CAPOEIRA, TRAVELLING, STUDY AND LOVE

My LIfe My Adventure

Thursday, February 16, 2017

Pesona Tersembunyi Desa Makeruh Rupat Selatan






     Menggeliatnya objek-objek wisata di daerah-daerah khususnya Riau seringkali menjadi tujuan utama orang-orang untuk berkunjung. Mengabadikan momen-momen dan tempat eksotis nan istimewa selalu menjadi daya tarik terlebih lagi di dunia maya. Perkembangan teknologi saat ini mampu membuat orang-orang di seluruh dunia mampu terkoneksi dalam satu jaringan, dimana orang lain di belahan dunia sana bisa melihat foto, video maupun aktivitas orang lain di belahan dunia lain dalam media sosial.

      Sebagai anak daerah, perlu sekiranya kita mengangkat ciri khas daerah kita seperti objek wisata, kuliner khas, budaya dan hal-hal lain yang menarik dari daerah tersebut. Kali ini saya akan sedikit bercerita tentang pesona alam yang ada di Desa Makeruh Rupat Selatan Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau . Desa makeruh ini selain tempat kelahiran ayah saya, Desa ini pernah menjadi saksi sejarah sebagai salah satu tempat pertahanan tentara Indonesia dibawah Satuan Tugas Intelegence “102” yang di Komandoi oleh Kapten R. Radian Dally BA. Mengingat desa makeruh ini berada di pesisir pantai yang berbatasan langsung oleh negeri jiran Malaysia dan hanya di pisahkan oleh selat Melaka. Pada saat itu satuan tugas ini sedalam dalam perjuangan melawan Neokolim British Malaysia.




     Pada awalnya, desa ini tidak banyak yang mengetahui pesona keindahanya yang masih terjaga sampai sekarang. Karena di pulau rupat ini ada suatu tempat lagi yang lebih terkenal dan sering di kunjungi orang yaitu tanjung medang yang terletak di rupat utara, dimana saat tahun 2016 saya berkunjung kesana tempat ini memang lebih berkembang pesat sarana prasarananya mulai dari kondisi jalan masuk kesana, wahana air seperti perahu layar serta fasilitas lainya seperti penginapan dan rumah makan. Berbeda dengan desa makeruh yang tidak memadai fasilitasnya, mulai dari jalan masuk ke desa terebut yang rusak parah sampai fasilitas penginapan dan rumah makan untuk pengunjung.





       Namun, secara pribadi saya berfikir ada sisi baik dan buruknya. Sisi buruknya, dengan akses yang sulit karena buruknya kondisi jalan kesana akan membuat sulitnya masyarakat disana untuk mensuplai barang-barang sembako kebutuhan dari daerah darat ke pesisir pantai. Mata pencaharian sebahagian masyarakat desa makeruh ini adalah nelayan dan bercocok tanam namun tetap saja untuk kebutuhan sekunder lainya mereka tetap butuh akses ke darat lewat jalanan yang memadai.  Begitu juga untuk wisatawan asing atau local yang ingin berkunjung, kondisi jalan yang rusak berat itu membuat mereka enggan kesana dan memilih alternatif lain yang lebih popular karena informasi dari mulut ke mulut yaitu rupat utara.


       Sisi baiknya, semakin sedikitnya tempat ini di kunjungi orang luar bagi saya akan semakin baik terjaganya ekosistem disana. Banyaknya traveller yang selalu semena-mena pada lokasi objek wisata akan  menjadikan objek wisata seperti desa makeruh ini pudar. Lingkungan yang terbentuk secara alami oleh alam perlahan-lahan akan tergerus oleh prilaku-prilaku travellers tidak bijaksana. Faktanya desa makeruh ini masih minim dengan modern, terlihat dari belum masuk aliran listrik, sehingga masyarakat disana masih mengguakan mesin genset sebagai sumber listriknya. Namun saat ini sudah di bangunnya turap di pinggir pantainya karena semakin besarnya abrasi yang terjadi. Lalu saat ini juga sudah di bangun jalanan aspal berukuran lebar satu unit mobil di pinggir pantainya, sedangkan dataran lainya di dominasi oleh pasir. Jalannan yang dibangun saat ini cukup membantu aktivitas masyarakat untuk sekedar aktivitas di sekitar pesisir pantai. Tapi untuk akses jalan dari pesisir pantai menuju ke bagian tengah pulau yaitu daratnya, jalanya masih sangat rusak berat. Hal tersebut masih menjadi hambatan dalam aktivitas masyarakat di desa makeruh tersebut.




      Desa ini masih terbilang memiliki kekerabatan yang luas. Penduduk di pesisir pantai ini rata-rata masih memiliki hubungan darah. Jadi yang biasanya yang sering berkunjung ke desa ini hanya anak cucu dari keluarga yang ada disana. Biasanya bila sudah masuk ke jenjang pendidikan tinggi, anak-anak di desa makeruh ini berhijrah ke kota terdekat yaitu Kota Dumai. Karena lembaga pendidikan yang tersedia di pulau rupat ini hanya sampai tingkat SMA, itupun lokasinya sangat jauh dari desa makeruh ini. Ditambah lagi dengan kondisi jalan yang rusak berat. Dari kota Dumai menuju ke desa makeruh di pulau rupat ini, hanya ada satu sarana transportasi laut yaitu dengan kapal RORO. Kapal ini biasa sering mengangkut penumpang berkendara sepeda motor dan mobil. Tapi tidak sedikit juga mobil-mobil bak dengan usaha bisnis di bidang pengolahan yang sering mengangkat panen kelapa sawit dari pulau rupat ke Dumai.


