Pelayanan publik atau pelayanan
umum dapat didefinisikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam
bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung
jawab dan dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di
lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka
upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan organisasi yang
menyelenggarakannya, pelayanan publik atau pelayanan umum dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu:
(1)
Pelayanan publik atau pelayanan umum yang
diselenggarakan oleh organisasi privat, adalah semua penyediaan barang atau
jasa publik yang diselenggarakan oleh swasta, seperti misalnya rumah sakit
swasta, PTS, perusahaan pengangkutan milik swasta.
(2)
Pelayanan publik atau pelayanan umum yang
diselenggarakan oleh organisasi publik. Yang dapat dibedakan lagi
menjadi :
(a)
Yang bersifat primer dan,adalah semua penye¬diaan
barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah yang di dalamnya
pemerintah merupakan satu-satunya penyelenggara dan pengguna/klien mau tidak
mau harus memanfaatkannya. Misalnya adalah pelayanan di kantor imigrasi,
pelayanan penjara dan pelayanan perizinan.
(b)
Yang bersifat sekunder, adalah segala bentuk
penyediaan barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah, tetapi yang
di dalamnya pengguna/klien tidak harus mempergunakannya karena adanya beberapa
penyelenggara pelayanan.
Sesuai dengan amanat
UUD 1945 pasal 34 ayat 3, negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas
kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak atau biasa disebut kewajiban
pelayanan umum (public service obligation/PSO). Untuk ini pemerintah dapat
melibatkan seluruh pihak termasuk BUMN dan swasta.
Awalnya instansi
pemerintah menjalankan beberapa peran sekaligus seperti pengembangan kebijakan,
implementasi regulasi, hingga penyediaan jasa tertentu yang terkait dengan
kebijakan.
Perangkapan peran ini
pada prosesnya mengalami tuntutan pemisahan secara formal yakni sebagai
regulator yang independen dan sebagai penyedia jasa yang efisien. Pada kasus
ini pemerintah bertindak sebagai pembeli (purchaser), sedangkan BUMN atau
swasta sebagai penyedia (provider) jasa (purchaser-provider model).
Sejauh ini PSO hanya
ditugaskan ke BUMN sebagai provider. Karena pertimbangan bisnis, swasta masih
enggan terlibat. Kecilnya keterlibatan swasta dapat disebabkan dari dua sisi
yaitu permintaan dan penawaran.
Dari sisi permintaan,
rendahnya daya beli masyarakat menyebabkan kecilnya jumlah permintaan. Hal ini
tidak cukup memberikan insentif bagi swasta untuk masuk ke pasar tersebut.
Sedangkan dari sisi penawaran, tingginya capital requirement, karakter industri
yang tidak menguntungkan, hingga tingginya risiko bisnis bisa jadi entry
barriers yang menyebabkan enggannya swasta untuk masuk. Upaya komersialisasi
atau bahkan swastanisasi bisa dijadikan sebuah alternatif solusi.
Untuk meringankan beban
masyarakat, pemerintah mengeluarkan kebijakan subsidi. Setiap tahun pemerintah
menanggung beban subsidi yang cenderung meningkat. Apalagi semenjak krisis
ekonomi tahun 1997. Dalam APBN tahun 2007, pemerintah mengalokasikan dana untuk
subsidi sebesar Rp 103,9 trilyun termasuk bantuan pemerintah kepada BUMN atau
swasta dalam usaha peningkatan pelayanan umum (PSO). Secara umum subsidi dalam
APBN 2007 dapat dikelompokkan dalam 2 kelompok besar yaitu jenis subsidi yaitu
(i) Subsidi Energi dan (ii) Subsidi non BBM. Subsidi Energi ditujukan untuk
menstabilkan harga BBM. Sedangkan subsidi non BBM terdiri atas subsidi listrik,
subsidi pangan (Raskin); subsidi pupuk; subsidi benih; subsidi kredit program
dan subsidi Public Service Obligation (PSO).
