Sofian Effendi
Reformasi Aparatur Negara
Profesor Gerald Caiden, salah seorang pelopor
studi Reformasi Administrasi dalam
buku “Administrative Reform Comes of Age” terbitan tahun 1991, mengungkapkan ironi yang terjadi di banyak negara,
negara maju maupun negara berkembang,
bahwa “... reformasi sistem administrasi tidak pernah mencapai inti permasalahan tetapi hanya formalitas semata.
Reformasi tersebut tidak cukup luas dan
mendalam. Bahkan cukup banyak negara yang tidak memberikan perhatian yang cukup memadai pada reformasi administrasi...” Barulah
setelah terlambat dan kondisi negara
sudah amat buruk pemerintah menyadari perlunya reformasi administrasi. Karena itu Prof Caiden mengingatkan “By the
time it was realized that defective administrative
system were a serious obstacle to progress, that what was wrong with them was fundamental, and hihger priority
should be to putting them right, the prevailing
gales were fast blowing into huricanes.”
Mungkin Indonesia adalah salah satu negara yang
tidak memberikan perhatian besar
pada reformasi administrasi. Walau pun jabatan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara selalu ada dalam Pemerintahan Orde
Baru, Pemerintahan Reformasi, Pemerintahan
Gotong Royong dan terakhir dalam Pemerintahan Indonesia Bersatu, tetapi kedalaman dan keluasan reformasi aparatur
negara belum menyentuh bagian- bagian
yang paling mendasar dalam sistem administrasi.
Reformasi aparatur negara yang diperlukan untuk
menciptakan sistem administrasi yang berkemampuan untuk melaksanakan
pemerintahan demokratis dan globalisasi
perdagangan tidak bisa tidak harus bersifat komprehensif dan mencakup, antara lain, penetapan peraturan dasar tentang
sistem pemerintahan negara yang sesuai dengan
kemajuan bangsa Indonesia, peningkatan kemampuan birokrasi pemerintah khususnya peningkatan birokrasi pemerintahan
khususnya sistem kepegawaian, desentralisasi pemerintahan dan upaya
pembera-ntasan korupsi. Dalam waktu yang singkat
ini tidak mungkin seaya menyentuh semua dimensi reformasi aparatur negara tersebut. Presentasi saya ini akan lebih
menfokuskan diri pada reformasi birokrasi, dan secara
lebih khusus reformasi sistem kepegawaian.
Peraturan dasar tentang pemerintahan negara
Kemerosotan kinerja pemerintahan sebenarnya mulai
terasa pada Pemerintahan Rekonsiliasi
Nasional di bawah pimpinan Presiden Abdurahman Wachid3. Gaya 1 Makalah disampaikan pada Seminar Nasional
AIPI “Reformasi Birokrasi dan Pemberantasa
Korupsi di Indonesia”, di Medan, 3-4 Mei 2006.
2 Rektor Universitas Gadjah Mada.
3 Dibahas dalam “Entrophic Government”,
Media Indonesia, 6 Juni 2001.
kepemimpinan Gus Dur yang kurang
sabaran karena kebiasaan mengadakan perubahan-perubahan
secara erratic dan tidak terencana, seperti mengadakan 5 jabatan Sekretaris yang setingkat pada Sekretariat Negara,
resuffle Kabinet yang dilakukan beberapa
kali, dan intervensi Presiden dalam penunjukan jabatan teras pada birokrasi pusat dan daerah daerah, adalah faktor utama yang
mendorong terjadinya kondisi entrofi
tersebut. Pada pemerintahan Kabinet Gotong Royong yang terdiri dari para menteri dari kalangan profesional yang memepunyai
reputasi tinggi dibawah pimpinan Presiden
Megawati, entrofi pemerintahan mulai menghilang karena kepercayaan rakyat mulai menguat kembali. Sayangnya, pada pemerintahan KIB kinerja
pemerintah muncul kembali karena
didorong oleh dua faktor penyebab: Pertama, rendahnya kepercayaan masyarakat pada kemampuan para pembantu Presiden.
Kedua, yang justru merupakan faktor
penyebab utama, adalah karena UUD hasil amandemen nampaknya kurang memberikan landasan konstitusional untuk sistem
pemerintahan yang memiliki kapasitas
tinggi, yaitu suatu pemerintahan negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi serta
keadilan sosial. Sudah cukup banyak penilaian terhadap kinerja KIB yang
dilakukan oleh berbagai media cetak dan
elektronik, serta para pengamat pada berbagai fora, dan saya rasa penilaian tersebut sudah cukup untuk memberi
gambara tentang pandangan masyarakat
tentang kondisi pemerintahan pada saat ini.
