan, dan dinamika masyarakat.
Ketiga, birokrasi harus membangun partisipasi.
Pengalaman banyak negara menunjukkan bahwa untuk berhasilnya pembangunan,
partisipasi masyarakat amat diperlukan. Partisipasi harus dilandasi oleh
kesadaran, bukan karena paksaan. Partisipasi pada lapisan bawah (grassroots) yang efektif adalah apabila diselenggarakan
secara bersama dalam lingkup kelompok-kelompok masyarakat (local communities), dengan memanfaatkan kearifan lokal (local wisdom) dan kekhasan lokal (local specifics). Bentuk dan cara partisipasi seperti itu
akan menghasilkan sinergi dan manfaat ekonomi yang dapat dinikmati oleh semua orang
yang ikut serta di dalamnya. Merupakan tugas birokrasi untuk merangsang terjadinya
partisipasi dan kegiatan kelompok masyarakat serupa itu dalam rangka membangun
masyarakat secara berkesinambungan.
Keempat, peran birokrasi harus bergeser dari
mengendalikan menjadi mengarahkan, dan dari memberi menjadi memberdayakan (empowering). Ini merupakan konsep yang amat mendasar,
dan untuk negara dimana hubungan birokrasi dengan rakyat secara historis dan
tradisional bersifat patenal (patronizing) memerlukan penyesuaian budaya birokrasi
yang cukup hakiki. Pandangan ini ditopang oleh konsep Reinventing Government dari Osborn dan Gaebler (1992) serta pandangan-pandangan
dari New
Public Management yang
menuntut adanya ukuran terhadap performance (kinerja) dan bukan hanya terhadap proses. Administrasi
publik harus result-oriented
dan bukan hanya effort-oriented.[45]
BAB V
Kesimpulan
Dalam menghadapi kecenderungan
dan masa depan perkembangan administrasi negara, terutama pengeruh perubahan lingkungan
masyarakat terutama perubahan lingkungan sosial budaya, harus ada antisipasi
disertai upaya dan langkah yang tepat dalam studi dan praktek administrasi
negara. Tanpa upaya-upaya tersebut niscaya administrasi negara di Indonesia
akan ketinggalan dan tidak akan dapat memecahkan masalah-masalah administrasi,
dan pada gilirannya Bangsa Indonesia tidak akan dapat bersaing dengan
bangsa-bangsa lain di dunia.
Pengalaman empiris di berbagai
negara menunjukkan bahwa pembangunan berkelanjutan membutuhkan komitmen yang
kuat dari penyelenggara pemerintahan dalam merumuskan, menjalankan dan
mengevaluasi kebijakan-kebijakan pembangunan. Selain itu, diperlukan
administrasi negara yang efektif dan efesien yang mempertimbangkan aspek
lingkungan dalam segenap kebijakan serta dalam kerangka pembangunan demokrasi.
Partisipasi masyarakat juga merupakan kunci penting agar semua kebijakan yang
menyangkut pembangunan yang berkelanjutan dapat dilaksanakan bukan hanya dengan
hasil yang baik tetapi juga mendapat dukungan yang luas dari masyarakat..
Urbanisasi yang tidak
terkontrol mengakibatkan meningkatnya angka kemiskinan, pengangguran, konflik
antar suku dan rendahnya kualitas pendidikan merupakan masalah yang amat
kompleks dan dapat menjadi hambatan bagi pembangunan berkelanjutan. Masalah ini
merupakan hasil buruk dari upaya pembangunan yang dilakukan oleh negara yang
bersangkutan dan masyarakat dunia. Ketika kita bicara pelestarian lingkungan,
kebijakan yang dibuat umumnya hanya menyangkut sektor formal, kita lupa bahwa
banyak rakyat miskin yang menggantungkan keberlangsungan hidupnya dengan
memanfaatkan bahkan merusak lingkungan. Dengan demikian, pengentasan kemiskinan,
penyediaan lapangan pekerjaan, mengontrol urbanisasi, dan meningkatkan kualitas
pendidikan merupakan conditio
sine qua non bagi
pembangunan berkelanjutan.
Daftar Pustaka
Budhisantoso
Kartasasmita,
Ginanjar
Revitalisasi Administrasi Publik dalam Mewujudkan
Pembangunan Berkelanjutan, tersedi pada: http://www.stialan.ac.id/orasi%20ginanjar.pdf
Kencana, Inu, dkk
TTH,Ilmu Administrasi Publi: np,
Montgomery, John D.
1988. Bureaucrats and People: Grass Root Participation in Third:np
Pamudji
TTH, Ekologi Administrasi Negara,
Bina Aksara:
np
Sinbadpoke
Pengantar Ilmu Administrasi Negara, tersedia pada:
http://sinbadpoke.blogspot.com/2010/03/pengantar-ilmu-administrasi-negara- ag.html?zx=2d29383a1d5935a
Syiham
Pengertian
erubahan Sosia, tersedia pada:
ttp://www.syiham.co.cc/2010/04/pengertian-perubahan-sosial.html
Utomo, Tri Widodo
Mobilitas Penduduk, tersedia pada: http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/03/mobilitas-penduduk-dan-alternatif.html
Wikipedia
Perubahan Sosial Budaya, tersedia pada: http://id.wikipedia.com/wiki/perubahan sosial budaya
World Development. Baltimore: The John Hopkins University Press.
