Multikulturalisme adalah sebuah filosofi terkadang ditafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat modern. Istilah multikultural juga sering digunakan untuk menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam suatu negara.
Multikulturalisme berasal dari dua kata; multi (banyak/beragam) dan cultural (budaya atau kebudayaan), yang secara etimologi berarti keberagaman budaya. Budaya yang mesti dipahami, adalah bukan budaya dalam arti sempit, melainkan mesti dipahami sebagai semua dialektika manusia terhadap kehidupannya. Dialektika ini akan melahirkan banyak wajah, seperti sejarah, pemikiran, budaya verbal, bahasa dan lain-lain.
Kosep tentang mutikulturalisme, sebagaimana konsep ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan yang tidak bebas nilai (value free), tidak luput dari pengayaan maupun penyesuaian ketika dikaji untuk diterapkan. Demikian pula ketika konsep ini masuk ke Indonesia, yang dikenal dengan sosok keberagamannya. Muncul konsep multikulturalisme yang dikaitkan dengan agama, yakni ”multikulturalisme religius” yang menekankan tidak terpisahnya agama dari negara, tidak mentolerir adanya paham, budaya, dan orang-orang yang atheis (Harahap, 2008). Dalam konteks ini, multukulturalisme dipandangnya sebagai pengayaan terhadap konsep kerukunan umat beragama yang dikembangkan secara nasional.
Istilah multikulturalisme sebenarnya belum lama menjadi objek pembicaraan dalam berbagai kalangan, namun dengan cepat berkembang sebagai objek perdebatan yang menarik untuk dikaji dan didiskusikan. Dikatakan menarik karena memperdebatkan keragaman etnis dan budaya, serta penerimaan kaum imigran di suatu negara, pada awalnya hanya dikenal dengan istilah puralisme yang mengacu pada keragaman etnis dan budaya dalam suatu daerah atau negara. Baru pada sekitar pertengahan abad ke-20, mulai berkembang istilah multikulturalisme. Istilah ini, setidaknya memiliki tiga unsur, yaitu: budaya, keragaman budaya dan cara khusus untuk mengantisipasi keanekaragaman budaya tersebut. Secara umum, masyarakat modern terdiri dari berbagai kelompok manusia yang memiliki status budaya dan politik yang sama. Selanjutnya, demi kesetaraan masa kini, pengakuan adanya pluralisme kultural menjadi suatu tuntutan dari konsep keadilan sosial (Okke KS Zaimar, 2007: 6).
Kesadaran akan adanya keberagaman budaya disebut sebagai kehidupan multikultural. Akan tetapi tentu, tidak cukup hanya sampai disitu. Bahwa suatu kemestian agar setiap kesadaran akan adanya keberagaman, mesti ditingkatkan lagi menjadi apresiasi dan dielaborasi secara positif. pemahaman ini yang disebut sebagai multikulturalisme.
Mengutip S. Saptaatmaja dari buku Multiculturalisme Educations: A Teacher Guide To Linking Context, Process And Content karya Hilda Hernandes, bahwa multikulturalisme adalah bertujuan untuk kerjasama, kesederajatan dan mengapresiasi dalam dunia yang kian kompleks dan tidak monokultur lagi.
Lebih jauh, Pasurdi Suparlan memberikan penekanan, bahwa multikulturalisme adalah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individu maupun kebudayaan. Yang menarik disini adalah penggunaan kata ideologi sebagai penggambaran bahwa betapa mendesaknya kehidupan yang menghormati perbedaan, dan memandang setiap keberagaman sebagai suatu kewajaran serta sederajat.
Multikulturalisme adalah sebuah ideologi dan sebuah alat untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan di antara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang multikulturalisme sehingga terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan.
Selanjutnya Suparlan mengutip Fay (1996), Jary dan Jary (1991), Watson (2000) dan Reed (ed. 1997) menyebutkan bahwa multikulturalisme ini akan menjadi acuan utama bagi terwujudnya masyarakat multikultural, karena multikulturalisme sebagai sebuah ideologi akan mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan seperti sebuah mosaik. Dengan demikian, multikulturalisme diperlukan dalam bentuk tata kehidupan masyarakat yang damai dan harmonis meskipun terdiri dari beraneka ragam latar belakang kebudayan.
Multikultural berarti beraneka ragam kebudayaan. Menurut Parsudi Suparlan (2002) akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Dalam konteks pembangunan bangsa, istilah multikultural ini telah membentuk suatu ideologi yang disebut multikulturalisme. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme mau tidak mau akan mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.
Multikulturalisme sebagaimana dijelaskan di atas mempunyai peran yang besar dalam pembangunan bangsa.
Multikulturalisme bertentangan dengan monokulturalisme dan asimilasi yang telah menjadi norma dalam paradigma negara-bangsa (nation-state) sejak awal abad ke-19. Monokulturalisme menghendaki adanya kesatuan budaya secara normatif (istilah 'monokultural' juga dapat digunakan untuk menggambarkan homogenitas yang belum terwujud (pre-existing homogeneity). Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan untuk bersatu antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara mengurangi perbedaan-perbedaan sehingga tercipta sebuah kebudayaan baru.
Multikulturalisme mulai dijadikan kebijakan resmi di negara berbahasa-Inggris (English-speaking countries), yang dimulai di Kanada pada tahun 1971. Kebijakan ini kemudian diadopsi oleh sebagian besar anggota Uni Eropa, sebagai kebijakan resmi, dan sebagai konsensus sosial di antara elit. Namun beberapa tahun belakangan, sejumlah negara Eropa, terutama Belanda dan
Adalah Samuel P. Huntuington (1993) yang “meramalkan” bahwa sebenarnya konflik antar peradaban di masa depan tidak lagi disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, politik dan ideologi, tetapi justru dipicu oleh masalah masalah suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Konflik tersebut menjadi gejala terkuat yang menandai runtuhnya polarisasi ideologi dunia kedalam komunisme dan kapitalisme. Bersamaan dengan runtuhnya struktur politik negara-negara Eropa Timur. Ramalan ini sebenarnya telah didukung oleh peristiwa sejarah yang terjadi pada era 1980-an yaitu terjadinya perang etnik di kawasan Balkan, di Yugoslavia., pasca pemerintahan Josep Broz Tito: Keragaman, yang disatu sisi merupakan kekayaan dan kekuatan, berbalik menjadi sumber perpecahan ketika leadership yang mengikatnya lengser.
Ramalan Huntuington tersebut diperkuat dengan alasannya mengapa di masa depan mendatang akan terjadi benturan antarperadaban. Antara lain adalah:
Pertama, perbedaan antara peradaban tidak hanya riil, tetapi juga mendasar. Kedua, Dunia sekarang semakin menyempiti interaksi antara orang yang berbeda peradaban semakin meningkat. Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan sosial dunia membuat orang ataumasyarakat tercerabut dari identitas lokal mereka yang sudah berakar dalam, diasmping memperlemah negara-negara sebagi sumber identitas mereka. Keempat, timbulnya kesadaran peradaban dimungkinkan karena peran ganda Barat. Disatu sisi barat berada di punjak kekuatan. Di sisi lain mungkin ini akibat dari posisi Barat tersebut, kembalinya fenomena asal , sedang berlangsung diantara peradaban-peradaban Non-Barat. Kelima, karakteristik dan perbedaan budaya kurang bisa menyatu dan karena itu kurang bisa berkompromi dibanding karakteristik dan perbedaan politik dan ekonomi. Dan, keenam regionalisme ekonomi semakin meningkat.
