Tak
ada kebahagiaan yang melebihi
kebahagiaan karena berprestasi melalui kerja keras kreatif dab dihargai
secara layak karena prestasi yang dicapai berbuahmanis untukdiri sendiridan
perkembangankemanusiaan serta kebahagiaan manusia. Dunia yang tak sepenuhnya
senyap dari teriakan deritaumat manusia yangh kian harikian meninggi. Masalah
demimasalah datang menghampiri, membuat manusiaterus menerus membuat pilihan
sepanjang masa untuk bertahan hidup. Penyair Jerman Johann Wolfgang von Goethe
pun bergerak untukmengungkai kalimat: Wir tasten ewig an problemen, “tak
henti-hentinya kita dihumbalang persoalan”
Sejarah
mencatat: ada yang runtuh dan ada pula yang berdiri di atas puing-puing
keruntuhan. Ada yang tumbang dan ada yang tetap berdiri tegak kendati diterpa
badai kehidupan. Begitu pula siklus peradaban manusia seperti yang pernah
didedahkan oleh Arnold Joseph Toynbee; peradaban lahir,tumbuh dewasa dan runtuh
yang kemudian berlanjut pada siklus kelahiran kembali,menggantikan peradaban
yang sebelumnya pernah ada.
Toynbee
membagi tahap munculnya peradaban dalam tiga periode utama, yaitu lahir,
tumbuh, dan runtuh. Ia memberikan perhatian khusus kepada periode keruntuhan
sebuah peradaban. Menurut Toynbee peradaban bermula ketika manusia mampu
menjawab tantangan lingkungan fisik yang keras dan berhasilmenjawab tantangan
lingkungan sosial. Toynbee juga mengajukan faktor adanya minoritas kreatif yang
menetukan nasib peradaban itu sendiri. Minoritas kreatif ialah sekelompok
manusia atau bahkan individu yang memiliki self-determining factor (kemampuan
untukmemilih apa yanghendak dilakukan serta tepat dengan semangat yang kuat).
Apabila
minoritas kreatif menjadi lemah dan kehilangan daya cipta, maka tantangan alam
dan lingkungan sosial tidak dapat dijawab lagi. Minoritas menyerah, miundur dan
pertumbuhan tidak terdapat lagi. Apabila keadaan sudah menuncak seperti
itu,maka keruntuhan mulai tampak. Toynbee membagi zaman keruntuhan itu menjadi
tiga tahap; pertama,kemerosotan kebudayaan,era di mana nimoritas kreatif
kehilangan daya mencipta serta kehilangan kewibawaannya sehingga mayoritas
tidaklagi bersedia mengikuti minoritas. Kedua, kehancuran kebudayaan. Pada masa
ini baik minoritas maupun mayoritas tidakl agi tumbuh berkembang. Ketiga, tahap
lenyapnya kebudayaan yang terjadi apabila tubuh kebudayaan sudah membatu itu
hancur lebur dan lenyap. Toynbee menyatakan bahwa kehancuran kebudayaan dapat
ditahan atas usaha jiwa-jiwa besar yang bertindak seolah-olah sebagai Al Mahdi.
Lantas
apa relevansi konsep minoritas kreatif yang pernah dikemukakan oleh Toynbee
dalam konteks sejarah kepemimpinan Indonesia?
Bangsa
ini memiliki beberapa tokoh yang bisa dikategorikan sebagai minoritas kreatif,
antara lain Soekarno, Hatta, Sutan Sahrir, M. Natsir,dan Tan Malaka. Mereka
mampu merumuskan tantangan zamannya dan hidup pada masa krisis yangt disebabkan
oleh kolonialisme-imperialisme.
Mereka
menjadi saksi dari satu kehidupan masyarakat yangt rasialis, bahkan mereka
sendiri menjadi bagiandari masyarakat yang tertindas secara ekonomi, politik,
dan budaya. Mereka menjadi saksi betapa kaum bumiputera direndahkan melalui
peringatan: Verboden voor inlander en honden, “pribumi dan anjing dilarang
masuk” yang biasanya dipasang di tempat-tempat khusus bangsa Belanda berada.