Salah satu subsidi yang cenderung meningkat setiap tahunnya adalah subsidi/bantuan dalam rangka penugasan (Public Services Obligation, PSO). PSO adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh negara akibat disparitas/perbedaan harga pokok penjualan BUMN/swasta dengan harga atas produk/jasa tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah agar pelayanan produk/jasa tetap terjamin dan terjangkau oleh sebagian besar masyarakat (publik).
Salah satu subsidi yang cenderung meningkat setiap tahunnya adalah subsidi/bantuan dalam rangka penugasan (Public Services Obligation, PSO). PSO adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh negara akibat disparitas/perbedaan harga pokok penjualan BUMN/swasta dengan harga atas produk/jasa tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah agar pelayanan produk/jasa tetap terjamin dan terjangkau oleh sebagian besar masyarakat (publik).
Ada perbedaan
pengertian antara PSO dan subsidi. Walaupun PSO yang kita kenal dalam APBN
merupakan bagian dari belanja subsidi. Subsidi adalah biaya yang harus
dikeluarkan oleh negara akibat disparitas/perbedaan harga pasar dengan harga
atas produk/jasa tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat miskin.
Dasar hukum PSO adalah
Undang-Undang RI No 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara Pasal 66
ayat 1. Menurut UU No. 19 Tahun 2003 tersebut, pemerintah dapat memberikan
penugasan khusus kepada BUMN untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum
dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan kegiatan BUMN. Apabila penugasan
tersebut menurut kajian secara finansial tidak visibel, pemerintah harus
memberikan kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan oleh BUMN
tersebut termasuk margin yang diharapkan. Dalam hal ini, terdapat intervensi politik
dalam penetapan harga.
Pemberian subsidi dalam
rangka penugasan pelayanan umum yang sesuai dengan UU BUMN baru diberikan sejak
tahun 2004. Adapun BUMN yang diberikan tugas PSO adalah BUMN-BUMN yang bergerak
di bidang transportasi dan komunikasi, seperti PT Kereta Api (Persero) untuk
tugas layanan jasa angkutan kereta api kelas ekonomi, PT Pos Indonesia
(Persero) untuk tugas layanan jasa pos pada kantor cabang luar kota dan daerah
terpencil, PT Pelayaran Nasional Indonesia (Persero) untuk tugas layanan jasa
angkutan laut kelas ekonomi, dan PT TVRI (Persero) antara lain untuk program
penyiaran publik.
Public Service Obligation (PSO) dan subsidi memiliki
arti penting dalam perekonomian nasional. Dalam Tahun Anggaran 2006, sekitar Rp
100,0 triliun atau sekitar 20% dari APBN digunakan untuk membiayai kegiatan
PSO dan penyaluran subsidi. Pelaksanaan kedua instrumen ini menjadi strategis
karena dapat digunakan sebagai alat pemerataan pendapatan, disamping sebagai
alat untuk memacu pertumbuhan ekonomi, khususnya pertumbuhan dunia usaha, yang
pada gilirannya juga berarti menciptakan stabilitas ekonomi dan sosial.
Beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sejak lama
telah melaksanakan PSO dan atau telah menerima subsidi dalam memenuhi pelayanan
dasar. Namun demikian, sistem dan prosedur pengelolaan PSO dan Subsidi masih
belum memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Fungsi dari PSO dan subsidi tentunya baru akan dapat
diwujudkan apabila lembaga pelaksana atau operator berada dalam keadaan sehat.
Untuk memelihara keseimbangan kedua kepentingan ini, yaitu tercapainya sasaran
PSO dan subsidi di satu pihak dan kesinambungan usaha BUMN di lain pihak, maka
UU Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN telah menegaskan bahwa “Pemerintah
dapat memberi penugasan khusus kepada BUMN untuk menyelenggarakan fungsi
kemanfaatan umum dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan kegiatan BUMN”.