Akan tetapi asumsi tersebut tidak mutlak menjadi sebab utama terjadinya sebuah perpecahan. Misalnya, setelah berakhirnya Perang Dingin, kecenderungan yang terjadi bukanlah pengelompokan masyarakat ke dalam entitas tertinggi, yaitu pengelompokan peradaban, tetapi perpecahan menuju entitas yang lebih kecil lagi, yaitu berdasarkan suku dan etnisitas. Hal ini jelas sekali terlihat pada disintegrasi Uni Soviet yang secara ironis justru disatukan oleh dasar budaya dan peradaban yang sama. Dan lain lagi, persoalan perpecahan antara Jerman Barat dan Jerman Timur yang kembali bersatu karena persamaan suku dan kebudayaan. Dan “multikulturalisme justru menjadi sebuah pemersatu yang kokoh.
2.Multikulturalisme Menurut Al Qur’an
Kita perlu kembali merenungkan berbagai ajaran yang telah disampaikan Allah melalui para Rasul-Nya, yang terdapat dalam kitab Suci Al Qur’an. Kita hendaknya mampu mengoptimalkan peran agama sebagai faktor integrasi dan pemersatu. Al qur’an, misalnya, memuat banyak sekali ayat yang bisa dijadikan asas untuk menghormati dan melakukan rekonsiliasi di antara sesama manusia. Dalam tulisan ini dapat dikemukkan contoh sebagai berikut;.
Pertama, Al Qur’an menyatakan bahwa; dulu manusia adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan ) maka Allah mengutus para Nabi, sebagi pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberikan keputusan diantara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.
“Tidak berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendakNya. Dan Allah selalu memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki kepada jalan yang lurus,” (QS Al Baqarah: 213)
Dengan ayat ini, AlQur’an menegaskan konsep kemanusiaaan universal Islam yang mengajarkan bahwa umat manusia pada mulamya adalah satu. Perselisihan terjadi disebabkan oleh timbulnya berbagai vested interest masing-masing kelompok manusia. Yang masing-masing mereka mengadakan penafsiran yang berbeda tentang suatu hakekat kebenaran menurut vested interest nya.
Kedua, meskipun asal mereka adalah satu, pola hidupnya menganut hukum tentang kemajemukan, antara lain karena Allah menetapkan jalan dan pedoman hidup yang berbeda-beda untuk berbagai golongan manusia. Perbedaan itu seharusnya tidak menjadi sebab perselisiahan dan permusuhan, melainkan pangkal tolak bagi perlombaan untuk melakukan berbagai kebaikan. Al Qur’an menyebutkan :
“….. Untuk tiap-tiap manusia diantara kamu, Kami berikan jalan dan pedoman hidup. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikannya satu umat saja. Tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semua, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.
Sehingga dari kedua ayat diatas dapat saya tarik kesimpulan bahwa; betapapun perbuatan yang terjadi pada manusia di bumi ini, namun hakekat kemanusiaan akan tetap dan tidak akan berubah. Yaitu fitrahnya yang hanif, sebagai wujud perjanjian primordial (azali) antara Tuhan dan Manusia sendiri. Responsi atau timbal balik manusia kepada ajaran tentang kemanusiaan universal adalah kelanjutan dan eksisitensialisme dari perjanjian primordial itu dalam hidup di dunia ini.
Selain itu, kita juga harus membutuhkan sebuah artikulasi atau penjabaran suatu visi dari dalam yang baru tentang manusia. Sekarang menjadi suatu keharusan bahwa semua agama harus mengambil bagian. Sekurang-kurangnya untuk sebagian dari sebuah visi dari dalam, sebuah konsep manusia mengenai dirinya sendiri, sesama, bahkan dengan orang yang menyatakan dirinya tidak beragama. Dalam pencarian itu mungkin sangat penting bagi umat beragama untuk melihat kepada pribadi-pribadi terkemuka yang dimilikinya dan peninggalan kolektifnya di
3. Multikulturalisme menurut
1.) Menurut Petter Wilson, Dia mengartikan multikulturalisme setelah melihat peristiwa di Amerika, “ Di Amerika, multikultural muncul karena kegagalan pemeimpin di dalam mempersatukan orang Negro dengan orang Kulit Putih”. Dari sini dapat diambil sebuah sintesa bahwa konsep multikultural PetterWilson semata-mata merupakan kegagalan dalam mempersatukan kelompok etnis tertentu. Kemudian problem penghambatan proses integrasi budaya ini berujung kepada gagalnya atau salahnya perspektif tentang sebuah kesatuan budaya (Unikultural). Yang seharusnya tidak berarti kemajemukan harus dipaksakan unutk menjadi satu, akan tetapi perbedaan itu haruslah menjadi kekuatan yang kompleks untuk bersatu dan berjalan bersama, tanpa adanya konflik.
Adanya sebuah konsesus Neo Liberal yaitu datang berdasarkan pada kepentingan ekonomi liberalisme. Juga menjadi faktor penghambat sebuah integrasi bangsa.
2.) Menurut Kenan Malik (1998), multikulturalisme merupakan produk dari kegagalan politik di negara Barat pada tahun 1960-an. Kemudian gagalnya perang Dingin tahun 1989, gagalnya dunia Marxisme kemudian gagalnya gerakan LSM di asia tenggara yang menemukan konsep multikultural yang sebenarnnya.
Jalan keluar dari semua itu menurutnya adalah sebuah keadilan yang masih berpegang pada keanekaragaman budaya yang sejati.
4. Perjalanan Menyambut Multikulturalisme di Indonesia
Kesadaran multikultur sebenarnya sudah muncul sejak Negara Republik
.
Multikultur baru muncul pada tahun 1980-an yang awalnya mengkritik penerapan demokrasi. Pada penerapannya, demokrasi ternyata hanya berlaku pada kelompok tertentu. Wacana demokrasi itu ternyata bertentangan dengan perbedaan-perbedaan dalam masyarakat. Cita-cita reformasi untuk membangun Indonesia Baru harus dilakukan dengan cara membangun dari hasil perombakan terhadap keseluruhan tatanan kehidupan yang dibangun oleh Orde Baru.
Inti dari cita-cita tersebut adalah sebuah masyarakat sipil demokratis, adanya dan ditegakkannya hukum untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat Indonesia. Bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi atau perombakan tatanan kehidupan Orde Baru adalah sebuah “masyarakat multikultural Indonesia” dari puing-puing tatanan kehidupan Orde Baru yang bercorak “masyarakat” (plural society) sehingga corak masyarakat Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika bukan lagi keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaannya tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.
Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat
Hal yang harus kita waspadai adalah munculnya perpecahan etnis, budaya dan suku di dalam tubuh bangsa kita sendiri. Bangsa
Begitu kayanya bangsa kita dengan suku, adat-istiadat, budaya, bahasa, dan khasanah yang lain ini, apakah benar-benar menjadi sebuah kekuatan bangsa ataukah justru berbalik menjadi faktor pemicu timbulnya disintegrasi bangsa. Seperti apa yang telah diramalkan
Paham Sukuisme sempit inilah yang akan membawa kepada perpecahan. Seperti konflik di Timur-Timur, di Aceh, di Ambon, dan yang lainya. Entah konflik itu muncul semata-mata karena perselisihan diantara masyarakat sendiri atau ada “sang dalang” dan provokator yang sengaja menjadi penyulut konflik. Mereka yang tidak menginginkan sebuah
Hal ini disadari betul oleh para founding father kita, sehingga mereka merumuskan konsep multikulturalisme ini dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Sebuah konsep yang mengandung makna yang luar biasa. Baik makna secara eksplisit maupun implisit. Secara eksplisit, semboyan ini mampu mengangkat dan menunjukkan akan keanekaragaman bangsa kita. Bangsa yang multikultural dan beragam, akan tetapi bersatu dalam kesatuan yang kokoh. Selain itu, secara implisit “Bhineka Tunggal Ika” juga mampu memberikan semacam dorongan moral dan spiritual kepada bangsa
Kemudian munculnya Sumpah Pemuda pada tahun 1928 merupakan suatu kesadaran akan perlunya mewujudkan perbedaan ini yang sekaligus dimaksudkan untuk membina persatuan dan kesatuan dalam menghadapi penjajah Belanda. Yang kemudian dikenal sebagi cikal bakal munculnya wawasan kebangsaan
Kemudian sebuah ideologi yang diharapkan mampu menjadi jalan tengah sekaligus jembatan yang menjembatani terjadinya perbedaan dalam negara
Pancasila adalah ideologi terbuka dan tidak boleh mereduksi pluralitas ideologi sosial-politik, etnis dan budaya. Melalui Pancasila seharusnya bisa ditemukan sesuatu sintesis harmonis antara pluralitas agama, multikultural, kemajemukan etnis budaya, serta ideologi sosial politik, agar terhindar dari segala bentuk konflik yang hanya akan menjatuhkan martabat kemanusiaan itu.
5.Konsep Multikulturalisme di Indonesia
Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa
Dalam upaya membangun masa depan bangsa, paham multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana, melainkan sebagai sebuah ideologi yang harus diperjuangkan karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya. Multikulturalisme bukan sebuah ideologi yang berdiri sendiri yang terpisah dari ideologi-ideologi lainnya. Multikulturalisme membutuhkan seperangkat konsep-konsep yang merupakan bangunan konsep-konsep untuk dijadikan acuan bagi memahaminya dan mengembangkannya dalam kehidupan bermasya-rakat. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dengan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia.
Sebagai sebuah ide atau ideologi multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, dan kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya di dalam masyarakat yang bersangkutan kajian-kajian mengenai corak kegiatan, yaitu hubungan antar manusia dalam berbagai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya akan merupakan sumbangan yang penting dalam upaya mengembangkan dan memantapkan multikulturalisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi Indonesia.
Salah satu isu yang cukup penting untuk diperhatikan di dalam kajian-kajian mengenai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya adalah corak dari kebudayaan manajemen yang ada setempat, atau pada corak kebudayaan korporasi bila perhatian kajian terletak pada kegiatan pengelolaan manajemen sumber daya dalam sebuah korporasi. Perhatian pada pengelolaan manajemen ini akan dapat menyingkap dan mengungkapkan seperti apa corak nilai-nilai budaya dan operasionalisasi nilai-nilai budaya tersebut atau etos, dalam pengelolaaan manajemen yang dikaji.
Kajian seperti ini juga akan dapat menyingkap dan mengungkap seperti apa corak etika (ethics) yang ada dalam struktur-struktur kegiatan sesuatu pengelolaan manajemen yang memproses masukan (in-put) menjadi keluaran (out-put). Apakah memang ada pedoman etika dalam setiap struktur manajemen, ataukah tidak ada pedoman etikanya, ataukah pedoman etika itu ada yang ideal (yang dicita-citakan dan yang dipamerkan) dan yang aktual (yang betul-betul digunakan dalam proses-proses manajemen dan biasanya disembunyikan dari pengamatan umum)?
Permasalahan etika ini menjadi sangat penting dalam pengelolaan manajemen sumber daya yang dilakukan oleh berbagai organisasi, lembaga, atau pranata yang ada dalam masyarakat. Bangsa
Cita-cita reformasi yang sekarang ini tampaknya mengalami kemacetan dalam pelaksanaannya, ada baiknya digulirkan kembali. Alat penggulir bagi proses-proses reformasi sebaiknya secara model dapat dioperasionalkan dan dimonitor, yaitu mengaktifkan model multikulturalisme untuk meninggalkan masyarakat majemuk dan secara bertahap memasuki masyarakat multikultural
Bila pengguliran proses-proses reformasi yang terpusat pada terbentuknya masyarakat multikultural
Dalam upaya ini harus dipikirkan adanya ruang-ruang fisik dan budaya bagi keanekaragaman kebudayaan yang ada setempat atau pada tingkat lokal maupun pada tingkat nasional dan berbagai corak dinamikanya. Upaya ini dapat dimulai dengan pembuatan pedoman etika dan pembakuannya sebagai acuan bertindak sesuai dengan adab dan moral dalam berbagai interaksi yang terserap dalam hak dan kewajiban dari pelakunya dalam berbagai struktur kegiatan dan manajemen pemerintahan. Pedoman etika ini akan membantu upaya-upaya pemberantasan KKN secara hukum.
Bersamaan dengan upaya-upaya tersebut di atas, sebaiknya sistem pendidikan nasional juga mengadopsi pendidikan multikulturalisme untuk diberlakukan dalam pendidikan sekolah, dari tingkat SD sampai dengan tingkat SLTA. Multikulturalisme sebaiknya termasuk dalam kurikulum sekolah, dan pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai pelajaran ekstra-kurikuler atau menjadi bagian dari kurikulum sekolah.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah menumbuhkan integrasi nasional melalui revitalisasi gagasan (mutualisme, musyawarah dan mufakat, kesetaraan) dan nilai-nilai agama (kasih sayang, damai, keadilan dan persatuan) dalam ruang lingkup pergaulan sesama anak bangsa. Memang tidak mudah bagi bangsa yang pluralistik dan multikultural untuk menjaga integrasi nasional, namun hal tersebut tetap dapat dilakukan.
