Menggeliatnya objek-objek wisata
di daerah-daerah khususnya Riau seringkali menjadi tujuan utama orang-orang
untuk berkunjung. Mengabadikan momen-momen dan tempat eksotis nan istimewa
selalu menjadi daya tarik terlebih lagi di dunia maya. Perkembangan teknologi
saat ini mampu membuat orang-orang di seluruh dunia mampu terkoneksi dalam satu
jaringan, dimana orang lain di belahan dunia sana bisa melihat foto, video
maupun aktivitas orang lain di belahan dunia lain dalam media sosial.
Sebagai anak daerah, perlu
sekiranya kita mengangkat ciri khas daerah kita seperti objek wisata, kuliner
khas, budaya dan hal-hal lain yang menarik dari daerah tersebut. Kali ini saya
akan sedikit bercerita tentang pesona alam yang ada di Desa Makeruh Rupat Selatan Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau . Desa makeruh ini selain tempat kelahiran ayah
saya, Desa ini pernah menjadi saksi sejarah sebagai salah satu tempat
pertahanan tentara Indonesia dibawah Satuan Tugas Intelegence “102” yang
di Komandoi oleh Kapten R. Radian Dally BA. Mengingat desa makeruh ini berada di
pesisir pantai yang berbatasan langsung oleh negeri jiran Malaysia dan hanya di
pisahkan oleh selat Melaka. Pada saat itu satuan tugas ini sedalam dalam
perjuangan melawan Neokolim British Malaysia.
Pada awalnya, desa ini tidak banyak
yang mengetahui pesona keindahanya yang masih terjaga sampai sekarang. Karena di
pulau rupat ini ada suatu tempat lagi yang lebih terkenal dan sering di
kunjungi orang yaitu tanjung medang yang terletak di rupat utara, dimana saat
tahun 2016 saya berkunjung kesana tempat ini memang lebih berkembang pesat
sarana prasarananya mulai dari kondisi jalan masuk kesana, wahana air seperti
perahu layar serta fasilitas lainya seperti penginapan dan rumah makan. Berbeda
dengan desa makeruh yang tidak memadai fasilitasnya, mulai dari jalan masuk ke
desa terebut yang rusak parah sampai fasilitas penginapan dan rumah makan untuk pengunjung.
Namun, secara pribadi saya berfikir
ada sisi baik dan buruknya. Sisi buruknya, dengan akses yang sulit karena
buruknya kondisi jalan kesana akan membuat sulitnya masyarakat disana untuk
mensuplai barang-barang sembako kebutuhan dari daerah darat ke pesisir pantai. Mata
pencaharian sebahagian masyarakat desa makeruh ini adalah nelayan dan bercocok
tanam namun tetap saja untuk kebutuhan sekunder lainya mereka tetap butuh akses
ke darat lewat jalanan yang memadai. Begitu
juga untuk wisatawan asing atau local yang ingin berkunjung, kondisi jalan yang
rusak berat itu membuat mereka enggan kesana dan memilih alternatif lain yang
lebih popular karena informasi dari mulut ke mulut yaitu rupat utara.
Sisi baiknya, semakin sedikitnya
tempat ini di kunjungi orang luar bagi saya akan semakin baik terjaganya
ekosistem disana. Banyaknya traveller yang selalu semena-mena pada lokasi objek
wisata akan menjadikan objek wisata
seperti desa makeruh ini pudar. Lingkungan yang terbentuk secara alami oleh
alam perlahan-lahan akan tergerus oleh prilaku-prilaku travellers tidak
bijaksana. Faktanya desa makeruh ini masih minim dengan modern, terlihat dari
belum masuk aliran listrik, sehingga masyarakat disana masih mengguakan mesin
genset sebagai sumber listriknya. Namun saat ini sudah di bangunnya turap di
pinggir pantainya karena semakin besarnya abrasi yang terjadi. Lalu saat ini
juga sudah di bangun jalanan aspal berukuran lebar satu unit mobil di pinggir
pantainya, sedangkan dataran lainya di dominasi oleh pasir. Jalannan yang
dibangun saat ini cukup membantu aktivitas masyarakat untuk sekedar aktivitas
di sekitar pesisir pantai. Tapi untuk akses jalan dari pesisir pantai menuju ke
bagian tengah pulau yaitu daratnya, jalanya masih sangat rusak berat. Hal
tersebut masih menjadi hambatan dalam aktivitas masyarakat
di desa makeruh tersebut.
Desa ini masih terbilang memiliki
kekerabatan yang luas. Penduduk di pesisir pantai ini rata-rata masih memiliki
hubungan darah. Jadi yang biasanya yang sering berkunjung ke desa ini hanya
anak cucu dari keluarga yang ada disana. Biasanya bila sudah masuk ke jenjang
pendidikan tinggi, anak-anak di desa makeruh ini berhijrah ke kota terdekat
yaitu Kota Dumai. Karena lembaga pendidikan yang tersedia di pulau rupat ini
hanya sampai tingkat SMA, itupun lokasinya sangat jauh dari desa makeruh ini.