Faktor kedua yang sebenarnya merupakan akar
permasalahan atas rendahnya kinerja
pemerintah adalah amandemen UUD hasil amandemen sebanyak 4 kali selama kurun waktu 1999 sampai 2004, yang menciptakan
pemerintahan parlementer semu. UUD hasil
amandemen telah merubah secara mendasar sistem pemerintahan Negara menjadi sistem presidensial, padahal oleh para founding
fathers sistem tersebut dipandang
kurang “adekuat” sebagai sistem pemerintahan Negara Bangsa4 yang berlandaskan faham Kekeluargaan5 untuk
menciptakan keadilan sosial6. Kalau
kita ikuti pembahasan pada sidang-sidang BPUPK pada pertengahan Juli sampai 15 Agustus, 1945 waktu menyusun sistem
pemerintahan untuk Negara Republik
Indonesia, dan pembahasan pada sidang-sidang PPKI pada 18 – 20 Agustus 1945, sebagaimana terekam dalam notulen otentik
yang hampir selama 56 tahun “hilang”,
dapat disimpulkan bahwa sistem pemerintahan untuk Negara Bangsa7 Republik
Indonesia adalah yang oleh Dr. Soekiman, anggota BPUPK yang mewakili
4 Lihat R.M. Ananda Koesoema, Sejarah
Lahirnya UUD 1945. Monograf, Pusat Studi Hukum
Ketatanegaraan, Fakultas Hukum, Universitas
Indonesia. 2004.
5 Pembahasan lebih lengkap tentang konsep
Negara Kekeluargaan dapat dibca pada Sofian Effendi,
“Sistem pemerintahan Negara Kekeluargaan”. Pidato
Dies Natalis XVIII Universitas Wangsa
Manggala, Yogyakarta, 9 Oktober 2004.
6 Pembahasan komprehensif tentang keadilan
sosial dapat dibaca dalam buku karangan Bur Rasuanto
“Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan
Habermas, Dua Teori Filsafat Moderen.
Jakarta. Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2005.
7 Uraian menarik tentang sejarah Negara Bangsa
dapat dibaca dalam monograf Tim Nasional Reformasi
Menuju Masyarkat Madani “Transformasi Bangsa
Menuju Masyarakat Madani”. Jakarta, 1998.
Yogyakarta, disebut “sistem sendiri”. Dalam
literatur ilmu politik system pemerintahan
tersebut ditahbiskan pertama kali oleh ilmuwan politik Prancis, Maurice Duverger, sebagai sistem pemerintahan
semi-presidensial8. Sistem pemerintahan tersebut dipilih karena dipandang akan mampu
mengatasi kelemahan-kelemahan system parlementer
yang dipandang tidak mengenal pemisahan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif, karena yang memegang portofolio
penting dalam eksekutif adalah anggota legislatif,
sehingga tidak menjamin tumbuhnya check-and-balance yang merupakan persyarakat penting dalam penyelenggaraan
pemerintahan yang baik. Para penyusun konstitusi
tidak memilih sistem presidensial karena memperkirakan pada system tersebut terbuka lebar peluang terjadinya “political
gridlocks” apabila presiden terpilih berasal
dari partai minoritas sedangkan berkuasa di lembaga legislatif adalah partai mayoritas. Hubungan yang kurang serasi antara
eksekutif dan legislatif pada tahun pertama
pemerintahan KIB memang merupakan salah satu contoh fenomena kemacetan politik yang dikhawatirkan oleh para
pendahulu kita. Political gridlock itulah
yang kita alami sejak KIB terbentuk karena dalam sistem parlementer semu Presiden bukan saja menghadapi kendala dari DPR,
tetapi juga karena para menteri dalam
kabinetnya lebih loyal kepada politik partai masing-masing.