Hal-hal yang harus kita lakukan adalah: pertama, meningkatkan pemahaman tentang multikulturalisme
Kedua, setiap program pembangunan hendaknya mengemban misi menciptakan dan menyeimbangkan mutualisme sebagai wujud doktrin kebersamaan dalam asas kekeluargaan (mutualism and brotherhood) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian strategi dan kebijakan pembangunan, khususnya strategi dan kebijakan budaya, harus bertolak dan berorientasi pada upaya memperkokoh persatuan
Dalam asas kebersamaan berdasarkan asas kekeluargaan (mutualism and brotherhood atau ukhuwah) yang sekaligus dapat menumbuhkan modal sosial, kerjasama di bidang pembangunan ekonomi dapat melibatkan berbagai lokalitas di tingkat kabupaten/kota, kecamatan ataupun desa, dengan dirancangnya upaya membentuk dan mengembang-kan mutualisme untuk memperkokoh integrasi dan kohesi nasional. Dengan demikian akan terwujud pembangunan ekonomi dan sekaligus interdependensi sosial. Pola interdependensi, yang sekaligus merupakan ketahanan budaya, harus dirancang oleh lembaga perencanaan di tingkat nasional dan tingkat daerah sebagai bagian dari integritas bangsa. Untuk memperkokoh kohesi nasional, perencanaan akan menjadi tujuan strategis karena perencanaan mendesain masa depan.
Sebagai bangsa yang pluralistik, dalam membangun masa depan bangsa dipandang perlu untuk memberi tempat bagi berkembangnya kebudayaan suku bangsa dan kebudayaan agama yang ada di
Dalam konteks itu pula maka ribuan suku bangsa sebagai masyarakat yang multikultural yang terdapat di
Hal ini juga berarti bahwa masyarakat multikultural harus memperoleh kesempatan yang baik untuk menjaga dan mengembangkan kearifan budaya lokal mereka ke arah kualitas dan pendayagunaan yang lebih baik. Unsur-unsur budaya lokal yang bermanfaat bagi diri sendiri bahkan perlu dikembangkan lebih lanjut agar dapat menjadi bagian dari kebudayaan bangsa, memperkaya unsur-unsur kebudayaan nasional. Meskipun demikian, misi utamanya adalah mentransformasikan kenyataan multikultural sebagai aset dan sumber kekuatan bangsa serta menjadikannya suatu sinergi nasional.
Oleh karena itu, walaupun masyarakat multikultural harus dihargai potensi dan haknya untuk mengembangkan diri sebagai pendukung kebudayaannya di atas tanah kelahiran leluhurnya, namun pada saat yang sama, mereka juga harus tetap diberi ruang dan kesempatan untuk mampu melihat dirinya, serta dilihat oleh masyarakat lainnya yang sama-sama merupakan warga negara
Dengan demikian, membangun dirinya, membangun tanah leluhurnya, berarti juga membangun bangsa dan tanah air tanpa merasakannya sebagai beban, namun karena ikatan kebersamaan dan saling bekerjasama.
6. Ketika Multikulturalisme Menjadi Sebuah Masalah
Akhir-akhir ini, intensitas dan ekstensitas konflik sosial di tengah-tengah masyarakat terasa kian meningkat. Terutama konflik sosial yang bersifat horisontal, yakni konflik yang berkembang di antara anggota masyarakat, meskipun tidak menutup kemungkinan timbulnya konflik berdimensi vertikal, yakni antara masyarakat dan negara.
Konflik sosial dalam masyarakat merupakan proses interaksi yang alamiyah. Karena masyarakat tidak selamanya bebas konflik. Hanya saja, persoalannya menjadi lain jika konflik sosial yang berkembang dalam masyarakat tidak lagi menjadi sesuatu yang positif, tetapi berubah menjadi destruktif bahkan anarkis.
Perkembangan terakhir menunjukkan pada kita, sejumlah konflik sosial dalam masyarakat telah berubah menjadi destruktif bahkan cenderung anarkhis. Kasus Ambon, Poso, Maluku, GAM di Aceh, dan berbagai kasus yang menyulut kepada konflik yang lebih besar dan berbahaya. Konflik sosial berbau SARA (agama) ini tidak dianggap remeh dan harus segera diatasi secara memadai dan proporsional agar tidak menciptakan disintergrasi nasional. Banyak hal yang patut direnungkan dan dicermati dengan fenomena konflik sosial tersebut. Apakah fenomena konflik sosial ini merupakan peristiwa yang bersifat insidental dengan motif tertentu dan kepentingan sesaat, ataukah justru merpakn budaya dalam masyarakat yang bersifat laten. Realitas empiris ini juga menunjukkan kepada kita bahwa masih ada problem yang mendasar yang belum terselesaikan. Menyangkut penghayatan kita terhadap agama sebagai kumpulan doktrin di satu pihak dan sikap keagamaan yang mewujud dalam prilaku kebudayaan di pihak lain.
Kemajemukan masyarakat lokal seperti itu bukan saja bersifat horisontal (perbedaan etnik, agama dan sebagainya), tetapi juga sering berkecenderungan vertikal, yaitu terpolarisasinya status dan kelas sosial berdasar kekayaan dan jabatan atau pekerjaan yang diraihnya. Dalam hal yang pertama, perkembangan ekonomi pasar membuat beberapa kelompok masyarakat tertentu, khususnya dari etnik tertentu yang memiliki tradisi dagang, naik peringkatnya menjadi kelompok masyarakat yang menimbulkan kecemburuan sosial masyarakat setempat yang mandeg perkembangannya. Dalam hal kedua, kelompok masyarakat etnis dan agama tertentu, yang semula berada di luar mainstream, yaitu berada di pinggiran, mulai menembus masuk ke tengah mainstream. Hal ini dapat menimbulkan gesekan primordialistik, apalagi bila ditunggangi kepentingan politik dan ekonomi tertentu seperti terjadi di
7. Upaya Bersama di Dalam Menyikapi Sebuah Multikulturalisme
Dengan menjalankan asas gerakkan multikulturalisme menjadi sebuah ideologi yang dianggap mampu menyelesaikan berbagai masalah yang berkaitan dengan Multikulturalisme. Yaitu dengan asas-asas sebagai berikut:
a) Manusia tumbuh dan besar pada hubungan sosial di dalam sebuah tatanan tertentu, dimana sistem nilai dan makan di terapkan dalam berbagai simbol-simbol budaya dan ungkapan-ungkapan bangsa.
b) Keanekaragaman Budaya menunjukkan adanya visi dan sisitem makan tang berbeda, sehingga budaya satu memrlukan budaya lain. Dengan mempelajari kebudayaanlain, maka akan memperluas cakrawala pemahaman akan makna multikulturalisme
c) Setiap kebudayaan secara Internal adalah majemuk, sehingga dialog berkelanjutan sangat diperlukan demi terciptanya persatuan
Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, paradigma hubungan dialogal atau pemahaman timbal balik sangat dibutuhkan, untuk mengatasi ekses-ekses negatif dari suatu problem disintegrasi bangsa. Paradigma hubungan timbal balik dalam masyarakat multikultural mensyaratkan tiga kompetensi normatif, yaitu kompetensi kebudayaan, kemasyarakatan dan kepribadian.