Penugasan khusus adalah penugasan untuk melaksanakan
kegiatan-kegiatan tertentu yang ditugaskan saja. Misalnya PT. PELNI ditugaskan
juga untuk melayari Pulau Miangas di daerah perbatasan dengan Filipina, yang
secara ekonomis tidak menguntungkan bagi PT. PELNI, tetapi secara politis
dan geografis sangat berguna bagi bangsa dan negara. PT. Posindo dahulu
ditugaskan untuk membuka kantor atau loket pelayanan di wilayah terpencil
seperti di daerah transmigrasi yang baru dibuka guna melayani keperluan komunikasi
dan logistik masyarakat. Jadi tidak semua kegiatan BUMN tersebut merupakan
penugasan Pemerintah. Sedangkan kalimat “dengan tetap memperhatikan maksud dan
tujuan kegiatan BUMN” berarti penugasan tersebut harus memperhatikan tujuan
BUMN yang ditugaskan oleh pemerintah untuk menciptakan laba dan selanjutnya
menyetor pajak dan dividen ke negara.
Hal ini dipertegas lagi dalam penjelasan Pasal 66 UU
Nomor 19 tahun 2003 yang menyatakan bahwa apabila penugasan tersebut
menurut kajian secara finansial tidak visibel, pemerintah harus memberikan
kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan oleh BUMN tersebut termasuk
margin yang diharapkan.
Tujuan utama PSO adalah
menjembatani pelayanan publik. Yaitu menyediakan kebutuhan masyarakat dengan
biaya yang mudah dijangkau yang berupa infrastruktur seperti penyediaan
ketenagalistrikan, beras sebagai bahan pokok makanan, sarana transportasi,
sarana informasi dan komunikasi dan sebagainya. Dan seperti yang telah
dijelaskan diatas, semua tugas tersebut diemban oleh BUMN-BUMN di Indonesia.
BUMN-BUMN INFRASTRUKTUR INDONESIA
BUMN
menjalankan tugas pokoknya dalam melayani kebutuhan masyarakat umum, yaitu
memenuhi kebutuhan barang dan jasa. Tugas yang sama juga dilaksanakan oleh BUMN
yang membidangi infrastruktur seperti Perusahaan Listrik Negara (PT. PLN),
Perusahaan Kereta Api Indonesia (PT. KAI), Angkasa Pura (PT. AP),
PelabuhanIndonesia (PT. Pelindo), Perusahaan Gas Negara (PT. PGN), Perusahaan
Pelayaran Nasional Indonesia (PT. PELNI), Perusahan Pos Indonesia (PT.
POSINDO), dan Perusahaan Umum Perumahan Nasional (Perum PERUMNAS), yang
diharuskan oleh pemerintah untuk menyediakan pelayanan publik dengan tarif yang
biasanya tidak mencukupi biaya yang dikeluarkan.
Salah
satu infrastruktur vital yang ketersediannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat
adalah penyediaan jasa listrik. Sektor
ketenagalistrikan, dianggap sebagai sektor yang sarat dengan kepentingan
publik. Tetapi, jika dikembalikan dalam konteks kebutuhan pembangunan
infrastruktur yang membutuhkan dana sangat besar, dan pemerintah tidak mampu
sepenuhnya memenuhi pendanaan tersebut, maka keterlibatan swasta menjadi
penting. Perlu ditekankan di sini, keterlibatan swasta tidak bisa serta merta
membuat sektor ketenagalistrikan menjadi efisien. Itu sebabnya, di banyak
negara, tetap ada fungsi kontrol dari pemerintah baik secara langsung ataupun
melalui perusahaan BUMN yang tetap diberikan porsi lebih besar dari swasta.
