Sejarah hak asasi manusia di indonesia – Hak-hak
Asasi Manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha
Pencipta(hak-hak yang bersifat kodrati). Oleh karenanya tidak ada kekuasaan
apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Meskipun demikian bukan berarti dengan
hak-haknya itu dapat berbuat semau-maunya. Sebab apabila seseorang melakukan
sesuatu yang dapat dikategorikan melanggar hak asasi orang lain, maka ia harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Pada hakikatnya “Hak Asasi Manusia” terdiri atas
dua hak dasar yang paling fundamental, ialah hak persamaan dan hak kebebasan.
Dari kedua hak dasar inilah lahir hak-hak asasi lainnya atau tanpa kedua hak
dasar ini, hak asasi manusia lainnya sulit akan ditegakkan.
Mengingat begitu pentingnya proses internalisasi
pemahaman Hak Asasi Manusia bagi setiap orang yang hidup bersama dengan orang
lainnya, maka suatu pendekatan historis mulai dari dikenalnya Hak Asasi Manusia
sampai dengan perkembangan saat ini perlu diketahui oleh setiap orang untuk lebih
menegaskan keberadaan hak asasi dirinya dengan hak asasi orang lain.
SEJARAH INTERNASIONAL HAK ASASI MANUSIA
Umumnya para pakar Eropa berpendapat bahwa
lahirnya HAM dimulai dengan lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris.
Magna Charta antara lain mencanangkan bahwa raja yang tadinya memiliki
kekuasaan absolut (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat
pada hukum), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat dimintai
pertanggungjawaban di muka umum. Dari sinilah lahir doktrin raja tidak kebal
hukum lagi dan mulai bertanggungjawab kepada hukum. Sejak itu mulai
dipraktekkan kalau raja melanggar hukum harus diadili dan harus
mempertanggungjawabkan kebijakasanaannya kepada parlemen. Jadi, sudah mulai
dinyatakan dalam bahwa raja terikat kepada hukum dan bertanggungjawab kepada
rakyat, walaupun kekuasaan membuat Undang-undang pada masa itu lebih banyak
berada di tangan raja. Dengan demikian, kekuasaan raja mulai dibatasi sebagai
embrio lahirnya monarkhi konstitusional yang berintikan kekuasaan raja sebagai
simbol belaka. Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti oleh perkembangan
yang lebih konkret, dengan lahirnya “Bill of Rights” di Inggris pada tahun
1689. Pada masa itu mulai timbul adagium yang intinya adalah bahwa manusia sama
di muka hukum (equality before the law). Adagium ini memperkuat dorongan
timbulnya negara hukum dan demokrasi. Bill of rights melahirkan asas persamaan.
Para pejuang HAM dahulu sudah berketatapan bahwa hak persamaan harus diwujudkan
betapapun beratnya resiko yang dihadapi karena hak kebebasan baru dapat
diwujudkan kalau ada hak persamaan. Untuk mewujudkan semua itu, maka lahirlah
teori Roesseau (tentang contract social/perjanjian masyarakat), Motesquieu
dengan Trias Politikanya yang mengajarkan pemisahan kekuasaan guna mencegah
tirani, John Locke di Inggris dan Thomas Jefferson di Amerika dengan hak-hak
dasar kebebasan dan persamaan yang dicanangkannya.
Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan
munculnya The American Declaration of Independence yang lahir dari paham
Roesseau dan Montesqueu. Jadi, walaupun di Perancis sendiri belum dirinci apa
HAM itu, tetapi di Amerika Serikat lebih dahulu mencanangkan secara lebih
rinci. Mulailah dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam oerut
ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir, ia harus dibelenggu.
Selanjutnya pada tahun 1789 lahirlah The French
Declaration, dimana hak-hak yang lebih rinci lagi melahirkan dasar The Rule of
Law. Antara lain dinyatakah tidak boleh ada penangkapan dan penahanan yang
semena-mena, termasuk ditangkap tanpa alasan yang sah dan ditahan tanpa surat
perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah. Dinyatakan pula presumption of
innocence, artinya orang-orany yang ditangkap kemudian ditahan dan dituduh,
berhak dinyatakan tidak bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah. Dipertegas juga dengan
freedom of expression (bebas mengelaurkan pendapat), freedom of religion (bebas
menganut keyakinan/agama yang dikehendaki), the right of property (perlindungan
terhadap hak milik) dan hak-hak dasar lainnya. Jadi, dalam French Declaration
sudah tercakup semua hak, meliputi hak-hak yang menjamin tumbuhnyademokrasi
maupun negara hukum yang asas-asasnya sudah dicanangkan sebelumnya.
Perlu juga diketahui The Four Freedoms dari
Presiden Roosevelt yang dicanangkan pada tanggal 6 Januari 1941, dikutip dari
Encyclopedia Americana, p.654 tersebut di bawah ini :
“The first is freedom of speech and expression
everywhere in the world. The second is freedom of every person to worship God
in his own way-every where in the world. The third is freedom from want which,
translated into world terms, means economic understandings which will secure to
every nation a healthy peacetime life for its inhabitants-every where in the
world. The fourth is freedom from fear-which, translated into world terms,
means a worldwide reduction of armaments to such a point and in such a through
fashion that no nation will be in a position to commit an act of physical
agression against any neighbor-anywhere in the world.”