Kompetensi kebudayaan adalah kumpulan pengetahuan yang memungkinkan mereka yang terlibat dalam tindakan komunikatif membuat interpretasi-interpretasi yang dapat mengkondisikan tercapainya konsesus mengenai sesuatu. Kompetensi kemasyarakatan merupakan tatanan-tatanan syah yang memungkinkan mereka yang terlibat dalam tindakan komunikatif membentuk solidaritas sejati. Kompetensi kepribadian adalah kompetensi yang memungkinkan seorang subjek dapat berbicara dan bertindak dan karenanya mampu berpartisipasi dalam proses pemahaman timbal balik sesuai konteks tertentu dan mampu memelihara jati dirinya sendiri dalam berbagai perubahan interaksi.
Semangat kebersamaan dalam perbedaan sebagaimana terpatri dalam wacana ”Bhineka Tunggal Ika” perlu menjadi “roh” atau spirit penggerak setiap tindakan komunikatif, khususnya dalam proses pengambilan ekputusan politik, keputusan yang menyangkut persoalan kehidupan bersama sebagai bangsa dan negara.
Jika tindakan komunikatif terlaksana dalam sebuah komunitas masyarakat multikultural, hubungan diagonal ini akan menghasilkan beberapa hal penting, misalnya:
a) Reproduksi kultural yang menjamin bahwa dalamkonsepsi politik yang baru, tetap ada kelangsungan tradisi dan koherensi pengetahuan yang memadai untuk kebutuhan konsesus praktis dalam praktek kehidupan sehari-hari.
b) Integrasi sosial yang menjamin bahwa koordinasi tindakan politis tetap terpelihara melalui sarana-sarana hubungan antar pribadi dan antar komponen politik yang diatur secara resmi (legitemed) tanpa menghilangkan identitas masing-masing unsur kebudayaan.
c) Sosialisasi yang menjamin bahwa konsepsi polotik yang disepakati harus mampu memberi ruang tindak bagi generasi mendatang dan penyelarasan konteks kehidupan individu dan kehidupan kolektif tetap terjaga
Dapat dikatakan bahwa secara konstitusional negara Indonesia dibangun untuk mewujudkan dan mengembangkan bangsa yang religius, humanis, bersatu dalam kebhinnekaan. Demokratis dan berkeadilan sosial, belum sepenuhnya tercapai. Konsekwensinya ialah keharusan melanjutkan proses membentuk kehidupan sosial budaya yang maju dan kreatif; memiliki sikap budaya kosmopolitan dan pluralistik; tatanan sosial politik yang demokratis dan struktur sosial ekonomi masyarakat yang adil dan bersifat kerakyatan.
Dengan demikian kita melihat bahwa semboyan ‘Satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa dan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ masih jauh dari kenyataan sejarah. Ia masih merupakan mitos yang perlu didekatkan dengan realitas sejarah. Bahwa bangsa
B. Kebudayaan Jepang
1.) Sejarah Jepang
Perubahan yang krusial atas Jepang dimulai pada tahun 1603. Pada saat itu, Ieyasu yang telah berhasil menyatukan seluruh Jepang, membangun kekaisarannya di Edo, sekarang dikenal dengan
Latar belakang dari lahirnya Politik Isolasi ini banyaknya misionaris Kristen yang datang menyebarkan Agama Kristen. Berkembangnya Agama Kristen akan menjadi mimpi buruk bagi kekaisaran, oleh sebab itu Kaisar mengambil langkah untuk tidak berhubungan dengan negara asing, kecuali dengan Pedagang-Pedagang Belanda yang dinilai menguntungkan. Itu pun hanya dilakukan di satu tempat, yaitu di Pulau Dejima,
Politik Isolasi ini bertahan lebih dari 200 tahun sampai pada tahun 1853, Komodor Perry dari angkatan laut Amerika Serikat dengan 4 buah kapalnya memaksa Jepang untuk membuka diri kembali terhadap dunia luar.
Kekaisaran Tokugawa berakhir pada tahun 1867, dan digantikan dengan Kekaisaran Meiji. Pada zaman ini Jepang banyak mengalami kemajuan. Dan hanya dalam beberapa decade mampu menyejajarkan diri dengan negara-negara barat. Pada zaman ini pula Edo berganti nama dengan
Kekaisaran Showa ini dimulai dengan kondisi yang menjanjikan. Industri yang terus berkembang, dan kehidupan politik yang telah mengakar di parlemen-parlemen pemerintahan. Namun masalah-masalah baru terus bermunculan. Krisis ekonomi dunia menekan kehidupan rakyat. Rakyat mulai tidak percaya terhadap pemerintah karena banyaknya skandal. Hal ini dimanfaatkan oleh para ekstrimis dan berhasil menomorsatukan militer di negara ini. Jepang pun mulai terlibat pada banyak peperangan. Fungsi dari Parlemen pun semakin berkurang. Semuanya ditangani militer. Hingga pada akhirnya pecahnya Perang Pasifik pada tahun 1941.
Pada tahun 1945, Jepang menyerah pada sekutu akibat semakin melemahnya kekuatannya setelah
Pada tahun 1951, setelah ditandatanganinya Perjanjian Perdamaian San Fransisko, Jepang mendapatkan haknya kembali untuk menjalankan politiknya kembali.
Satu tugas besar menunggu, yaitu mengangkat kembali negara ini dari keterpurukannya akibat perang. Dalam masa tidak lebih dari 10 tahun, dibantu dengan negara-negara luar, Jepang mampu tegak kembali dan bersaing di pasar internasional. Satu bukti dari kebangkitannya itu adalah dengan menjadi tuan rumah Olimpiade Tokyo 1964, yang juga menjadi symbol atas kebangkitan Jepang. Tidak hanya itu, pada tahun 1975 Jepang sudah diakui menjadi negara maju dan masuk dalam kelompok negara G-7.
2.) Sains dan Teknologi
Sejak Perang Dunia II, Pembangunan teknologi dibagi atas beberapa tahap. Akhir tahun 1940-an hingga tahun 1950-an, pembangunan ditekankan pada pembangunan infrastruktur, seperti pembangunan tempat-tempat riset dan sebagainya, dan pengumpulan teknologi dari luar negeri. Pada saat inilah banyak pemuda-pemuda Jepang yang dikirim ke luar negeri untuk belajar. 10 tahun berikutnya adalah tahap mencoba untuk melakukan riset sendiri. Pada tahun 1970-an, Jepang memusatkan pada masalah teknologi yang bersifat ramah lingkungan dan juga penghematan energi. Dan mulai tahun 1980-an, penekanan pembangunan dilakukan pada kreativitas dalam sains dan teknologi itu sendiri.