     Begitu banyaknya keterbatasan dan sarana prasarana yang harus di bangun di desa ini lantas tidak membuat desa ini hilang akan pesona alamnya. Walaupun air lautnya keruh tapi pantai di desa ini memiliki pasir yang sangat putih. Pepohonan kelapa yang masih banyak dan tersusun indah di bibir pantai menambah riang suasana pantai. Kondisi yang masih tradisional dan alami inilah yang memiliki daya tarik tersendiri bagi Traveller yang menyukai tantangan. Keterbatasan listrik yang hanya menyala ketika masuk jam 18.00 sampai dengan 21.00 wib ini menjadi tantangan orang-orang untuk mendapatkan suplai energy listrik untuk kebutuhan Gadget mereka seperti handphone, laptop dan alat elektronik lainya untuk menunjang kebutuhan. Zaman serba teknolagi saat ini sangat sedikit orang-orang bisa bertahan akan kebutuhan itu untuk berhari-hari di desa ini.



   
       Bagi saya beberapa hari di desa ini seperti berada di pantai private, dimana tidak banyak orang-orang luar pulau yang kesana. Karena disana masih banyak keluarga, tentunya masih ada rumah kakek yang masih di huni oleh cucunya. Rumah itulah yang tetap di pertahankan untuk kelak anak cucunya seperti kami ini dapat berkunjung dan menginap disana. Rumah yang hanya berjarak sekitar 50 meter dari depan pintu rumah. Model rumah panggung menambah kentalnya nuansa pantai pada umumnya. Ketika bangun di pagi hari membuka dua daun pintu, matahari pagi, pantai yang indah berserta angin segar sudah siap menyambutmu. Jauh dari pabrik, jauh dari emisi-emisi kendaraan jalanan dan jauh kesibukan kota. Rasa penat dan letih seketika sirna oleh keluguan alam desa makeruh ini.




       Pagi-pagi itu kami di suguhi sarapan dengan olahan dari ikan laut segar seperti ikan tenggiri dan parang langsung dari laut tanpa tambahan es pendingin lainya, ditambah nasi  dan segelas tah manis hangat. Sambil sarapan kami duduk di depan pintu rumah panggung itu memandang ke arah lautan. Pagi sunyi sepi dan tenang yang hanya terdengar suara deruan ombak, hembusan angin dan suara kunyahan makan kami. Memang Susana itu dapat menambah nafsu makan, sampai tanpa sadar kami sudah makan lebih dari sekali.



      Setelah usai sarapan, kami mulai bermain dengan berjalan kaki di pinggir pantai desa makeruh ini. Beberapa masyarakat mulai beraktifitas, ada yang udah bersiap-siap di sampan/perahu untuk melaut, ada yang akan bercocok tanam ke darat bahkan ada yang sedang membuat sampan/perahu. Anak-anak berseragam mulai terlihat mengunakan sepeda motor menuju sekolah mereka di darat melewati jalan yang rusak tersebut. Begitu besar perjuangan mereka untuk sampai ke sekolah.



          
        Haripun mulai siang, mataharipun lurus tepat di atas kepala. Langit biru, Hembusan angin dan deruan ombak masih menghiasi desa makeruh. Orang-orang mulai kembali dari sawah, hutan dan laut ke rumah mereka masing-masing untuk sekedar hanya bertemu keluarga dan makan siang. Bahkan ada yang masih berada di hutan dan sawah dengan membawa bekal yang telah di siapkan. Waktu demi waktu berlalu, sore hari pun tiba, setiap rumah di pinggir pantai desa makeruh telah berkumpul lengkap dengan keluarganya. Tidak sedikit juga orang-orang dari darat datang kesini hanya untuk sekedar melihat laut di sore hari. Ketika perlahan lahan matahari mulai sirna di ufuk barat, burung-burung kecil mulai kembali ke sangkarnya dan Kami hanya terduduk di bibir pantai menunggu sampai matahari benar-benar kembali ke asalnya. Warna khas matahari sore itu selalu teringat dalam pikiran.


        Azan magrib pun berkumandang, tanda sebuah malam akan tiba. Orang-orang pun berkumpul di masjid untuk menjalankan ibadah sholat. Masih begitu asri dan alaminya desa makeruh ini, jauh dari sentuhan pengunjung-pengunjung yang tidak menghargai dan menghormati alam. Manusia dan alam hidup secara berdampingan, saling membutuhkan satu sama lain. Saling menjaga dan merawat adalah suatu kebijaksanan, karena suatu saat alam ini kelak akan dinikmati oleh anak cucu kita. Sekian Terimakasih



See You On The Next Story

No comments:

Post a Comment

Pantai Timur Pangandaran

Pantai Timur Pangandaran
Snorklling

Capoeira Brasil Indonesia

Capoeira Brasil Indonesia

Gabung Aja Di Kiri

Gabung Aja Di Kiri

Roda

Roda

Maculele Performance

Maculele Performance