Semua hak-hak ini setelah Perang Dunia II
(sesudah Hitler memusnahkan berjuta-juta manusia) dijadikan dasar pemikiran
untuk melahirkan rumusan HAM yang bersifat universal, yang kemudian dikenal
dengan The Universal Declaration of Human Rights yang diciptakan oleh PBB pada
tahun 1948.
SEJARAH NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
Deklarasi HAM yang dicetuskan di Perserikatan
Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948, tidak berlebihan jika dikatakan
sebagai puncak peradaban umat manusia setelah dunia mengalami malapetaka akibat
kekejaman dan keaiban yang dilakukan negara-negara Fasis dan Nazi Jerman dalam
Perang Dunia II.
Deklarasi HAM sedunia itu mengandung makana
ganda, baik ke luar (antar negara-negara) maupun ke dalam (antar
negara-bangsa), berlaku bagi semua bangsa dan pemerintahan di negara-negaranya
masing-masing. Makna ke luar adalah berupa komitmen untuk saling menghormati
dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar negara-bangsa, agar
terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang dapat
menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan makna ke dalam, mengandung
pengertian bahwa Deklarasi HAM seduania itu harus senantiasa menjadi kriteria
objektif oleh rakyat dari masing-masing negara dalam menilai setiap kebijakan
yang dikelauarkan oleh pemerintahnya.
Bagi negara-negara anggota PBB, Deklarasi itu
sifatnya mengikat. Dengan demikian setiap pelanggaran atau penyimpangan dari
Deklarasi HAM sedunia si suatu negara anggota PBB bukan semata-mata menjadi
masalah intern rakyat dari negara yang bersangkutan, melainkan juga merupakan
masalah bagi rakyat dan pemerintahan negara-negara anggota PBB lainnya. Mereka
absah mempersoalkan dan mengadukan pemerintah pelanggar HAM di suatu negara ke
Komisi Tinggi HAM PBB atau melalui lembaga-lembaga HAM internasional lainnya
unuk mengutuk bahkan menjatuhkan sanksi internasional terhadap pemerintah yang
bersangkutan.
Adapun hakikat universalitas HAM yang
sesungguhnya, bahwa ke-30 pasal yang termaktub dalam Deklarasi HAM sedunia itu
adalah standar nilai kemanusiaan yang berlaku bagi siapapun, dari kelas sosial
dan latar belakang primordial apa pun serta bertempat tinggal di mana pun di
muka bumi ini. Semua manusia adalah sama. Semua kandungan nilai-nilainya
berlaku untuk semua.
Di Indonesia HAM sebenarnya telah lama ada.
Sebagai contoh, HAM di Sulawesi Selatan telah dikenal sejak lama, kemudian
ditulis dalam buku-buku adat (Lontarak). Antara lain dinyatakan dalam buku
Lontarak(Tomatindo di Lagana) bahwa apabila raja berselisih faham dengan Dewan
Adat, maka Raja harus mengalah. Tetapi apabila para Dewam Adat sendiri
berselisih, maka rakyatlah yang memustuskan. Jadi asas-asas HAM yang telah
disorot sekarang, semuanya sudah diterpkan oleh Raja-Raja dahulu, namun hal ini
kurang diperhatikan karena sebagian ahli hukum Indonesia sendiri agaknya lebih
suka mempelajari teori hukum Barat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa HAM
sudah lama lahir di Indonesia, namun dalam perkembangannya tidak menonjol
karena kurang dipublikasikan.
Human Rights selalu terkait dengan hak individu
dan hak masyarakat. Ada yang bertanya mengapa tidak disebut hak dan kewajban
asasi. Juga ada yang bertanya mengapa bukan Social Rights. Bukankan Social
Rights mengutamakan masyarakat yang menjadi tujuan ? Sesungguhnya dalam Human
Rights sudah implisit adanya kewajiban yang harus memperhatikan kepentingan
masyarakat. Demikian juga tidak mungkin kita mengatakan ada hak kalau tanpa
kewajiban. Orang yang dihormati haknya berkewajiban pula menghormati hak orang
lain. Jadi saling hormat-menghormati terhadap masing-masing hak orang. Jadi
jelaslah kalau ada hak berarti ada kewajiban. Contoh : seseorang yang berhak menuntut perbaikan
upah, haruslah terlebih dahulu memenuhi kewajibannya meningkatkan hasil
kerjanya. Dengan demikian tidak perlu dipergunakan istilah Social Rights karena
kalau kita menghormati hak-hak perseorangan (anggota masyarakat), kiranya sudah
termasuk pengertian bahwa dalam memanfaatkan haknya tersebut tidak boleh
mengganggu kepentingan masyarakat. Yang perlu dijaga ialah keseimbangan antara
hak dan kewajiban serta antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum
(kepentingan masyarakat). Selain itu, perlu dijaga juga keseimbangan antara
kebebasan dan tanggungjawab. Artinya, seseorang memiliki kebebasan bertindak
semaunya, tetapi tidak memperkosa hak-hak orang lain.
No comments:
Post a Comment