Jepang merupakan negara yang banyak mengeluarkan dana untuk riset dan pembangunan teknologi. Pada tahun 1993 tercatat dana yang dikeluarkan untuk riset dan teknologi mencapai 13.7 trilyun yen. Angka ini merupakan 2.9% dari total GNP negara ini pada saat itu. Dari persentase ini, 79% dikeluarkan dari sector swasta. Beberapa proyek teknologi yang berskala besar di Jepang saat ini:
v Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir
Pada tahun 1995, Jepang memiliki 45 reaktor nuklir pembangkit listrik. Reaktor-reaktor ini menyediakan sekitar 46 juta kilowatt per tahun, atau sekitar 33% dari total energi yang dibutuhkan Jepang per tahunnya. Pada saat ini penelitian dan pengembangan pada bidang ini masih tetap dilakukan sehingga ditargetkan pada tahun 2010, pembangkit listrik tenaga nuklir akan mensuplai 71 juta kilowatt, atau sekitar 41% dari total listrik yang diperlukan per tahunnya.
v Kereta
Jepang merupakan negara yang maju dalam hal perkeretaan. Untuk kota-kota besar seperti
v Teknologi Antariksa
Pada tahun 1995, Jepang telah meluncurkan 58 satelit ke luar angkasa untuk bermacam-macam tujuan. Observasi cuaca, komunikasi, dan lain-lain. Walaupun demikian, Jepang belum pernah menerbangkan pesawat antariksanya sendiri walau astronot-astronotnya sudah beberapa kali terbang ke luar angkasa. Karena itulah pada saat ini penelitian di bidang ini sedang digalakkan. Salah satu contohnya adalah proyek yang diberi nama ‘Hope’, tujuannya adalah pada awal abad ke 21 ini, Jepang akan menerbangkan pesawat antariksanya ke luar angkasa.
3.) Budaya Jepang
JEPANG merupakan contoh perpaduan harmonis antara modern dan tradisional. ‘’Negeri matahari terbit’’ ini tidak hanya memancarkan sinar kemajuan industri dan teknologi, melainkan juga memiliki keunikan budaya yang tak tenggelam di tengah arus modernisasi. Budaya Jepang —dalam banyak hal bersumber pada spirit Konfusianisme dan Shintoisme— sangat mewarnai kehidupan sosial dan etos bisnis. Jepang memiliki budaya konteks tinggi yang sangat berbeda, khususnya dengan budaya Barat, yang lebih egaliter dan terbuka.
Pilar utama nilai-nilai budaya Jepang dikenal dengan wa (harmoni), kao (reputasi), dan omoiyari (loyalitas). Konsepsi wa mengandung makna mengedepankan semangat teamwork, menjaga hubungan baik, dan menghindari ego individu. Perlu diingat, pengaruh nilai wa dalam pola budaya Jepang terutama budaya bisnis— yaitu ekspresi tidak langsung dalam menyatakan penolakan.Orang Jepang tidak bisa berkata tidak. Dalam menyampaikan pendapat, mereka lebih mengutamakan konteks, tidak menyatakannya secara terbuka. Secara harfiah, kao berarti wajah. Wajah merupakan cermin harga diri, reputasi, dan status sosial. Masyarakat Jepang pada umumnya menghindari konfrontasi dan kritik terbuka secara langsung. Membuat orang lain ‘’kehilangan muka’’ merupakan tindakan tabu dan dapat menyebabkan keretakan dalam hubungan bisnis. Sedangkan omoiyari berarti sikap empati dan loyalitas. Spirit omoiyari menekankan pentingnya membangun hubungan yang kuat berdasarkan kepercayaan dan kepentingan bersama dalam jangka panjang.
3.1 Budaya Dan Iklim Bisnis
Memasuki abad ke-20, setelah kekalahannya dalam Perang Dunia II, Jepang mulai mengadopsi teknologi Barat dan menggenjot industri dalam negerinya. Sejak itu, Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi yang cepat dan menjadi salah satu negara pengekspor paling sukses. Kini Jepang merupakan negara industri terkemuka, dengan iklim bisnis dan pasar terbuka yang ramah bagi investasi dan perdagangan asing. Meskipun Jepang mengalami proses modernisasi yang cepat, pola budaya dan tradisinya masih kental mewarnai praktek dan hubungan bisnis. Berikut gambaran praktek bisnis di Jepang pada umumnya.
• Struktur dan hierarki dalam bisnis dan perusahaan Jepang sangat kuat. Hierarki yang
kuat juga tercermin dalam negosiasi bisnis. Proses negosiasi
biasanya dimulai dari executive level, kemudian dilanjutkan pada middle level.
Meskipun demikian, keputusan dibuat secara kolektif.
• Proses negosiasi bisnis dengan Jepang dikenal alot dan lamban. Namun adanya persaingan bisnis yang ketat dewasa ini mendorong pengambilan keputusan dibuat lebih cepat dan efisien.
• Dalam budaya bisnis Jepang, senioritas sangat dihormati. Umur dan status biasanya terkait erat. Dalampertemuan bisnis, posisi tempat duduk didasarkan pada tingkat senioritasnya.
• Di Jepang, kontrak bisnis tidak otomatis diartikan sebagai kesepakatan akhir. Lebih penting dari itu adalah memelihara relasi dengan baik untuk kepentingan jangka panjang.
• Pemimpin yang selalu memikirkan penampilannya tidaklah ada gunanya karena citra sama sekali tidak bermakna.
• Disiplin ketat dan organisasi, jadi batu penjuru warga jepang bahwa sampai kapan pun kedisiplinan dan nilai kerja tetaplah amat berharga.
C. Kebudayaan Yogyakarta
1. Grebeg Syawal 1941 Jimawal
Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat menggelar tradisi Grebeg Syawal (jawa: Sawal), Kamis (02/10/2008), dalam Kalender Jawa bertepatan dengan tanggal 1 Sawal tahun 1941 Jimawal. Rangkaian upacara dimulai dari Pagelaran Kraton dan diakhiri dengan rayahan gunungan di halaman Masjid Gede Kauman. Upacara tradisional yang digelar setiap tahun ini merupakan dimaknai sebagai sedekah Sultan kepada rakyatnya.
2. Nyadran Makam Sewu
Nyadran merupakan tradisi melakukan ziarah kubur ke makam leluhur menjelang bulan Ramadhan (Jawa: Pasa). Di Makam Sewu Desa Wijirejo, Kecamatan Pandak, Bantul, setiap tahunnya digelar tradisi Nyadran yang dikemas dengan ritual budaya menarik. Dilaksanakan setelah tanggal 20 bulan Ruwah dalam kalender jawa. Ritual ini digelar untuk menghormati Panembahan Bodo, seorang tokoh penyebar.
3. Tradisi Labuhan Alit di Parangkusumo
Kraton Yogyakarta menggelar tradisi Labuhan Alit di Pantai Parangkusumo, Minggu (03/08/2008). Tradisi ini diselenggarakan dalam rangka peringatan Jumenengan Ndalem (penobatan) Sri Sultan Hamengku Buwono X setiap tanggal 30 bulan Rejeb dalam penanggalan Jawa. Barang-barang tinggalan dalem (milik sultan), baju, kain, serta potongan rambut dan kuku sultan dilarung ke laut sebagai persembahan bagi penguasa laut selatan.