Dalam
zaman demikianlah para minoritas kreatif lahir dan tergerak untuk
mengorientasikian kehendak sebagai satu bangsa untuk melawan ketidakadilan dan
diskriminasi ras. Indonesia lahir karena melawan ketidakadilan. Kesadaran yang
tumbuhdi benak minoritas kreatif merupakan hasil pergaulan dengan
pemikiran-pemikiran modern seperti Karl Marx, Sarojini Naidu, Sun Yat Sen dan
Mahatma Gandhi mendorong mereka untuk terus berjuang meningkatkan kesadaran
rakyat (mayoritas) tentang arti penghisapan yang diloakukan oleh pemerintah
kolonial Belanda.
Tan
Malaka salah seorang dari minoritas kreatif generasi awal pergerakan kebangsaan
menulis di dalam brosurnya, Naar de Republiek Indonesia bahwa penderitaan
rakyat Indonesia ditimbulkan oleh karena eksploitasi kaum imperialisme dan
kapitalis Belanda.
Ajaran
kepemimpinan memuat gagasan tentang watak atau karakter kepemimpinan yang harus
dimiliki setiap pemimpin, idealnya semua watak tersebut dimiliki oleh setiap
pemimpin. Karena pemimpinan, kata Ki Hajar Dewantara adalah kebijaksanaan.
Selengkapnya sebagai berikut:
1. Watak
Matahari. Pemimpin memberi semangat, kehidupan dan energi.
2. Watak
Bulan. Pemimpin dapat menyenangkan dan memberi terang dalam kegelapan.
3. Watak
Bintang. Pemimpin dapat mencontohkan teladan dan pedoman.
4. Watak
Angin. Pemimpin itu teliti, cermat dan melayani anak buahnya.
5. Watak
Mendung. Pemimpin itu berwibawadan tindakannya bermanfaat.
6. Watak
Api. Pemimpin bertindak adil, berprinsip,tetap tegak tanpa pandang bulu.
7. Watak
Samudera. Pemimpin berpandangan luas, rata, sanggup menerima persoalan dan
tidak boleh membenci.
8. Watak
Bumi. Pemimpin sentosa budinya dan jujur serta memberi anugerah kepada
siapapunyang berjasa.
“Leadership is the
process of directing, influencing, and motivating the task-related activieties
of group members”.
Definisi
kerja itu akan menunjukkan empat implikasi penting, yakni, pertama,
kepemimpinan melibatkan orang lain, pegawai atau pengikut. Karena kesediaan
menerima pengarahan dari pemimpin, maka kepemimpinan menjadi mungkin, tanpa ada
orang yang dipimpin seluruh kualitas kepemimpinan hilang relevansinya.
Kedua,
kepemimpinan melibatkan distribusi kekuasaan yang tak sama antara pemimpin dan
anggota. Namun, tak berarti anggota tak memiliki kekuasan, aktifitas mereka
yang dipimpin pada akhirnya memberi bentuk pada organisasi, tetapi si pemimpin
tetaplahmemilki keuasan berlebih.
Ketiga,
kemampuan memakai beragam bentuk kekuasaan untuk mempengaruhi anggota atau
pengikutnya. Keempat, mengakui kepemimpinan itu adalah persoalan nilai (value).
TENTANG KEPEMIMPINAN
BERBASIS NILAI/ETIKA
Setiap
saat dalam kehidupan kita dihadapkan dengan sejumlah pilihan, dari yang paling
sederhana hingga yang paling kompleks dan sangat fundamental: bagaimana saya
harus hidup dan bertindak? Jadi manusia setiap saat harus menentukan orientasi,
dan etika terutama berkaitan dengan upaya untuk menentukan orientasi hidup
kita “ tujuannya agar kita tidak hiduip
dengan cara ikut-ikutan saja terhadap berbagai pihak yang mau menetapkan
bagaimana kita harus hidup,melainkan agar kita dapat mengerti sendiri mengapa
kita harus bersikap begini atau begitu.
Etika
mau membantu, agar kita lebih mampu untuk mempertanggungjawabkan kehidupan
kita. Kenapa manusia harus bertanggungjawab terhadap pilihannya? Aristoteles
dalam Nicomachean Ethics mengatakan
bahwa “ karena tujuan merupakan objekdari
keinginan dan karena saran untuk mencapai tujuan adalah objek pertimbangan dan
pilihan, tindakan yang berkaitan dengan sarana adalah berdasarkan pilihan dan
merupakan tindakan yang disengaja,.... kita memiliki kekuatan ataui kehendak
untuk bertindak sekaligus untuk tidak bertindak. Jadi kita bertanggungjawab
karena kita memiliki kebebasan, tanpa kebebasan memilih kita tidak perlu
bertanggungjawab terhadap semua pilihan.