Namun keterlibatan pihak swasta untuk membangun infrastruktur kelistrikan
sebuah negara, terutama pada negara-negara berkembang, sering menimbulkan pro
dan kontra. Karena tidak sedikit negara yang tidak berhasil melakukan
privatisasi dan liberalisasi terhadap sektor kelistrikan bahkan negara maju
sekalipun.
Tidak
ada BUMN infrstruktur yang tidak merugi dalam pelaksanaannya. Karena sifat
utama pelayanan publik adalah melayani kebutuhan masyarakat untuk
keberlangsungan hidupnya sehinggan tidak mungkin bagi BUMN untuk meraup
keuntungan. Namun hal ini sungguh menjadi polemik karena utang negara menjadi
semakin menumpuk atas pembiayaan pelayanan publik yang setiap tahunnya semakin
merugi. Karena sumber pembiayaan pelayanan publik berasala dari APBN yang
diharapkan hasil dari penyediaan layanan publik tersebut dapat memberikn
kontribusi terhadap APBN yang ternyata tidak sama sekali, justru malah menambah
utanga negara yang berakibat pada resiko fiskal.
KEBIJAKAN PUBLIC SERVICE OBLIGATION
Kerangka Hukum PSO
Landasan
konsititusional pemerintah untuk memberikan subsidi bagi penyediaan pelayanan
dasar berasal dari UUD 1945 (sesuai perubahan), yang menyatakan bahwa:
1. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara (Pasal 33);
2. Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak (Pasal 34).
Pasal-pasal di atas lebih jauh dijabarkan dalam berbagai undang-undang dan
peraturan-peraturan dibawahnya, yang memberikan petunjuk lebih khusus mengenai
peranan pemerintah dalam mendukung penyediaan pelayanan infrastruktur dasar. Namun
sampai saat ini, belum ada satupun undang-undang sektor yang secara jelas
menetapkankebijakan-kebijakan menyangkut subsidi-subsidi pelayanan. Beberapa
inisiatif awal penerapan subsidi output dilakukan pada sektor
transportasi.Salah satu contoh penting adalah skema PSO yang dikembangkan pada
pertengahantahun 90-an untuk memberikan kompensasi kepada Perumka (sekarang PT.
KAI) dalam melayani penumpang kelas ekonomi pada tarif yang sangat rendah.
Pada tahun 2001, sebuah skema PSO dikembangkan untuk
sektor kelistrikan melalui PT. PLN diberikan kompensasi atas kerugian akibat
penyediaan listrik bagi para pelanggan kecil dengan tarif yang rendah.
Namun sayangnya, tidak satupun dari kedua skema PSO
tersebut di atas benar-benar dilaksanakan sebagaimana mestinya, hal ini karena
peraturan tersebut tidak dilengkapi dengan petunjuk pelaksanaan. Kebutuhan akan
kerangka hukum tersebut kemudian dilengkapi dengan dikeluarkannya UU BUMN.
Pasal 66 dari UU tersebut menyatakan bahwa dengan persetujuan para pemegang
saham/Menteri Negara BUMN, pemerintah dapat mewajibkan sebuah BUMN untuk
melaksanakan tugas khusus untuk kepentingan masyarakat. Penjelasan dari UU
menyebutkan bahwa pemerintah berkewajiban menyediakan kompensasi bagi semua
biaya yang ditimbulkan ditambah dengan margin jika penugasan tersebut
tidak layak secara finansial. Ketentuan ini lebih jauh dijabarkan dalam
Peraturan Pemerintah nomor 45 tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan,
Pengawasan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara pada pasal 65 yang menyatakan
bahwa:
1.
Skema PSO untuk
sektor Perkeretaapian ditetapkan dengan keputusan bersama Depkeu, Bappenas, dan
Dephub, yang juga mengatur kompensasi pemerintah bagi biaya pemeliharaan
dan pengoperasian infrastruktur (IMO) yangdikeluarkan oleh Perumka/PT. KAI,
serta juga mengatur tentang biaya yang harus dibayarkan kepada pemerintah
ataspenggunaan rel kereta (TAC).