4. Grebeg Selarong, Tradisi Budaya Mengenang Perjuangan Diponegoro
Grebeg Selarong sebuah tradisi budaya digelar di pelataran Goa Selarong yang terletak di Desa Guwosari, Pajangan, Bantul. Minggu (27/07/2008) lalu, masyarakat sekitar selarong untuk keempat kalinya menggelar tradisi ini. Warga berpakaian tradisional Jawa memadati pelataran goa bersejarah tersebut. Grebeg Selarong kali ini diselenggarakan secara sederhana. Tanpa prosesi kirab, hanya membawa sebuah gunungan berukuran kecil berhias hasil.
D. Perbandingan Kebudayaan Jepang dengan Indonesia
Budaya adalah kristalisasi nilai dan pola hidup yang dianut suatu komunitas. Budaya tiap komunitas tumbuh dan berkembang secara unik, karena perbedaan pola hidup komunitas itu. Perbandingan budaya Jepang dan
Kesulitan utama dalam membuat perbandingan budaya antara
1. Tradisi penamaan di Jepang
Nama di Jepang terdiri dari dua bagian : family name dan first name. Nama ini harus dicatatkan di kantor pemerintahan (kuyakusho), selambat-lambatnya 14 hari setelah seorang bayi dilahirkan. Semua orang di Jepang kecuali keluarga kaisar, memiliki nama keluarga. Tradisi pemakaian nama keluarga ini berlaku sejak jaman restorasi Meiji, sedangkan di era sebelumnya umumnya masyarakat biasa tidak memiliki nama keluarga. Dewasa ini ada sekitar 100 ribu nama keluarga di Jepang, dan diantaranya yang paling populer adalah Satou dan Suzuki. Jika seorang wanita menikah, maka dia akan berganti nama keluarga, mengikuti nama suaminya. Namun demikian, banyak juga wanita karir yang tetap mempertahankan nama keluarganya. Tradisi di Jepang dalam memilih first name, dengan memperhatikan makna huruf Kanji, dan jumlah stroke, diiringi dengan harapan atau doa bagi kebaikan si anak.
2. Tradisi penamaan di Indonesia
Adapun masyarakat di Indonesia tidak semua suku memiliki tradisi nama keluarga. Masyarakat Jawa misalnya, tidak memiliki nama keluarga. Tetapi suku di Sumatera, Kalimantan,
• Suku Jawa (sekitar 45% dari seluruh populasi) : biasanya diawali dengan Su (untuk laki-laki) atau Sri (untuk perempuan), dan memakai vokal “o”. Contoh : Sukarno, Suharto, Susilo, Joko, Anto, Sri Miranti, Sri Ningsih.
• Suku Sunda(sekitar 14% dari seluruh populasi) : banyak yang memiliki perulangan suku kata. Misalnya Dadang, Titin, Iis, Cecep
• Suku Batak : beberapa contoh nama marga antara lain Harahap, Nasution.
• Suku Bali : Ketut, Made, Putu, Wayan dsb. Nama ini menunjukkan urutan, bukan merupakan nama keluarga.
Selain nama yang berasal dari tradisi suku, banyak nama yang diambil dari pengaruh agama. Misalnya umat Islam : Abdurrahman Wahid, Abdullah, dsb. Sedangkan umat Katolik biasanya memakai nama baptis : Fransiskus, Bonivasius, Agustinus, dsb.
3. Perbandingan kedua tradisi
a.) Persamaan antara kedua tradisi
Baik di Jepang maupun di Indonesia dalam memilih nama (first name) sering memilih kata yang mensimbolkan makna baik, sebagai doa agar si anak kelak baik jalan hidupnya. Khusus di Jepang, banyaknya stroke kanji yang dipakai juga merupakan
salah satu pertimbangan tertentu dalam memilih huruf untuk anak.
b.) Perbedaan antara kedua tradisi sbb.
1. Di Jepang, nama keluarga dimasukkan dalam catatan sipil secara resmi, tetapi di
2. Di Jepang setelah menikah seorang wanita akan berganti nama secara resmi mengikuti nama keluarga suaminya. Sedangkan di Indonesia saat menikah, seorang wanita tidak berganti nama keluarga. Di Indonesia umumnya setelah menikah nama suami dilekatkan di belakang nama istri. Tetapi penambahan ini tidak melewati proses legalisasi/pencatatan resmi di kantor pemerintahan.
3. Huruf Kanji yang bisa dipakai untuk menyusun nama anak di Jepang dibatasi oleh pemerintah (sekitar 2232 huruf, yang disebut jinmeiyo kanji), sedangkan di Indonesia tidak ada pembatasan resmi untuk memilih kata yang dipakai sebagai nama anak
4. Pemakaian gesture/gerak tubuh untuk memberikan penghormatan dan kasih sayang
Salah satu topik menarik untuk dibahas adalah bagaimana memakai bahasa tubuh untuk mengungkapkan penghormatan. Jepang dan
a.) Ojigi
Dalam budaya Jepang ojigi adalah cara menghormat dengan membungkukkan badan, misalnya saat mengucapkan terima kasih, permintaan maaf, memberikan ijazah saat wisuda, dsb.
b.) Jabat tangan
Tradisi jabat tangan dilakukan baik di Indonesia maupun di Jepang melambangkan keramahtamahan dan kehangatan. Tetapi di Indonesia kadang jabat tangan ini dilakukan dengan merangkapkan kedua tangan. Jika dilakukan oleh dua orang yang berlainan jenis kelamin, ada kalanya tangan mereka tidak bersentuhan. Letak tangan setelah jabat tangan dilakukan, pun berbeda-beda.
c.) Cium tangan
Tradisi cium tangan lazim dilakukan sebagai bentuk penghormatan dari seorang anak kepada orang tua, dari seorang awam kepada tokoh masyarakat/agama, dari seorang murid ke gurunya. Tidak jelas darimana tradisi ini berasal. Tetapi ada dugaan berasal dari pengaruh budaya Arab. Di Eropa lama, dikenal tradisi cium tangan juga, tetapi sebagai penghormatan seorang pria terhadap seorang wanita yang bermartabat sama atau lebih tinggi. Dalam agama Katolik Romawi, cium tangan merupakan tradisi juga yang dilakukan dari seorang umat kepada pimpinannya (Paus, Kardinal). Di Jepang tidak dikenal budaya cium tangan.
d.) Cium pipi
Cium pipi biasa dilakukan di Indonesia saat dua orang sahabat atau saudara bertemu, atau sebagai ungkapan kasih sayang seorang anak kepada orang tuanya dan sebaliknya. Tradisi ini tidak ditemukan di Jepang.
e.) Sungkem
Tradisi sungkem lazim di kalangan masyarakat Jawa, tapi mungkin tidak lazim di suku lain. Sungkem dilakukan sebagai tanda bakti seorang anak kepada orang tuanya, seorang murid kepada gurunya. Sungkem biasa dilakukan jika seorang anak akan melangsungkan pernikahan, atau saat hari raya Idul Fitri (bagi muslim), sebagai ungkapan permohonan maaf kepada orang tua, dan meminta doa restunya.
Baik budaya Jepang maupun
E. Norma Sosial dan Norma Hukum
Secara umum pengertian norma adalah segala aturan-aturan atau pola-pola tindakan, yang normatif, yang menjadi pedoman hidup bagi orang yang bersikap tindak di dalam kehidupannya, baik dalam hidupnya sendiri maupun dalam pergaulan hidup bersama. Norma-norma tersebut diyakini oleh masyarakat yang bersangkutan sebagai milik bersama.