Selain selalu harus mengahdapi ancaman
instabilitas politik, Pemerintah KIB yang
terdiri atas Presiden yang berasal dari partai minoritas dan Wakil Presiden yang seorang Ketua Umum salah satu Partai mayoritas,
masih harus menghadapi “tekanan” masyarakat
internasional yang sedang mengalami pergeseran pandangan tentang misi dan sistem pemerintah dalam pembangunan
negara-negara berkembang. Dirangsang oleh pemikiran-pemikiran Osborne dan
Gaebler melalui buku mereka “Reinventing
Government” (1992) dan Osborne dan Plastrik melalui buku berjudul provokatif “Banishing Bureaucracy: the
Five Stages of Reinventing Government”
(1998),
berkembanglah pemikiran yang cukup berpengaruh di lingkungan
lembaga-lembaga keuangan internasional bahwa pemerintah yang baik adalah pemerintah yang ramping. Lembaga-lembaga
multilateral mau pun bilateral dengan
cepat menerima pandangan tersebut dan menerapkannya dalam program bantuan mereka dan menjadikannya bagian dari paket
program pengembangan good governance, yang
secara sempit diartikan sama dengan small government atau clean government. Program-program
reformasi ekonomi yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga internasional di
Indonesia – khususnya privatisasi dan debirokratisasi – juga tidak terlepas dari pemikiran dasar ini, padahal
dalam kenyataannya peranan Pemerintah
Indonesia, anggaran pemerintah cukup kecil, tidak mencapai 20 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), berarti berada jauh
di bawah negara-negara OECD yang
sekarang masih cukup tinggi yaitu rata-rata 47.7 persen. Demikian juga bila diukur dari rasio penduduk per pegawai, Indonesia
ternyata berada di bawah rasio di negara-negara
maju. Dalam keadaan organisasi pemerintah terlalu kecil untuk mampu melaksanakan tugas-tugas pokoknya, Pemerintah
Indonesia mendapat desakan kuat dari luar
untuk melakukan debirokratisasi dan deregulasi.
8 Maurice Duverger, “A New Political System
Model: Semi-presidential Government”, EJPR, 8/1,
Juni 1982.
Dari perbandingan tersebit kita
dapat simpulkan bahwa arah kebijakan reformasi
kelembagaan atau reformasi aparatur negara di negara-negara maju yang tujuannya adalah memperkecil peranan negara dalam
pembanguan ekonomi memang tidak
sepenuhnya dapat diterapkan di Indonesia. Kalau arah kebijakan seperti itu
tetap dipaksakan oleh kekuatan luar terhadap Indonesia,
maka dapat dipastikan entrofi pemerintahan
akan semakin berlanjut dan Indonesia akan betul-betul menjadi Negara yang gagal yang tidak mampu lagi melakukan
tugas-tugas untuk mencapai cita-cita bangsa.
Reformasi Birokrasi
Reformasi politik, desentralisasi pemerintahan dan
liberalisasi ekonomi nasional
yang berlangsung dengan cepat sejak 1998 ternyata tidak diikuti oleh perubahan tata penyelenggaraan pemerintahan yang
cukup mendasar. Akibatnya sistem
pemerintahan termasuk pranata-pranata yang diperlukan untuk mendukung sistem politik demokratis, otonomi daerah dan
sistem ekonomi pasar yang lebih terbuka
belum sepenuhnya tersedia. Salah satu pranata tersebut adalah system birokrasi publik. Sistem ini terdiri atas 3
komponen pokok yaitu peraturan dasar tentang
sistem birokrasi, sistem kepegawaian, akuntabilitas dan transparansi. Secara khusus dalam presentasi ini saya akan menyoroti
sistem kepegawaian. Berbeda
dari persepsi publik bahwa negara ini kelebihan PNS, dengan 3.622.000 PNS sebenarnya Indonesia belum mencapai
rasio minimal yang dipersyaratkan
agar mampu menyelenggarakan pelayanan umum yang memadai bagi 217 juta penduduk yang tersebar di 440 kabupaten
dan kota. Dari jumlah tersebut lebih
dari 1,6 juta orang adalah tenaga kependidikan dan 126.000 tenaga kesehatan.