2.
Skema PSO yang
ditargetkan berlaku bagi para pelanggan yang menggunakan kapasitas sambungan
450VA dandengan konsumsi bulanan sampai dengan 60 kWh.
3.
Rencana untuk
penugasan PSO yang diajukan haruslah ditinjaubersama oleh BUMN yang
bersangkutan, Menteri Negara BUMN, Menteri Keuangan, dan Menteri Teknis yang
memberikan penugasan tersebut;
4.
Setiap penugasan
PSO haruslah mendapatkan persetujuan dari Rapat Umum Pemegang Saham untuk
Persero, atau dari Meneg BUMN untuk Perum;
5.
BUMN yang
melaksanakan penugasan PSO dari pemerintah harus secara tegas melakukan
pemisahan pembukuan antara kegiatan PSO dan kegiatan non-PSO;
6.
Direksi BUMN
yang melaksanakan penugasan PSO wajib memberikan laporan kepada Rapat Umum
Pemegang Saham /Meneg BUMN dan kepada Menteri Teknis.
Penugasan pada BUMN harus mempertimbangkan dua aspek
penting, yaitu aspek kepedulian (going concern) terhadap perusahaan dan
aspek tercapainya sasaran PSO. Untuk mengetahui mengenai sejauh mana pencapaian
sasaran keberhasilan PSO, dapat dilakukan melalui monitoring pelaksanaan
prinsip 5 tepat, yaitu tepat waktu, sasaran, kualitas, kuantitas dan harga dari
PSO dan Subsidi tersebut. Sementara untuk mengetahui aspek going
concern dapat dilakukan melalui monitoring terhadap perkembangan
indikator-indikator korporasi yang lazim. Apabila ketentuan
perundang-undangan tentang PSO dan Subsidi benar-benar dapat dijalankan tentu
kondisi BUMN akan menjadi lain, dan tidak lagi seperti sekarang ini yang sering
dituding sebagai unit bisnis murni yang hanya merugi karena mismanagement dan unconfrontable factors. Jika penyebabnya adalah mismanagement maka
sanksi kepadamanajemen akan dapat diterapkan sesuai dengan kontrak (Statement
of Corporate Intent- SCI) yang telah disepakati. Kebijakan PSO tidak
menghapuskan bentuk-bentuk dukungan lain kepada BUMN, dan yang terpenting
adalah bahwa pemerintah terus memberikan modal ke dalam badan usaha yang
kegiatan operasinya dianggap vital, yang tidak mampu atau tidak mau melakukan
investasi modal yang sesungguhnya dianggap pemerintah sebagai investasi yang
penting.
Penjelasan terhadap Peraturan Pemerintah no 45/2005
memperkenalkan istilah dalam bahasa Inggris ‘Public Service Obligation’ untuk
menggambarkan tentang penugasan kepada sebuah BUMN untuk melakukan sebuah
‘fungsi kepentingan publik’ yang meliputi penyediaan ‘barang-barang dan
jasa-jasa tertentu yang sangat diperlukan oleh masyarakat’.
Penyertaan Modal Negara (PMN), istilah awalnya adalah
Penyertaan Modal Pemerintah (PMP), masih tetap digunakan. Salah satu bentuk
dari investasi pemerintah tersebut adalah penyediaan listrik di perdesaan, yang
masih tetap merupakan investasi yang tidak menarik secara komersil bagi PLN
meskipun dengan adanya skema PSO yang sekarang.
LANGKAH
PEMERINTAH MENANGGULANGI KERUGIAN PSO PT. PLN
PLN,
sebagai salah satu BUMN infrastruktur pelayanan publik
yang mengalami kerugian paling besar, akhir-akhir ini
beberapa kota di Indonesia mengalami pemadaman listrik secara bergilir dari PT
PLN. Pihak PLN menyatakan bahwa pemadaman tersebut harus dilakukan karena daya
listrik tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Hal ini disebabkan antara lain
karena adanya kerusakan pada gardu induk dan tidak beroperasinya beberapa pembangkit
karena sedang dalam perbaikan.