Ditambah lagi dengan kondisi jalan yang rusak berat. Dari kota Dumai menuju ke
desa makeruh di pulau rupat ini, hanya ada satu sarana transportasi laut yaitu
dengan kapal RORO. Kapal ini biasa sering mengangkut penumpang berkendara
sepeda motor dan mobil. Tapi tidak sedikit juga mobil-mobil bak dengan usaha
bisnis di bidang pengolahan yang sering mengangkat panen kelapa sawit dari
pulau rupat ke Dumai.
Begitu banyaknya keterbatasan dan
sarana prasarana yang harus di bangun di desa ini lantas tidak membuat desa ini
hilang akan pesona alamnya. Walaupun air lautnya keruh tapi pantai di desa ini
memiliki pasir yang sangat putih. Pepohonan kelapa yang masih banyak dan
tersusun indah di bibir pantai menambah riang suasana pantai. Kondisi yang
masih tradisional dan alami inilah yang memiliki daya tarik tersendiri bagi
Traveller yang menyukai tantangan. Keterbatasan listrik yang hanya menyala
ketika masuk jam 18.00 sampai dengan 21.00 wib ini menjadi tantangan
orang-orang untuk mendapatkan suplai energy listrik untuk kebutuhan Gadget
mereka seperti handphone, laptop dan alat elektronik lainya untuk menunjang
kebutuhan. Zaman serba teknolagi saat ini sangat sedikit orang-orang bisa
bertahan akan kebutuhan itu untuk berhari-hari di desa ini.
Bagi saya beberapa hari di desa ini seperti berada di pantai private, dimana tidak banyak orang-orang luar pulau yang kesana. Karena disana masih banyak keluarga, tentunya masih ada rumah kakek yang masih di huni oleh cucunya. Rumah itulah yang tetap di pertahankan untuk kelak anak cucunya seperti kami ini dapat berkunjung dan menginap disana. Rumah yang hanya berjarak sekitar 50 meter dari depan pintu rumah. Model rumah panggung menambah kentalnya nuansa pantai pada umumnya. Ketika bangun di pagi hari membuka dua daun pintu, matahari pagi, pantai yang indah berserta angin segar sudah siap menyambutmu. Jauh dari pabrik, jauh dari emisi-emisi kendaraan jalanan dan jauh kesibukan kota. Rasa penat dan letih seketika sirna oleh keluguan alam desa makeruh ini.
Pagi-pagi itu kami di suguhi
sarapan dengan olahan dari ikan laut segar seperti ikan tenggiri dan parang
langsung dari laut tanpa tambahan es pendingin lainya, ditambah nasi dan segelas tah manis hangat. Sambil sarapan
kami duduk di depan pintu rumah panggung itu memandang ke arah lautan. Pagi
sunyi sepi dan tenang yang hanya terdengar suara deruan ombak, hembusan angin
dan suara kunyahan makan kami. Memang Susana itu dapat menambah nafsu makan,
sampai tanpa sadar kami sudah makan lebih dari sekali.
Setelah usai sarapan, kami mulai
bermain dengan berjalan kaki di pinggir pantai desa makeruh ini. Beberapa
masyarakat mulai beraktifitas, ada yang udah bersiap-siap di sampan/perahu
untuk melaut, ada yang akan bercocok tanam ke darat bahkan ada yang sedang
membuat sampan/perahu. Anak-anak berseragam mulai terlihat mengunakan sepeda
motor menuju sekolah mereka di darat melewati jalan yang rusak tersebut. Begitu
besar perjuangan mereka untuk sampai ke sekolah.
Haripun mulai siang, mataharipun lurus
tepat di atas kepala. Langit biru, Hembusan angin dan deruan ombak masih menghiasi
desa makeruh. Orang-orang mulai kembali dari sawah, hutan dan laut ke rumah
mereka masing-masing untuk sekedar hanya bertemu keluarga dan makan siang. Bahkan
ada yang masih berada di hutan dan sawah dengan membawa bekal yang telah di
siapkan. Waktu demi waktu berlalu, sore hari pun tiba, setiap rumah di pinggir
pantai desa makeruh telah berkumpul lengkap dengan keluarganya. Tidak sedikit
juga orang-orang dari darat datang kesini hanya untuk sekedar melihat laut di
sore hari. Ketika perlahan lahan matahari mulai sirna di ufuk barat, burung-burung
kecil mulai kembali ke sangkarnya dan Kami hanya terduduk di bibir pantai menunggu
sampai matahari benar-benar kembali ke asalnya. Warna khas matahari sore itu
selalu teringat dalam pikiran.
Azan magrib pun berkumandang,
tanda sebuah malam akan tiba. Orang-orang pun berkumpul di masjid untuk
menjalankan ibadah sholat. Masih begitu asri dan alaminya desa makeruh ini,
jauh dari sentuhan pengunjung-pengunjung yang tidak menghargai dan menghormati
alam. Manusia dan alam hidup secara berdampingan, saling membutuhkan satu sama
lain. Saling menjaga dan merawat adalah suatu kebijaksanan, karena suatu saat
alam ini kelak akan dinikmati oleh anak cucu kita. Sekian Terimakasih
See You On The Next Story
No comments:
Post a Comment