Dari gambaran umum ini jelaslah bahwa bagi
Indonesia isu pokok bukan besarnya jumlah
PNS, karena untuk memberikan pelayanan umum yg minimal diperlukan lebih kurang 4,3 juta PNS. Kualitas SDM aparatur negara
juga relatif cukup baik karena dari total
PNS, hanya 6 persen yang berpendidikan SD dan SLTP, 37 pesen berpendidikan SLTA, 55 persen berpendidikan S-0 dan S-1, dan
sekitar 2,5 lebih memiliki pendidikan pascasarjana. Karena itu nampaknya reformasi birokrasi khususnya
reformasi kepegawaian harus
dipusatkan pada 3 aspek yaitu penataan sistem penggajian dan jaminan social PNS, pendistribusian mutu PNS yang lebih merata
antar daerah perkotaan dan pedesaan,
serta mengatasi ketimpangan dalam kompetensi perumusan kebijakan. Penataan gaji dan jaminan sosial harus merupakan
fokus utama dalam reformasi birokrasi
karena sistem penggajian PNS yang diterapkan terlalu menyimpang dari acuan teori penggajian yang berlaku. Literatur
manajemen SDM yang banyak dianut oleh
banyak negara, skala penggajian yang baik dan yang mampu memacu prestasi kerja adalah yang memiliki rasio 1 : 20 antara
gaji terendah dan gaji tertinggi. Pada masa-masa
awal Pemerintahan Indonesia, sistem penggajian PNS menggunakan skala seperti tersebut. Skala yang digunakan saat ini,
yang dikenal dengan Peraturan Gaji Pegawai
Sipil (PGPS) telah menyimpang dari teori penggajian. Skala penggajian yang kita terapkan mungkin merupakan sistem penggajian
yang paling kompleks di dunia karena
menggunakan skala gabungan dan rasio antara gaji pokok tertinggi dan terendah terlalu tipis. Dalam PGPS dikenal gaji pokok yang
berkisar antara Rp. 700.000, gaji terendah,
dan Rp 1,700,000, gaji tertinggi. Selain itu ada tunjangan fungsional yang besarnya dan tunjangan struktural untuk para
pejabat eselon IV sampai eselon I. Karena
itulah sistem penggajian ini disebut sebagai sistem yang menggunakan skala gabungan. Sistem
penggajian dengan skala gabungan tersebut ternyata belum menjamin tingkat kesejahteraan yang mampu mendukung kinerja
PNS. Total penerimaan PNS jauh
dibawah gaji dan tunjangan yang diterimakan pada para pegawai BUMN dan anggota legislatif. Bahkan berada dibawah gaji
para anggota dan pegawai berbagai komisi
yang tumbuh bak jamur selama masa pemerintahan SBY-MJK. Karena itu reformasi birokrasi harus memberikan prioritas
pertama pada sistem penggajian PNS.
Reformasi birokrasi juga harus diarahkan untuk
menciptakan system kepegawaian
meritokratik. Landasan hukum untuk sistem kepegawaian meritokratik yang bertujuan untuk menjamin agar birokrasi
pemerintah bersih dari intervensi politik sebenarnya
sudah ada yaitu UU No. 43 tahun 1999. Untuk menjamin agar birokrasi pemerintah bersih dari praktek “spoilled”
dan pengelolaan aparatur negara betul-betul terlaksana
secara meritokratik, UU tersebut memperkenalkan konsep kelembagaan independen sebagai pembantu Presiden untuk
merumuskan kebijakan-kebijakan kepegawaian
negeri yang harus dilaksanakan oleh berbagai instansi pemerintah pusat dan daerah.
Pasal 13 Ayat (3) UU No 43 Tahun 1999 tentang
Perubahan terhadap UU No. 8 Tahun
1974 tentang Pokok Pokok Kepegawaian Negara menetapkan adanya komisi independen tersebut yaitu Komisi kepegawai Negara
yang terdiri atas 5 anggota yang mewakili stakeholder
penting yang belum dibentuk oleh Pemerintah. Bentuk lembaga independen seperti ini makin banyak digunakan di
berbagai negara karena dipandang sebagai
bentuk kelembagaan yang lebih cocok untuk mewadahi proses perumusan kebijakan yang lebih demokratis. Di banyak negara
maju, independent civil service commission, yang
terdiri 3 sampai 21 anggota telah digunakan karena dipandang lebih mampu menjamin proses perumusan kebijakan
kepegawaian meritokratik. Sebagai
salah seorang penyusun yang terlibat langsung dalam penyusunan UU No. 43 tahun 1999, saya dapat bercerita sedikit
tentang kerangka pemikiran yang mendasari
pengusulan Komisi Kepegawaian tersebut. Sekitar tahun 1998-99 para perumus memperkirakan setelah Pemilu 1999 akan
terjadi perubahan yang cukup mendasar
dalam sistem pemerintahan dan kepegawaian Indonesia. Jumlah partai yang ikut dalam Pemilu meningkat secara drastic dan
mencapai lebih dari 100 partai, system pemerintahan
akan mengalami perubahan yang sangat fundamental, dari system dominasi satu partai yang relatif stabil menjadi
sistem multi-partai yang relatif kurang stabil.