Pemadaman ini
mengakibatkan banyak keluhan dan kerugian dari masyarakat. Walaupun pihak PLN
berencana memberikan diskon sebesar 10% untuk tagihan bulan selanjutnya
beberapa pihak menyatakan bahwa kompensasi tersebut sangat kecil dibandingkan
kerugian yang diakibatkan karena pemadaman tersebut.
Keadaan tersebut
membuat kita semakin prihatin akan ketersediaan tenaga listrik di Indonesia.
Sebagai BUMN yang ditunjuk untuk melaksanakan bidang usaha ketenagalistrikan
seharusnya PLN bisa mengantisipasi hal-hal yang bisa mengakibatkan berkurangnya
pasokan listrik untuk masyarakat.
PLN harus bisa
mengambil langkah-langkah strategis dengan memanfaatkan sumber daya yang ada
dengan optimal. Sebagai contoh pada semester I tahun 2009 PLN mencatat laba
yang cukup besar. Berdasarkan laporan keuangan yang telah diaudit oleh Kantor
Akuntan Publik PLN membukukan laba bersih sebesar Rp 6,2 triliun. Laba ini
diperoleh karena keberhasilan PLN melakukan berbagai efisiensi. Terutama dalam
penekanan biaya bahan bakar minyak yang menyumbang 55% dari total pengeluaran.
Pencapaian ini
merupakan prestasi tersendiri mengingat dalam beberapa tahun terakhir PLN
selalu mengalami kerugian sehingga membuat kekayaan perusahaan mengalami
defisit. Seperti diketahui kerugian yang dialami PLN dalam beberapa tahun
terakhir membuat beban subsidi Pemerintah dalam skema Public Service Obligation
(PSO) yang dimulai dari tahun 2006 meningkat secara signifikan yaitu dari Rp
33,9 triliun menjadi Rp 83,9 triliun pada tahun 2008.
PLN memperkirakan
besaran subsidi listrik untuk tahun 2009 akan mencapai Rp 51,9 triliun.
Perkiraan ini didasarkan pada asumsi harga minyak mentah US$80/bbl, kurs 1$ =
9.400 dan tidak ada kenaikan tarif. Dari perkiraan tersebut Pemerintah menetapkan
besaran subsidi dalam APBN P tahun 2009 yaitu sebesar Rp 47,5 triliun.
Dengan besarnya
subsidi yang diberikan kepada PLN kita berharap PLN mampu memberikan pelayanan
dengan lebih baik dan terus meningkatkan kinerja dan investasi guna mengatasi
kekurangan pasokan listrik nasional.
Selain dengan
mendorong kinerja dan meningkatkan efisiensi dari PLN harapan akan ketersediaan
energi ini juga didukung oleh faktor eksternal yang sangat mendukung. Faktor
eksternal tersebut adalah persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Pemerintah
untuk memberikan tambahan margin PSO sebesar 5% kepada PLN. Penambahan margin
tersebut diharapkan akan meningkatkan cash flows PLN.
Peningkatan cash
flows tersebut akan berakibat kepada meningkatnya likuiditas PLN sehingga
laporan keuangannya semakin baik. Membaiknya laporan keuangan PLN akan
berakibat pada meningkatnya kemampuan PLN untuk melakukan investasi baik secara
langsung maupun melalui pinjaman jangka panjang. Selain itu rencana Pemerintah
untuk menaikan Tarif Dasar Listrik di tahun 2010 juga semakin meningkatkan
potensi PLN untuk berinvestasi.