Michael
josephson seorang ahli etika menegaskan, “we
don’t learn ethics from people who sermonize or moralize or try to preach to us
about athics; we learn ethics from the people whom we admire and respect, who
have power over us. They are the real teachers of ethics... its important to reinforce ideals, if they’re
sincere. It is very important for leaders and the role models, wether they be
sport figureor politician to make positive statment of ethics, if they’re not
hypocritical.” Pada akhirnya ketika membicarakan
kepemimpinan berbasis nilai mau tak mau etika kepemimpinan Muhammad Rasullullah
harus dikemukakan karena Muhammad menempatkan ajaran etika itu lebih tinggi
dari seluruh ajaran dan sabdanya, karena tugas kenabiannya pada intinya adalah
untuk menyempurnakan akhlak manusia.
Namun,
bagiamana sesungguhnya etika dikaitkan dengan kepemimpinan, etika politik
kepemimpinan melekat kepada keputusannya. Paling tidak ada tiga posisi etika
penting dalam setiap pengambilan keputusan. Pertama adalah etika konsekuensialis etika yang memandang
baik buruknya keputusan berdasrkan kalkulasi manfaat. Apabila sebagian besar
individu menjadi lebih baik ketimbang yang tidak, maka keputusan tersebut
dibenarkan.Kedua adalah etika Deontologis,
etika yang memandang baik buruknya keputusan berdasrkan prinsip-prinsip
moral universal. Apabila satu prinsip mengatakan bahwa berbohong adalah
amoral,maka pemimpin politik misalnya tidak boleh menyembunyikan rahasia negara
meskipun itu dalam rangka memerangi terorisme.
Ketiga
adalah etika Diskursus, etika yang mengukur baik buruk sebuah keputusan apabila
itu telah lolos uji publik melalui diskursus publik yang bebas koersi. Uji
publik koersi inilah yang akan menjadikata kunci sebuah ruang publik
delibertif, atau demokrasi deliberatif.
Kepemimpinan
dalam etika diskursus, tak lagi melihat seorang pemimpin berdasarkan karakter
atau wataknya, akan tetapi melihat pada proses pembuatan keputusan atau
kebijakan yang melibatkan publik tanpa kooptasi atau paksaan dari pihak
manapun. Artinya, semakin diskursif sebuah proses pembuatan kebijakan, yakni
semakin rasional dan terbukia terhadap pengujian publik, semakin meningkat pula
tingkat legitimasinya. Dalam etika diskursus, kemampuan maha tahu seorang
pemimpin tak lagi diperhitungkan, karena betapapun keheren dan sistematis
sebuah kebijakan publik, jika tidak melalui ujian diskursif,ditetapkan secara
sepihak oleh sang pemimpin atau otoritas tertentu, maka kebijakan itu tak
memiliki legitimasi, apalagi bila kebijakan tersebut ternyata salah.
Dari
sejarah kita belajar tentang mereka yang berdiri sebagai pemimpin untuk membawa
kemakmuran rakyatnya dan kelanjutan peradabannya. Dari sejarah pula kita
temukan kisah dari kepemimpinan yang gagal. Tentu bukan itu yang kita inginkan.
Kita menginginkan satu kepemimpinan yang mengangkat harkat derajat manusia ke
derajat yang lebih tinggi, kepemimpinan yang berbasis nilai/etika (values-centered leadership).
Kita
melihat prestasi fenomenal yang disusun oleh para pendiri bangsa Indonesia di
masa lalu, mereka merumuskan visi yangb melampaui zaman. Kebangkitan Nasional,
Sumpah Pemuda, Proklamasi, Bahasa Indonesia, Bangsa Indonesia, Republik
Indonesia, dan Konstitusi Demokratis UUD 1945, semua itu adalah puncak prestasi
yang mewarnai Indonesia hari ini.
Sekali
lagi, hari ini bukanlah akhir dari perjalanan hidupmu menjadi manusia
berpengetahuan, tetapi adalah awal dari pertualangan panjang dengan bekal ilmu
pengetahuan untuk membentuk sejarah hidupmu dan sejarah bangsamu.
KEPEMIMPINAN
DAN ETIKA: IKHTIAR MEMBANGUN PERADABAN INJDONESIA BARU.
Soegeng Sarjadi
(Ketua Dewan
Pendiri Soegeng Sarjadi School of Government)
No comments:
Post a Comment