Beraneka ragamnya norma yang hidup di masyarakat dikarenakan norma-norma tersebut sudah mengacu pada peranan-peranan manusia dalam kedudukannya di masyarakat. Selain itu apabila dilihat dari sudut daya paksa atau sanksi untuk kepatuhan terhadap suatu norma terdapat perbedaan-perbedaan pula.
1. Norma Hukum dan Norma Sosial Lainnya
Norma-norma yang ada dalam masyarakat bermacam-macam, atau disebut
juga sebagai kaidah atau norma sosial. Macam kaidah atau norma tersebut
tergantung dari dua macam aspek hidup manusia yaitu:
a.) aspek hidup pribadi, meliputi:
Kaidah-kaidah atau norma-norma kepercayaan, untuk mencapai kesucian
hidup pribadi atau kehidupan beriman. Kaidah-kaidah kesusilaan (sittlichkeit atau moral/etika dalam arti
sempit) yang tertuju pada kebaikan hidup pribadi atau kebersihan hati nurani
dan akhlak (kehidupan dengan geweten).
b.) aspek hidup antar pribadi, meliputi:
Kaidah-kaidah atau
norma-norma sopan santun yang bertujuan agar tercapai kenyamanan hidup bersama.
Kaidah-kaidah atau norma-norma hukum yang bertujuan agar tercapai
kedamaian hidupbersama.
Mengingat dalam masyarakat ada beraneka norma yang dianut dan diagungkan oleh warga masyarakat yang bersangkutan sebagai pedoman berlaku, dan tatanan sosial terwujud berkat pedoman-pedoman tersebut. Selain itu hukum perundang-undangan tidak dapat mengatur semua segi kehidupan manusia. Sehingga kehidupan manusia perlu dilengkapi oleh pedoman hidup yaitu norma-norma sosial lainnya.
2. Proses Norma Sosial Menjadi Norma Hukum
Mengingat dalam masyarakat ada beraneka norma yang dianut dan diagungkan oleh warga masyarakat yang bersangkutan sebagai pedoman berlaku, dan tatanan sosial terwujud berkat pedoman-pedoman tersebut. Selain itu hukum perundang-undangan tidak dapat mengatur semua segi kehidupan manusia. Sehingga kehidupan manusia perlu dilengkapi oleh pedoman hidup yaitu norma-norma sosial lainnya.
2. Proses Norma Sosial Menjadi Norma Hukum
Dalam konteks diri manusia sebagai makhluk sosial, maka tujuan hidup bersama yang ingin dicapai adalah kedamaian dan keteraturan hidup antar manusia. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan suatu patokan atau pedoman yang mengatur bagaimana manusia dapat berperilaku pantas dan semestinya di dalam masyarakat. Patokan atau pedoman berperilaku pantas tersebut adalah dalam ukuran yang sesuai dengan masyarakat yang bersangkutan. Mengingat setiap manusia tentu mempunyai ukuran pantas atau semestinya berbeda-beda dengan manusian lainnya, sehingga sebagai makhluk sosial kehidupan sosialnyapun perlu diatur oleh suatu pedoman, patokan atau standar yang disepakati bersama, yang disebut dengan kaidah atau norma.
Proses bagaimana terjadinya kaidah atau norma itu dapat dijelaskan berkaitan dengan manusia sebagai makhluk budaya. Sebagai makhluk budaya, manusia diberikan kemampuan berpikir, ia diberi Tuhan akal untuk menjalani kehidupannya. Perilaku yang ia lakukan setiap hari adalah hasil dari proses belajar dari generasi sebelumnya dan juga lingkungan hidupnya. Pola hidup dengan norma-norma yang ada sebagai pedoman hidup atau patokan hidup itu muncul karena adanya suatu kebutuhan hidup manusia yang harus dipenuhi.
Dalam penerapan norma-norma yang telah disepakati bersama tersebut, apabila terjadi pelanggaran atas suatu norma sosial maka akan ada sanksi sosial, misalnya dikucilkan, dicemooh, dan lain-lain. Apabila suatu norma sosial diberlakukan dengan paksaan suatu sanksi maka norma sosial tersebut menjadi norma hukum. Menurut E. Adamson Hoebel, suatu norma sosial adalah hukum apabila pelanggarannya atau tindakan tidak mengindahkannya secara teratur ditindak, yaitu tindakan fisik, secara ancaman atau secara nyata, oleh seseorang atau suatu kelompok orang, yang mempunyai wewenang bertindak secara sosial diakui. (T.O. Ihromi, 1986: 5). Jadi perbedaan norma hukum dan norma sosial adalah dalam norma hukum, hukum dapat menerapkan penggunaan kekuatan yang ada pada masyarakat yang terorganisasi untuk menghindari atau menghukum pelanggaran terhadap norma sosial.
Sebagai negara hukum, maka penyelenggaraan organisasi negara yang berkaitan dengan pemerintahan maupun seluruh rakyatnya diatur oleh hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis. Hukum yang tertulis yang dibuat oleh lembaga legislatif atas usulan Pemerintah, mempunyai kedudukan yang penting dalam pengaturan penyelenggaraan negara. Di sisi lain norma-norma sosial lainnya atau norma-norma bukan hukum tidak dapat diabaikan peranannya dalam usaha mewujudkan kenyamanan, kedamaian dan ketertiban hidup manusia dalam suatu masyarakat.
3. Pengertian, Tujuan dan Fungsi Hukum
Hukum mempunyai pengertian yang beraneka, dari segi macam, aspek dan ruang lingkup yang luas sekali cakupannya. Kebanyakan para ahli hukum mengatakan tidak mungkin membuat suatu definisi tentang apa sebenarnya hukum itu. Pendapat ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Van Apeldoorn yang mengatakan bahwa hukum itu banyak seginya dan demikian luasnya sehingga tidak mungkin menyatakannya dalam satu rumusan yang memuaskan. (
1.) Hukum sebagai ilmu pengetahuan,
2.) Hukum sebagai disiplin,
3.) Hukum sebagai kaidah,
4.) Hukum sebagai tata hukum,
5.) Hukum sebagai petugas (hukum),
6.) Hukum sebagai keputusan penguasa,
7.) Hukum sebagai proses pemerintahan,
8.) Hukum sebagai perikelakuan yang ajeg atau sikap tindak yang teratur,
9.) Hukum sebagai jalinan nilai-nilai. (Purbacaraka, 1982: 12)
Sebagai bagian dari kebudayaan, dan manusia atau masyarakat adalah
pendukung dari kebudayaan tersebut, maka hukum selalu ada dimana masyarakat itu
berada (ubi societas ibi ius). Keberadaan hukum tersebut, baik pada masyarakat
yang modern atau masyarakat primitif atau yang masih sederhana menunjukkan
bahwa hukum mempunyai kedudukan yang sangat penting.
No comments:
Post a Comment