[1] http://sinbadpoke.blogspot.com/2010/03/pengantar-ilmu-administrasi-negara-bag.html?zx=2d29383a1d5935a
3des2010
[2] Ibid
[3] Ginanjar Kartasasmita, Revitalisasi
Administrasi Publik dalam Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan, tersedi pada: http://www.stialan.ac.id/orasi%20ginanjar.pdf.12
Des 2010
[5] Max Iver dalam buku A Text
Book of Sociology. Tersedia pada: http://www.syiham.co.cc/2010/04/pengertian-perubahan-sosial.html, 10des2010
[7] Kingsley Davis, dalam buku Human
Society, tersedia pada: http://www.syiham.co.cc/2010/04/pengertian-perubahan-sosial.html. 12 des 2010
[8] Bruce J. Cohen, dalam buku: Sosiologi: suatu pengantar: terjemaahan,
tersedia pada: http://www.syiham.co.cc/2010/04/pengertian-perubahan-sosial.html, 12des2010
[9] Roucek dan Warren, dalam buku:
Sociology, tersedia pada: http://www.syiham.co.cc/2010/04/pengertian-perubahan-sosial.html, 12 des2010
[10] Selo Sumardjan, dalam buku: Perubahan Sosial di Yogyakarta, tersedia
pada: http://www.syiham.co.cc/2010/04/pengertian-perubahan-sosial.html 9des2010
[11] Ibid
[12] Max Weber, dalam buku: Sociological
Writings: tersedia pada: http://sosial-budaya.blogspot.com/2009/09/pengertian-perubahan-sosial-budaya.html 12des2010
[13] W. Kornblum, dalam buku: Sociology
in Changing World, tersedia pada: tersedia pada: http://sosial-budaya.blogspot.com/2009/09/pengertian-perubahan-sosial-budaya.html 15des2010
World Development. Baltimore :
The John Hopkins University
Press.
[15] Chambers,
Robert. 1995. Poverty and Livelihoods: Whose Reality Counts?”, dalam
Uner Kirdar
dan Leonard Silk (ed.). People: From Impoverishment to
Empowerment. New York : New York University Press. Tersedia pada:
http://www.stialan.ac.id/orasi%20ginanjar.pdf 12 des2010
[16] Ginanjar
Kartasasmita, Revitalisasi Administrasi Publik
dalam Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan, tersedi pada:
http://www.stialan.ac.id/orasi%20ginanjar.pdf
[17] Ibid
[18] Bennet, 1976, dalam Budhisantoso, Pengelolaan Lingkungan Sosial, Ekonomi dan
Budaya, Ekonomi Rakyat Edisi Juli 2002, www.google.com.
[19] Budhisantoso, Pengelolaan Lingkungan Sosial, Ekonomi dan Budaya, Ekonomi Rakyat
Edisi Juli 2002, www.google.com.
[21] Michael Lipton
dalam Hendrizal, 2004, tersedia pada: http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/03/mobilitas-penduduk-dan-alternatif.html. 10des2010
[22] Tri Widodo Utomo, Mobilitas Penduduk dan Alternatif Kebijakan Pengendalian Urbanisasi,
tersedia pada: http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/03/mobilitas-penduduk-dan-alternatif.html
[23] Ibid
[24] Setiawan, 2004, tersedia pada: http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/03/mobilitas-penduduk-dan-alternatif.html, 5des2010
[25] Tri Widodo Utomo, Mobilitas Penduduk dan Alternatif Kebijakan Pengendalian Urbanisasi,
tersedia pada: http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/03/mobilitas-penduduk-dan-alternatif.html,5des1010
[26] Smith and Nemeth, dalam setiawan 2004, tersedia pada:
http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/03/mobilitas-penduduk-dan-alternatif.html, 7des2010
[27] Hendrizal, 2004, tersedia pada:
http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/03/mobilitas-penduduk-dan-alternatif.html, 5des2010
[29] Tri Widodo Utomo, Mobilitas Penduduk
dan Alternatif Kebijakan Pengendalian Urbanisasi, tersedia pada: http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/03/mobilitas-penduduk-dan-alternatif.html, 5des2010
[30] Hendrizal, 2004, tersedia pada:
http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/03/mobilitas-penduduk-dan-alternatif.html 5des2010
World Development. Baltimore :
The John Hopkins University
Press. Tersedia pada: http://www.stialan.ac.id/orasi%20ginanjar.pdf 7des2010
Frank E. Marini, Toward a New Public
Administration: The Minnowbrook 6des2010
Perspective. Novato : Chandler Publishing Company. Tersedia pada:
http://www.stialan.ac.id/orasi%20ginanjar.pdf
and Business, In Society
and World View. New York : Harper &
Row Publisher. Tersedia pada: http://www.stialan.ac.id/orasi%20ginanjar.pdf 5des2010
[36] Pamudji, Ekologi Administrasi Negara, Bina Aksara
[37] Inu Kencana, dkk, Ilmu Administrasi Publik, Hal, 140
[38] Melville J. Herkovits, dalam Budhisantoso,
Pengelolaan Lingkungan Sosial, Ekonomi
dan Budaya, Ekonomi Rakyat Edisi Juli 2002, www.google.com.5des2010
[41] Wheaton, 1974 dan Porteous, 1977,
tersedia pada: http://www.stialan.ac.id/orasi%20ginanjar.pdf5des2010
[43] Ibid
No comments:
Post a Comment