Seiiring dengan perubahan sistem pemerintahan, pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999 telah menyebabkan perubahan yang sangat
mendasar pada hubungan pusat dan
daerah. Kedua perubahan mendasar ini memerlukan sistem
kepegawaian yang lebih terstandardisasi,
lebih berorientasi stratejik serta lebih desentralistis dalam implementasinya. Agar dapat melaksanakan fungsi
dan tugas yang baru ini sebagian besar
beban operasional kepegawaian harus didelegasikan kepada instansi operasional, baik departemen, lembaga non departemen mau pun
pemeriantah daerah. Otoritas kepegawaian
nasional seharusnya lebih memusatkan pada perumusan standar dan norma kepegawaian nasional, mengawasi pelaksanaan
dari norma dan standar nasional kepegawaian,
termasuk menyusun kebijakan penggajian, kesejahteraan dan evaluasi kinerja PNS. Singkatnya, otoritas kepegawaian akan
lebih bersifat regulating daripada implementing. Otoritas kepegawaian untuk melaksanakan fungsi dan
tugas regulasi tersebut tidak
akan berjalan baik dalam wadah lembaga pemerintah non departemen (LPND) yang konvensional, yang dipimpin oleh seorang
kepala seperti yang kita kenal. Pada suatu
sistem pemerintahan yang demokratis, otoritas kepegawaian sebaiknya dilaksanakan oleh LPND yang dipimpin oleh Komisi (Commission).
Dalam text-book administrasi,
struktur seperti itu disebut multi-headed board.
Sebenarnya di dalam sistem pemerintahan Indonesia
bentuk semacam itu sudah mulai
dikenal, misalnya, KPKPN (Komisi Pemeriksaan Kekayaan Pejabat Negara), Komisi HAM, dan KPU (Komisi Pemilihan Umum).
Sekarang sudah saatnya bentuk kelembagaan
yang lebih akomodatif dan regulatif ini dikenalkan pada tatanan birokrasi pemerintah, untuk mengelola fungsi-fungsi regulasi
dalam pemerintahan. Demikianlah lebih
kurang kerangka fikir para perumus pada waktu mengusulkan Komisi Kepegawaian. Di negara lain komisi kepegawaian
mulai mulai lebih disukai daripada badan
kepegawaian. Hampir semua negara Asia sekarang ini menggunakan bentuk komisi atau Civil Service Commission untuk
menjalankan fungsi kepegawaian. Indonesia
termasuk negara yang lamban mengadakan structural adjustment dalam bidang kepegawaian. Kalau Pemerintah Indonesia
dapat menerima usulan dari para peserta Diklatpim-LAN
tentang kelembagaan untuk menjalankan fungsi reformasi administrasi dan kepegawaian, ada dua pertanyaan terkait yang
perlu dicari jawabannya. Yang pertama,
perlukan Komisi independen tersebut dipimpin langsung oleh Presiden? Yang kedua, apakah kementerian merupakan format
organisasi yang tepat untuk menjalankan
fungsi koordinatif reformasi administrasi dan kepegawaian? Menurut penulis, Komisi Kepegawaian atau Civil
Service Commission yang terdiri
dari 5-7 anggota harus diberikan kemandirian yang memadai dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Karena itu komisi tidak perlu
dipimpin langsung oleh Presiden, apalagi
kalau Presiden masih merangkap jabatan ketua partai. Selama otoritas pengangkatan pejabat teras pemerintahan tetap
dipegang oleh presiden, tak perlu khawatir
dengan bentuk komisi independen.
Dengan adanya Komisi Kepegawaian, peranan
Kementerian Pendayagunaan Aparatur
Negara harus diredifinisi dan lebih diarahkan pada koordinasi perumusan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan good governance.
Saat ini kebijakan good governance yang
dijalankan oleh Pemerintah mencakup beberapa bidang pokok antara penataan sistem pemerintahan, desentralisasi pemerintahan
atau otonomi daerah, penataan sistem
keuangan negara, serta penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.