Faktor lain yang
sangat membantu PLN untuk menambah kapasitas listrik nasional sekaligus
meningkatkan efisiensi adalah mulai beroperasinya sebagian pembangkit listrik
berbahan bakar batu bara dari Proyek 10.000 MW Tahap I pada pertengahan tahun
2010. Beroperasinya pembangkit berbahan batubara tersebut akan mengurangi beban
pemakaian Bahan Bakar Minyak (BBM) yang membebani subsidi.
Pengurangan
pemakaian BBM ini akan mengakibatkan turunnya biaya pokok pembangkitan tenaga
listrik sehingga keuntungan PLN semakin besar. Selain itu penurunan konsumsi
BBM tersebut juga berpengaruh terhadap besaran subsidi listrik Pemerintah.
Penurunan beban subsidi listrik tersebut akan meringankan beban APBN sehingga
dapat digunakan untuk kebutuhan lainnya. Bila kinerja PLN terus mengalami
peningkatan bukan tidak mungkin subsidi listrik akan semakin berkurang atau
bahkan dihapus pada tahun-tahun mendatang.
Dengan semakin
membaiknya kinerja PLN kita berharap segera terwujud ketahanan energi nasional
di masa yang akan datang melalui investasi yang menyeluruh dan terencana.
Langkah-langkah yang sudah dilakukan Pemerintah dalam mewujudkan ketahanan
energi nasional antara lain memberikan Jaminan Pemerintah kepada Investor untuk
membiayai pembangunan pembangkit tenaga listrik berbahan bakar batu bara
beserta transmisinya dalam Proyek 10.000 MW Tahap I.
Proyek tersebut akan
dilanjutkan dengan Proyek 10.000 MW Tahap II yang lebih banyak berlokasi di
luar Pulau Jawa. Jika proyek ini berjalan dengan baik PLN akan mempunyai
tambahan kapasitas sebanyak 20.000 MW.
Selain kedua proyek
itu Pemerintah juga sedang melakukan kajian dalam rangka mendukung dan
meningkatkan investasi di bidang energi tarbarukan seperti proyek listrik
geothermal. Apabila proyek-proyek tersebut berjalan dengan lancar diharapkan
ketahanan energi nasional sebagaimana tertuang dalam Rencana Usaha Penyediaan
Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN dalam Visi 75-100 yaitu tercapainya rasio
elektrifikasi sebesar 100% di seluruh Indonesia sebelum Hari Ulang Tahun
Kemerdekaan RI yang ke-75 di tahun 2020 dapat terwujud.
Melihat beberapa
faktor di atas masyarakat berharap Pemerintah melalui PLN bisa mengatasi
masalah kelangkaan energi nasional sehingga masalah pemadaman listrik tidak
akan terjadi lagi. Selain program-program yang telah dan akan dilaksanakan oleh
Pemerintah tantangan dari internal PLN untuk terus meningkatkan efisiensi dan
efektifitas proses produksi harus terus dilakukan.
Untuk saat ini PLN
harus mampu berubah dan bekerja lebih keras sehingga pemadaman listrik bisa
dikurangi seminimal mungkin. PLN harus bisa menunjukkan kepada masyarakat bahwa
kepercayaan yang diberikan bisa dipertanggungjawabkan dengan baik jika tidak
ingin disebut sebagai Perusahaan Lilin Negara. Terlepas dari semua risiko dan
tantangan yang ada kita semua berharap bahwa bangsa ini bisa mewujudkan
kemandirian energi sehingga pembangunan bisa terus berjalan dengan baik.
SUMBER :
Ircham (2010). Potret dan Potensi Energi Nasional.
http://sr33ircham.wordpress.com/2010/07/30/potret-dan-potensi-energi-nasional/, 5 Desember 2011
http://www.scribd.com/doc/2441210/Dengan-PSO-menjembatani-kesenjangan-infrastruktur, 4 Desember 2011
http://www.anggaran.depkeu.go.id/web-content-list.asp?ContentId=193,
3 Desember 2011
http://id.wikipedia.org/wiki/Pelayanan_publik,
3 Desember 2011