Pemberantasan KKN
Pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme adalah
bagian terpenting reformasi
tata pemrintahan yang telah dilakukan oleh Pemerintah. Mulai terbukanya berbagai skandal korupsi yang menyangkut bank-bank
pemerintah, komisi-komisi independen,
lembaga eksekutif, lembaga legislatif, komisi independen dan lembaga judikatif mungkin dapat menjadi penunjuk betapa
serius pemerintah berusaha memberantas
korupsi yang telah sangat mencemarkan nama bangsa ini dilingkungan masyarakat internasional. Namun, walaupun kerangka dan strategi
pemberantasan korupsi yang cukup komprensif
telah tersusun, mulai dari reformasi hukum, pembentukan jaringan pengawasan masyarakat (community corruption
watch), dan pembentukan Komisi Pemberantasan
Korupsi dan berbagai lembaga penyelidikan tindak korupsi, harus difahami bahwa kemajuan yang cukup berarti dalam
upaya pemberantasan tindak korupsi
perlu waktu. Karena itu upaya pemberantasan korupsi di Indonesia haruslah lebih diarahkan pada penataan sistem hukum, sistem
ekonomi, sistem pemerintahan dan
sistem administrasi yang tidak memungkinkan terjadinya praktek korupsi.
Gerakan pemberantan KKN yang dilaksanakan oleh
Pemerintah pada tahun pertama
ini memang mampu untuk menimbulkan kembali harapan masyarakat yang sebelumnya hampir padam. Namun sayangnya
gebrakan-gebrakan pemberantasan korupsi
yang dilakukan pemerintah baru mampu mengungkapkan kasus-kasus yang relatif kecil dan bahkan dapat dipandang sebagai
kasus “membakar rumah untuk menangkap
tikus”, seperti yang terjadi pada kasus KPU, penangkapan para anggota DPRD Propinsi Sumatera Barat, Gubernur suatu
propinsi di Sumatra, beberapa unsure pimpinan
bank BUMN, dan kasus DAU. Memang semua pelaku penyimpangan tersebut perlu ditindak, tetapi seharusnya
pemerintah seharusnya lebih mempriritaskan
penindakan terhadap para koruptor kelas kakap yang telah merugikan negara puluhan dan ratusan trilyun, yang hingga
saat ini masih bebas berkeliaran. Yang
lebih penting yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan penataan sistem yang betul-betul mampu menghambat
praktek korupsi.
Langkah maju reformasi birokrasi
Reformasi aparatur negara adalah prasyarat mutlak
yang diperlukan untuk menjamin
berlangsungnya pengelolaan pemerintahan yang demokratis serta system ekonomi yang dapat menciptakan keadilan sosial
bagi semua. Sayangnya model yang berhasil
diterapkan suatu negara tidak dapat diterapkan begitu saja di Indonesia, karena belum tentu model yang cocok untuk suatu bangsa
juga akan cocok untuk Indonesia. Karena
itu Indonesia harus berani mencari sistem pemerintahan dan system ekonomi yang sosio-demokratis yang dianggap paling
sesuai dengan budaya bangsanya.
Para pendiri negara menganggap corak bangsa Indonesia -- gotong royong atau kekeluargaan – seharusnhya merupakan landasan
dasar dalam pemikiran tentang kedua
sistem tersebut.
Sayangnya, strategi dan kebijakan penataan
kelembagaan yang ditempuh oleh Pemerintah
selama ini, terutama selama 1 tahun Pemerintahan KIB belum menjadikan budaya bangsa tersebut sebagai landasan dalam
reformasi kelembagaan. Akibatnya, reformasi
kelembagaan yang telah dilakukan bukannya menciptakan landasan kelembagaan yang semakin mantap dan semkian
adekuat untuk melaksanakan pemerintahan
buat mencapai cita-cita bangsa. Bahkan sebaliknya, komplikasi baru timbul yaitu ancama entrofi pemerntahan nampak
semakin nyata dan semakin mengancam
kelangsungan pemerintahan KIB. Sebagai
bagian integral dari reformasi aparatur negara, perlu dilakukan overhaul besar-besar pada birokrasi pemerintah, yang
mencakup penerapan model manajemen baru,
sistem kepegawaian baru termasuk penerapan sistem penggajian dan jaminan sosial yang lebih rasional, serta penerapan
aplikasi tekonologi informasi modern dalam
manajemen pemerintahan. Tanpa reformasi yang komprehensif tersebut, sukar mengharapkan akan terjadi peningkatan kinerja
birokrasi secara mendasar.
Yogyakarta, 2 Mei 2006
No comments:
Post a Comment